Generalisasi yang Tidak Proporsional

Tulisan ini berawal dari kerisauan saya atas sikap sebagian orang yang terlalu mudah menggeneralisasi persoalan. Contoh pertama, adanya generalisasi bahwa Muhammadiyah pro dengan JIL. Premisnya begini: Ulil Abshar Abdala adalah pentolan JIL yang ada di Demokrat. Kemudian SBY sebagai tokoh Demokrat menjalin besan dengan Hatta Radjasa yang notabene orang PAN. Nah, karena PAN adalah partai yang didirikan Amien Rais yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, maka Hatta Radjasa dianggap sebagai orang Muhammadiyah. Sikap pro pada JIL itu makin terasa bentuknya saat anak Hatta Radjasa saat walimatul ursynya tidak mengenakan Jilbab. Kesimpulannya, Muhammadiyah itu pro dengan JIL.

Contoh kedua, adanya pencampuradukkan konteks Iran sebagai negara dan Syiah sebagai sekte keagamaan. Tidak sedikit orang yang menentang Syiah kemudian bersemangat dalam kampanye anti-Iran. Banyak situs-situs yang dibuat atau diforward yang menjelaskan keburukan-keburukan Iran, padahal yang mereka soroti adalah sisi Syiah dari Iran. Akhirnya dianggaplah penentangan Iran pada Israel dan Amerika sebagai sebuah sandiwara. Semua permusuhan yang tampak antara Iran dan AS serta Israel dianggap sebuah tipuan untuk mengambil simpati kaum muslimin Sunni. Kesimpulannya, kalau konsisten menentang Syiah, berarti harus konsisten menentang Iran.

Dua contoh di atas saya kira cukup mewakili apa yang banyak terjadi masyarakat kita. Disadari atau tidak, sebagian orang sangat mudah menggeneralisasi sesuatu, tapi sayangnya pada batas-batas yang tidak proporsional. Ketidakproporsionalan itu bisa diakibatkan dua hal, pertama kekeliruan berlogika, dan kedua tendensi yang berlebihan.

Kekeliruan berlogika di sini mengingatkan saya pada pelajaran PDRP (Perhitungan Dasar Rekayasa Proses) ketika kuliah dulu. Di salah satu sesi, pelajaran ini mencermati perhitungan neraca massa dan energi. Buat kebanyakan mahasiswa, topik ini cukup sulit. Kesulitan itu bukan hadir dari kerumitan rumus yang digunakan, tapi hadir dari kekurangcermatan memilah perbedaan antara sistem dan lingkungan. Kadang sistem dianggap lingkungan, dan kadang lingkungan dianggap sebagai sistem. Akhirnya hasil perhitungan yang diperoleh pun melenceng dari yang diharapkan.

Saya kira begitupula masalah logika generalisasi di sini. Kalau objek masalah dianalogikan sebagai sistem dan hal lain dianalogikan sebagai lingkungan, maka titik persoalannya sama. Banyak orang yang cenderung mencampuradukkannya. Mereka kurang cermat dalam memilah apa sebenarnya yang menjadi objek masalah dan bagaimana hubungannya dengan objek lain di luarnya. Akhirnya yang tidak berhubungan pun jadi terhubung dengan cara yang tidak make sense.

Itu diperparah lagi dengan tendensi yang berlebihan. Karena tendensi ini, seseorang tidak mendengar apa yang disampaikan orang lain, tapi mendengar apa yang ingin ia dengar. Dengan kata lain, penyimpulan sudah dibuat dalam kepalanya (meski tanpa sadar) sebelum komunikasi itu dijalankan.

Dalam kasus generalisasi Muhammadiyah-JIL di atas misalnya, hubungan dengan Muhammadiyah hanya dari Amien Rais dan hubungan dengan JIL hanya dari Ulil Abshar Abdala. Keterkaitan keduanya sangat jauh jalurnya. Kalau dibuat bagan, kira-kira bentuknya seperti ini:

Muhammadiyah--> Amin Rais --> PAN --> Hatta Radjasa -->Anak dan menantunya --> SBY --> Demokrat --> Ulil --> JIL

Jauh bukan? belum lagi ditambah faktwa bahwa Muhammadiyah sebagai ormas sama sekali tidak terkait langsung dengan PAN dan partai manapun. Sedangkan Demokrat sendiri adalah parpol yang tindak tanduknya selama ini sekuler dan profan. Aktivitasnya tidak mencakup masalah pemikiran keislaman secara langsung.

Dalam kasus penyampuradukan Iran dan Syiah juga demikian. Syiah yang menjadi masalah ada dalam kontek pemikiran/paham keagamaan (aqidah). Sedangkan Iran ada pada konteks kenegaraan (muammalah). Meski Iran adalah negeri yang mayoritas diisi kaum Syiah, tidak lantas semua sisinya jadi Syiah. Olehkarena itu tidak tepat jika Sunni menolak paham Syiah lantas juga harus menolak negara Iran. Dalam konteks muammalah ini jangankan Iran, bahkan negara yang non-muslim pun boleh dijalin kerjasama dengannya. Sehingga mendukung Iran dalam muammalah bukan berarti mendukung Syiah, dan menolak Syiah dalam aqidah bukan lantas berarti harus menolak Iran semuanya.

Mengajak masyarakat untuk tetap objektif dan kritis memang bukan perkara mudah. Butuh pembinaan yang juga berarti butuh waktu. Saya kira tidak ada cara yang lebih baik selain membiasakan diri sendiri dan orang-orang terdekat untuk itu. 

Pertama, kita tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan sesuatu sebelum ada informasi yang benar, lengkap, dan akurat. Info pun sebaiknya tidak dicukupkan hanya dari satu-dua sumber. Lebih banyak sumber lebih baik. Biar imbang. 

Kedua, kita perlu banyak berdiskusi dengan orang lain dan melihat sebuah permasalahan dari persepektif yang berbeda. Semakin kayak perspektif kita, insyaAlloh semakin bijak kita menyikapi persoalan.

Ketiga, tetap berusaha objektif, open mind, dan rendah hati. Sederhana, tapi nyatanya tak mudah dilakukan. 

Cukuplah satu firman Alloh ini menjadi pengingat kita agar selalu menjadi pribadi yang adil

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah, karena adil itu adalah lebih dekat dengan taqwa ".

QS. Al-Maidah (5) : 8 ).


Wallohua'lam

Comments

  1. Jangan pernah menghakimi orang, apalagi sesama saudara seumat, dengan sekilas pandang semata. Niscaya akan ada sesuatu dibalik segala sesuatu, variabel-variabel yang justru bisa menjadi kunci dalam kita menentukan sikap yang akan kita pilih dan menilai dengan adil.

    Sangat setuju dengan isi artikel ini, terima kasih atas tulisannya :D

    Salam,

    ReplyDelete
  2. Sama-sama mas. Terima kasih juga atas tanggapannya :D

    Wa'alaikumussalam

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?