Empat Masalah dalam Berdebat

Sebuah artikel di salah satu situs berita nasional ramai oleh komentar, baik yang pro maupun yang kontra. Artikel tersebut berbicara mengenai tindakan MUI salah satu daerah yang melarang perayaan Valentine Day 14 Februari karena alasan tertentu. Dari beberapa komentar yang diutarakan, tersirat ada semacam rasa sebal dari beberapa pihak mengenai kerja MUI yang kerap mengharamkan ini itu. Salah satu komentar berkata bahwa MUI adalah lembaga yang diisi orang-orang 'muna' alias munafik. Komentar lainnya menunjukkan kegeramannya dengan menantang MUI untuk mengharamkan celana, facebook, dll. Ada juga komentar yang tidak nyambung, mengait-ngaitkan kerja MUI dengan teroris, ummat Islam yang nggak toleran, dan lain sebagainya.

Perihal macam di atas hanyalah sebuah sampel dari fenomena besar yang kerap kita jumpai. Pertama, banyak orang cenderung berpuas diri dengan memandang suatu masalah dari satu sisi. Kedua, banyak orang cenderung mencukupkan diri dengan informasi yang sedikit, tanpa melihat lebi jauh menganai akurasi dan kelengkapan informasi tersebut. Ketiga, banyak orang yang berbantah-bantahan tanpa menyadari mereka memiliki definisi yang berbeda mengenai suatu kata atau pernyataan. Keempat, banyak orang yang terlalu mudah menyalahkan orang lain.

Sebuah piramida, dalam istilah geometri yang dipelajari anak SD, disebut limas segiempat. Bantuk tersebut merupakan bentuk bangun ruang yang mustahil dijabarkan oleh satu proyeksi ortogonal (bidang datar). Bila dilihat dari samping secara ortogonal, piramida akan tampak sebagai sebuah segitiga. Lain halnya bila priamida dilihat dari atas, maka akan tampak sebagai sebuah persegi. Ketika ada dua orang yang berdebat mengenai bentuk segitiga, orang pertama mengatakan bentuk piramida itu segitiga sedangkan orang yang lain membantahnya dengan mengatakan bentuk segitiga itu persegi, maka dalam hal ini siapakah yang benar? Jawabannya bisa dua-duanya benar atau bisa dua-duanya salah, tergantung standar jawabannya. Hal tersebut setidaknya bisa menjadi analogi bagi sebuah peristiwa yang sangat mungkin dilihat secara berbeda oleh orang yang berbeda. Naif sekali jika kita merasa mengetahui segalanya padahal itu hanya dilihat dari satu sisi saja.

Ketika kita mendengar, membaca, atau menyaksikan suatu peristiwa, tidak jarang seseorang langsung merasa bahwa informasi yang ada dihadapannya adalah sebuah kebenaran. Padahal satu keping informasi yang belum diketahui, meskipun itu kecil, bisa jadi mengubah status informasi tersebut 180 derajat. Peristiwa penyergapan Ibrahim alisa Boim oleh Densus 88 yang ditayangkan secara Live oleh media massa beberapa waktu lalu dapat menjadi contoh yang baik. Pemberitaan digiring kepada sebuah persepsi bahwa yang tengah diburu adalah Noordin M. Top, padahal pihak media sendiri belum memperoleh informasi yang bisa memastikan hal tersebut.

Perbedaan definisi juga kerap menjadi biang masalah dalam deba kusir. Adakalanya sebuah istilah dimaknai secara berbeda oleh pihak yang berbeda. Contoh yang cukup klasik namun menarik adalah penggunaan istilah 'motor'. Bagi kebudayaan tertentu 'motor' dimaknai sebagai sepeda motor namun bagi kebudayaan lain dimaknai mobil. Masalah bisa saja muncul saat terjadi perdebatan berapakah jumlah roda pada 'motor', dua atau empat? Begitupula yang terjadi dengan istilah seperti HAM, pluralisme, fundamentalisme, fanatik, salafi dan lain sebagainya. Kadang terjadi satu pihak terusik dengan penggunaan satu istilah karena dirasa melecehkan dirinya, padahal yang melontarkan istilah tersebut tidak bermaksud sama sekali mengaitkan istilah tersebut dengan pihak yang terusik. Akan konyol sekali ketika pertengkaran terjadi karena hal sepele semacam itu.

Saat diri kita merasa benar, anggapan yang paling mudah muncul adalah menyalahkan pihak lain yang berbeda pedapat. Ini yang terjadi ketika kita tidak bisa menyikapi perbedaan dengan bijaksana, berusaha melakukan klarifikasi atas sebuah perkara, objektif dalam menilai sebuah masalah, serta bersabar mencari informasi seakurat dan selengkap mungkin. Hal itu sama sekali bukan berarti kita tidak boleh merasa benar. Hanya saja anggapan mengenai kebenaran tersebut harus dibingkai dengan semangat toleransi dan objektifikasi karena apa yang saat ini kita anggap benar belum tentu benar. Begitu pula sebaliknya. Kisah mengenai Nicolaus Copernicus atau Galileo dan gereja katolik merupakan contoh yang cukup relevan dalam hal ini.

Sesungguhnya ada banyak hal yang lebih perlu diurus di negeri ini ketimbang berdebat tanpa jelas arahnya. Sebuah diskusi atau perdebatan baru akan bermanfaat jika dilandasi semangat toleransi, mau mencoba memandang suatu hal dari berbagai sisi, mencari informasi yang benar lengkap dan akurat terlebih dahulu, melakukan penyesuaian definisi mengenai istilah yang dianggap berbeda, serta objektivitas untuk mencari kebenaran.

"Dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah. Dan cara-cara yang baik. Dan berdebatlah dengan cara-cara yang baik pula"

Wallohua'lam bishowab

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?