Energi Mental dan Produktivitas
Saya baru saja membaca sebuah artikel yang saya anggap menarik, sebuah ulasan ringan dari Robert C. Pozen, Dosen di Harvard Business School mengenai eksistensi mental resource atau sumberdaya mental. Dalam artikel itu disebutkan seperti halnya fisik, mental ternyata juga punya tingkat energi yang bisa menurun. Penurunan energi mental tersebut kemudian dinilai berpengaruh pada produktivitas manusia, siapapun orangnya. Artinya, semakin rendah tingkat energi mental seseorang pada suatu keadaan, semakin rendah pula kemampuannya untuk produktif pada keadaan yang sama.
Lalu apa yang menyebabkan menurunnya energi mental kita? Ada banyak hal, namun yang ditekankan dalam artikel ini adalah 'intensitas kita dalam memilih sesuatu secara sadar'. Setiap hari kita dituntut untuk membuat keputusan atas pilihan-pilihan yang ada, dari mulai baju apa yang akan dipakai, menu apa yang hendak dimasak atau dipesan, channel apa yang mau ditonton, hingga perkara-perkara yang berhubungan dengan pekerjaan kita sehari-hari. Nah, setiap keputusan yang kita buat ini membutuhkan energi mental dalam jumlah tertentu. Persis seperti ketika kita menjalankan aktivitas fisik yang tentunya menguras energi fisik. Oleh karena itu semakin banyak keputusan yang harus kita buat (baik kuantitas maupun kualitasnya) semakin banyak pula energi mental kita yang terserap.
Hubungan antara konsep 'energi mental' dengan 'aktivitas memilih' ini rupanya sudah menjadi bahan eksperiman para psikolog, seperti Kathleen Vohs (Dosen di Universitas Minessota) dan beberapa rekannya. Vohs melakukan serangkaian percobaan* pada beberapa responden di mana mereka dibagi ke dalam dua grup. Grup responden pertama dihadapkan pada berbagai barang kebutuhan dan mereka ditugaskan untuk memilih berdasarkan kriteria tertentu. Sementara grup yang lain juga dihadapkan hal yang persis sama namun tanpa diminta untuk memilih. Selanjutnya setiap grup dihadapkan pada serangkaian psikotes. Hasilnya, grup responden yang diharuskan memilih itu ternyata memiliki nilai kontrol diri yang lebih rendah, cenderung lamban, kurang persisten, serta daya analisa aritmatiknya menurun. Hal ini tidak terjadi pada grup responden yang tidak bertugas memilih. Kesimpulan dari percobaan itu adalah bahwasanya tuntutan untuk memilih itu memang bisa menguras energi mental seseorang, meskipun itu keputusan untuk pilihan-pilihan yang remeh.
Konsep ini membuat para psikolog kemudian berpikir bahwa apabila kita ingin menjaga tingkat energi mental kita tetap tinggi (dalam rangkan menjaga produktivitas) sudah selayaknya kita meminimalisir adanya pilihan-pilihan yang remeh dalam keseharian. Hal itu agar kita tetap punya energi mental yang cukup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kita anggap lebih urgen dan berarti. Dalam tataran teknis, bentuk minimalisasinya bisa dengan merutinkan beberapa aktivitas keseharian sehingga kita tak perlu lagi memilih. Misalnya, dengan membuat jadwal harian dalam sepekan tentang aktivitas yang hendak dikerjakan, pakaian yang dikenakan, menu yang mau dimakan, tayangan yang akan disaksikan, dan sebagainya sehingga kita tidak perlu capek dan pusing lagi apa yang hendak dipilih. Tentunya ini haya pemisalan yang bentuknya bisa berbeda setiap orang, tergantung dari apa yang kita anggap urgen atau tidak.
Cara seperti itu konon diadopsi oleh Barrack Obama. Terlepas dari bentuk kebijakan dan manuver politiknya yang kontroversial, patut diakui sebagai presiden Amerika, Obama dituntut untuk selalu sigap dalam manajemen waktu. Ketika ditanya seorang penulis tentang bagaimana caranya menghadapi keseharian sebagai presiden, Obama menjawab dua hal: pertama, daily exercise dan kedua, routinizing the routine. Hal kedua inilah yang dilakukannya untuk menjaga kebugaran mental. Obama mengatakan bahwa ia tak ambil pusing tentang apa yang harus dimakan atau dikenakannya karena ia merasa jauh lebih banyak keputusan penting yang harus dibuat.
Poin pentingnya adalah bahwa kita sudah selayaknya memutuskan aktivitas apa yang seharusnya tidak terlalu kita pedulikan dalam keseharian, kemudian belajar untuk menjalankan aktivitas itu secara otomatis, tak ubahnya seorang pilot yang membiarkan mode "autopilot" saat mengemudikan pesawat udara. Biarkan aktivitas itu mengalir menjadi kebiasaan semata agar tidak terlalu menguras energi kita. Ketimbang menyia-nyiakan energi mental kita untuk sesuatu yang kita anggap tidak penting, bukankah jauh lebih baik jika energi itu kita simpan untuk sesuatu yang kita nilai lebih berarti? :-)
Wallohua'lam
------------------------------
Tulisan ini merupakan reproduksi ulang saya pribadi dari artikel berjudul Boring is Productive, Robert C. Pozen di situs Harvard Business Review, 23 September 2012.
*Hasil percobaan ini dipublikasikan dalam: Making choices impairs subsequent self-control: A limited-resource account of decision making, self-regulation, and active initiative, Journal of Personality and Social Psychology, Vol 94 (5), Mei 2008, 883-898.
gud
ReplyDeletesiip.. 👍🏻
ReplyDelete