FPI Hendak Dibubarkan, Apa Sikap Kita?


Belakangan ini muncul banyak aksi penolakan warga terhadap FPI. Penolakan itu didasarkan pada kiprah FPI yang terlihat cenderung kasar dan main hakim sendiri. Ini patut disayangkan karena FPI pada prakteknya bukanlah ormas biasa. FPI adalah ormas yang bernafas Islam, yang seharusnya kehadirannya bisa disambut baik oleh ummat yang notabene juga mayoritas islam. Jika keadaan menunjukkan adanya penentangan dari sebagian masyarakat Islam terhadap sebuah ormas islam, maka ini mengindikasikan ada sesuatu yang salah di sini. What’s wrong?

Saya kira sikap bijak kita adalah tidak menempatkan permasalahan dalam konteks hitam putih. Ini bukan soal siapa (who) yang salah dan siapa yang benar, karena kalaulah yang disorot itu subjeknya, yang salah belum tentu 100% salah dan yang benar pun belum tentu 100% benar. Masalah harus ditempatkan secara jernih, objektif, dan to the point tentang apa titik yang menjadi inti persoalan. Dalam hal ini, tentu saja kekerasan.

Dalam wacana umum, kekerasan selalu berkonotasi negatif. Terkecuali pada kondisi yang amat khusus seperti membela diri dan sebagainya. Yang menjadi sorotan para penolak adalah sisi kekerasan yang ditunjukkan FPI. Pengrusakan fasilitas publik dan perkelahian adalah contoh kekerasan itu. Yang patut kita pertanyakan dan telusuri lebih lanjut adalah benarkah kerja FPI “hanya” melakukan kekerasan? Selama ini memang kita akui yang aktif disorot oleh media hanyalah sisi kekerasannya. Media jarang atau bahkan tidak pernah meyorot aksi-aksi damai yang dilakukan FPI, seperti penggalangan dana untuk korban gempa, pengajian, dialog akademis, dan sejenisnya. Kalaupun memang kekerasan yang terjadi terbukti dilakukan oleh oknum FPI, sejauh apa asbabul wurud terjadinya kekerasan seperti itu? Dari semua aktivitas FPI di Indonesia, berapa persen yang berakhir ricuh dengan kekerasan? Apakah persentase itu kemudian sudah sampai pada taraf yang bisa mengkonfirmasi statemen bahwa “Dominan aktivitas FPI adalah kekerasan”?

Saya secara pribadi menolak jalur kekerasan dalam penyelesaian masalah. Bagi saya, yang berwenang melakukan tindakan koersif adalah penyelenggara negara berdasarkan aturan yang berlaku. Kekerasan bukan wewenang individu, ormas, parpol, LSM, maupun badan lainnya di luar negara. Namun itu berlaku apabila negara memang melakukan tugasnya dengan baik. Bila negara lalai dari tanggungjawab ini, di mana aturan yang ditetapkan dilanggar sendiri (dalam perizinan judi dan pelacuran misalnya), maka munculnya vigilante pun sedikit banyak bisa dimengerti. Jika di roman bangsa Inggris pernah ada Robin Hood, di cerita rakyat Meksiko ada Zorro, dan di cerita epik Tiongkok ada gerombolan bandit Ryuzanpaku, maka sebutlah di Indonesia ada Front Pembela Islam. Bukan bermaksud membela tindakan kekerasan, hanya sekedar mengingatkan bahwa kekerasan di sini seringkali tak datang begitu saja dari ruang hampa.

Jangan lupa pula bahwa tak sedikit anggota masyarakat yang seringkali merasa sudah tahu segalanya hanya dengan menerima kabar dari media. Era keterbukaan informasi seperti sekarang ini memang meniscayakan seseorang mengakses informasi tentang apa saja. Tapi masalahnya, tidak semua informasi yang beredar itu benar, akurat, dan lengkap. Sehingga pengambilan kesimpulan yang terlalu dini berarti tak ubahnya menyikapi sesuatu secara subjektif, bukan objektif. Inilah yang akhirnya menjadi sorotan. Pertama, sejauh apa kebenaran, keakuratan, dan kelengkapan berita tentang sepak terjang FPI selama ini di masyarakat? Kedua, apakah penolakan-penolakan itu murni aspirasi masyarakat atau memang sengaja intrik pihak-pihak tertentu yang selama ini gerah dengan aktivitas FPI? Itulah sebabnya sikap sabar dibutuhkan dalam merespon hal seperti ini karena itu semua butuh kajian yang mendalam.

Kemudian persoalan pun sebenarnya tidak akan berhenti pada pembubaran saja. Kalaupun sebuah ormas dibubarkan, ia bisa hadir kembali dalam bentuk baru namun dengan format lama. Jika dibubarkan lagi maka ia tinggal membentuk lagi. Begitu seterusnya. Mirip dengan tokoh Bhu di film Dragonball Z. Sehingga wacana pembubaran pun akan kurang relevansinya tanpa follow up. Follow up yang saya maksud di sini adalah kegiatan untuk merekonstruksi kembali paradigma baru dalam bersikap. Yakni paradigma ud’u bil hikmah wal mau’idzotil hasanah, paradigma damai dan non kekerasan. Ini tidak hanya mencakup ormas yang hendak dibubarkan, tapi juga pemerintah sebagai penyelenggara negara. Sebuah ormas bisa saja digembleng untuk tidak main hakim sendiri, tapi itu meaningless tanpa komitmen aparat untuk memberikan penghakiman secara benar. Yang ada nantinya malah lingkaran setan yang terus menerus berputar tanpa akhir.

Inilah potret bangsa kita saat ini. Bagaimana potret bangsa kita di masa depan, tak ada yang tahu. Tapi saya kira kisi-kisi jawabannya bisa kita lihat dari bagaiman kita menyikapi berita ini. Apakah kita termasuk orang yang latah pada opini kerumunan? Ataukah termasuk orang yang kritis dan cermat menyikapi persoalan? Jawabannya tergantung pilihan kita sendiri.

Wallohua’lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?