Tidak Menyepelekan Injustice meskipun Kecil

Suatu ketika seorang mahasiswa terkejut melihat nilai akhir suatu mata kuliah yang diambilnya. Di papan pengumuman tertera nilai 65 masing-masing untuk nilai tugas dan nilai ujian akhirnya. Terkejutnya mahasiswa tersebut bukan tanpa alasan. Pertama, tidak pernah ada UAS yang diselenggarakan untuk mata kuliah tersebut. Jika ada, nilai langsung diambil dari tugas akhir yang memang dibebankan kepada setiap mahasiswa. Kedua, terkejut karena nilai 65 itu adalah nilai keramat di tengah rentang nilai teman-temannya yang rata-rata 80. Ia tidak pernah merasa terlambat mengumpulkan tugas sebagaimana ia juga berjuang sama kerasnya dengan teman-temannya yang lain dalam penyelesaian tugas itu. Singkatnya, ia merasa tidak layak memperoleh nilai sekecil itu untuk effort yang sudah dikeluarkannya.

Masalah di atas bisa jadi bukan satu-satunya yang terjadi di negeri ini. Ada puluhan atau bahkan ratusan kasus yang serupa. Bila dilihat dalam konteks umumnya, merasa diperlakukan tidak adil seolah sudah menjadi lumrah kita jumpai. Dalam hal-hal yang dinilai kecil, persoalan seperti itu sudah dimaklumi. Ya, saking seringnya, ada pemakluman terhadap ketidakadilan.

Terlepas dari kondisi sesungguhnya mengenai mahasiswa tadi atau objektif tidaknya penilaian dilakukan, ketidakadilan memang kerap ada. Bahkan bisa jadi akrab di sekitar kita. Suatu hari penulis menjumpai kondisi di mana sebuah mata kuliah diasuh oleh asisten yang dipilih berdasarkan kriteria subjektif dari sekumpulan orang secara subjektif pula. Tidak ada open rekrutmen terbuka yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa secara luas untuk mengaktualisasikan kemampuannya menjadi asistem mata kuliah tersebut. Dampaknya, ada orang yang mau dan mampu, serta memiliki kompetensi lebih baik tapi tidak menjadi asisten. Jika diamati lebih banyak lagi, akan banyak peristiwa mirip, dan biasanya berujung pada akhir yang sama, mendapatkan pemakluman dari publik.

Filosofi angka satu, tidak ada angka yang lebih besar muncul tanpa melewatinya. Sesungguhnya hal-hal besar dimulai dari hal-hal sepele dan kecil. Ibarat sebuah bangunan, jika batu-batu penyusunnya rapuh dengan sendirinya bangunan tersebut akan rapuh pula. Demikian pula adanya 'budaya' membiarkan terjadinya ketidakadilan dalam hal-hal kecil akan menyuburkan ketidakadilan dalam ranah yang lebih besar. Sudah selayaknya ketidakadilan sekecil apapun dicegah sedini mungkin. Misalnya, dalam keluarga, orang tua tidak serta merta menyalahkan seorang kakak hanya karena usianya yang lebih tua ketimbang adiknya. Di sekolah, penilaian yang diberikan kepada murid hendaknya objektif dan dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar merepresentasikan kondisi si murid dalam keadaan normal. Di pasar, tidak ada timbangan yang dipasang pemberat. Di diri kita sendiri, jika ada kesalahan segera diakui mesipun terhadap diri sendiri. Dan berbagai macam contoh lainnya.

Seorang penyair pernah berkata bahwasanya tiang yang menyangga langit tetap berada di atas bumi adalah keadilan. Ketika keadilan tersebut sirna, maka tinggal menunggu waktu hingga langit jatuh menimpa bumi. Meskipun konotatif, pernyataan itu kiranya tidak berlebihan. Alloh sangat menghendaki kita sebagai hambanya untuk senantiasa berbuat adil. "Berlaku adil lah kamu karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa", itu kata Alloh. Dengan demikian tidak pantas bagi kita melewatkan, membiarkan adanya ketidakadilan berjalan dengan bebasnya di depan mata kita. Kita layak melakukan sesuatu, seperti kata Aa Gym, setidaknya dari diri kita sendiri, dari hal-hal kecil, dan dari saat ini juga.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?