Menyoal Tae Kwon Do satu versi

Taekwon Do, beladiri asal Korea kerap diklaim sebagai beladiri dengan peserta terbanyak di dunia dibandingkan dengan beladiri yang lainnya. Preferensi masyarakat terhadap beladiri yang menekankan pada tendangan ini bisa saja berasal dari unsur seni yang ditunjukkan dalam gerakannya. Kita bisa menyaksikan banyak video yang memperlihatkan keindahan tersebut. Tanpa tendensi sama sekali untuk menganaktirikan seni bela diri yang lain, cukup pantas ketika Taekwon Do dikatakan sebagai seni bela diri yang keren.

Itu jika dilihat dari satu aspek. Jika dilihat dari aspek lain, ternyata seni bela diri ini memiliki beberapa permasalahan tersendiri. Mereka yang mengenal dunia bela diri kemungkinan besar tahu mengenai dua stream besar Tekwon Do sekaligus organisasi besar bertaraf dunia yang menaunginya. ITF (International Taekwon Do Federation) dan WTF (World Taekwon Do Federation). Kedua organisasi ini sama-sama organisasi Taekwon Do namun mencerminkan beberapa sisi yang berbeda. Selaras dengan leluhur dan pendahulunya, Taekwon Do aliran ITF mengusung sisi beladiri dan berorientasi real fight. Ada banyak gerakan pukulan dan tendangan fatal yang diajarkan. Di sisi lain, Taekwon Do aliran WTF mengusung sisi olahraga dan berorientasi pertandingan. Dampaknya, ada banyak gerakan fatal yang dihilangkan atau tidak diajarkan. Filosofi yang dianut, bahwa kedamaian itu tidak akan pernah tercipta dari sebuah lingkaran pertarungan. Pertarungan satu hanya akan menimbulkan potensi pertarungan selanjutnya dan membentuk sebuah siklus. Dengan demikian sebuah pertarungan hanya akan dibutuhkan pada kondisi yang sangat spesifik. Dengan demikian, olahraga dinilai sebagai sebuah wadah yang tepat untuk mempertahankan eksistensi Teakwon Do dalam kedamaian.

Dua titik tekan yang berbeda ini secara otomatis menimbulkan dampak yang berbeda. WTF pada gilirannya menjadi aliran terbesar Taekwon Do saat ini. WTF memiliki kecenderungan sebagai klub olahraga ketimbang 'perguruan' para pendekar. Orientasinya yang lebih kepada olahraga menjadikan sebuah skill pertarungan (kyorougi) dalam konteks nyata tidak terlalu diperhatikan. Hal lainnya yang terjadi, prosesi kenaikan sabuk dapat dilakukan dengan lebih longgar. Mereka cukup mengenal prinsip dasar gerakan pada tingkatan sabuk tertentu (Taegeuk) untuk layak mengikuti uji kenaikan tingkat dan lulus sabuk tertentu. Efeknya, tingkatan sabuk pada Taekwon Do aliran WTF akan berbanding lurus dengan lamanya seseorang mengenyam 'pendidikan' Taekwon Do serta intensitasnya mengikuti ujian kenaikan tingkat ketimbang dengan skill personal itu sendiri. Tidak jarang kemampuan sabuk biru sama dengan kemampuan sabuk merah.

Ada banyak generasi muda Taekwondoin (khususnya di Indonesia) yang belum memahami hal tersebut. Ada esensi seni beladiri yang belum mereka dapatkan. Mereka yang cukup akrab dengan dunia per'Taekwon-Do'an dapat merasakan adanya atmosfer tertentu yang dirasakan saat berada dalam forum Taekwon Do umum. Taekwondoin muda namun memiliki tingkat sabuk yang lebih tinggi seperti merah atau hitam, memiliki kesan angkuh saat berhadapan dengan taekwondoin lain yang tingkatan sabuknya lebih rendah. Ini bukanlah justifikasi umum, melainkan sekedar kecenderungan yang sepertinya sudah menjadi rahasia umum yang dimaklumi semua Taekwondoin. Padahal esensi utama sebuah beladiri adalah humbleness. Itu pun jika Taekwon Do lebih dimaknai sebagai beladiri ketimbang olahraga. Di sisi yang berbeda, kaum muda yang sudah memiliki tingkatan sabuk tinggi juga cenderung sudah merasa siap ketika menghadapi bahaya nyata yang membutuhkan real fight. Padahal ada banyak skill praktis yang belum mereka kuasai. Butuh intensitas yang lebih untuk mempelajari dunia nyata dan hal itu setara bagi setiap taekwondoin dalam tingkatan apapun. Dengan demikian, hakekatnya Taekwon Do tidak mengajarkan seseorang untuk mengkastakan seorang pun.

Belajar beladiri (apa pun itu), adalah belajar untuk menjadi lebih kuat baik secara fisik maupun mental. Keduanya ibarat daun yang tumbuh dalam siraman sinar matahari dan pucuk akar yang tumbuh dalam kegelapan tanah. Keduanya harus bergerak dengan seimbang dan proporsional. Mereka yang meyakini bahwa fisik lebih berperan ketimbang mental hanya akan menjadi chaos bagi dunia. Benar kata Rasululloh saw yang mengatakan bahwa kekuatan itu lebih dinilai pada kemampuannya untuk mengalahkan (kesombongan, kemalasan, dan ketakutan) diri sendiri.

Belajar dari satu beladiri ini, setidaknya membuat kita lebih mengerti mengenai satu sisi dunia. Bagaimana sebaiknya kedamaian itu dimaknai dan dijunjung tinggi lebih daripada perseteruan.

>>Penulis adalah seorang Taekwondoin

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?