Berbenahlah Muhammadiyah

Muhammadiyah itu didirikan untuk tujuan dakwah. Jadi kalau ada orang yang ada di Muhammadiyah tapi enggan bedakwah, dia seperti orang yang salah naik perahu...

Masjid ini tak lagi menggeliat. Begitu kira-kira perasaan yang muncul saat saya masuk ke Masjid Al Huda di Jalan KH Ahmad Dahlan Kisaran. Konon, dahulunya banyak kegiatan yang diadakan di sini. Tapi seiring berjalannya waktu, gairah dakwah dan aktivitas pembinaan seakan menjadi sesuatu yang tidak akrab di sini, bil khusus pada generasi muda. Alhamdulillah, kegiatan ta'lim ba'da maghrib hingga Isya tetap konsisten dilaksanakan, tapi dengan segala keterbatasannya. Keterbatasan di pemateri, keterbatasan di materi, dan keterbatasan di peserta ta'lim. Berkali-kali saya ikut ta'lim di sini, generasi muda yang ikut serta bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Mayoritas peserta kajian adalah generasi tua. Belum lagi dengan prasarana ilmu seperti buku-buku keagamaan yang bisa dikatakan minim. Jangan pula berpikir kegiatan semacam tahsin dan tahfidzul Qur'an, yang tentu saja tidak terlaksana.

Kerisauan atau kelesuan ini sepertinya cukup beralasan, mengingat Masjid Al Huda secara de jure adalah Masjid yang dikelola Muhammadiyah. Muhammadiyah, ormas Islam yang dikenal dengan slogan amar ma'ruf nahi munkarnya ini seharusnya bisa menjaga eksistensi kegiatan dakwahnya. Tapi kelesuan ini entah bagaimana sudah menggejala sedemikian lama. Seorang teman pernah nyeletuk, "begitulah memang kalau sudah terpaku pada keberadaan amal usaha". Ya, kadang banyak pengurus yang lupa pada progresivitas dakwah setelah muncul satu amal usaha. Dianggap aktivitas "minimal" amal usaha itu sudah memadai, dan tidak terpikir rencana untuk lebih bergiat lagi. Wallohua'lam.



Kelesuan seperti ini saya kira tidak hanya terjadi di sini, tapi juga di banyak tempat lainnya. Dan sebagai jamaah yang mengusung slogan tajdid (pembaharuan), Muhammadiyah seharusnya tidak boleh berdiam diri. Menurut hemat saya, kelesuan seperti ini setidak-tidaknya dipicu oleh beberapa faktor:

Pertama, wawasan yang kurang berkembang. Hal itu menyebabkan program-program yang dijalankan tidak sinkron dengan perkembangan lingkungan. Mandegnya wawasan ini bisa jadi karena acuannya hanyalah program-program masa lalu. Apa yang dulu dikerjakan, itulah yang juga dikerjakan sekarang. Tapi sayangnya minim inovasi. Akhirnya program-program yang dilaksanakan pun jadi ketinggalan dan semakin kurang relevansinya dengan kondisi di lapangan. Kurangnya interaksi, referensi, dan itikad belajar, bisa menjadi penyebab wawasan yang berjalan di tempat.

Kedua, jebakan rutinitas. Rutinitas di sini bisa dalam hal program yang dijalankan, bisa pula aktivitas keseharian. Dalam istilah lain, rutinitas ini menjadi zona nyaman yang membuat sebagian orang enggan bertajdid. Sebab tajdid tentu saja memerlukan energi dan sumberdaya baru. Keluar dari rutinitas berarti capek, susah, mahal, dan sebagainya.

Ketiga, kondisi ruhiyah yang kurang terjaga. Ini menjadi salah satu penyebab fatal dari kelesuan-kelesuan dakwah. Dakwah adalah aktivitas yang butuh stamina iman yang luar biasa untuk istiqomah.  Dan salah satu sumber energi untuk tetap istiqomah adalah keterjagaa ruhiyah. Ruhiyah yang "bermasalah" akan membuat dakwah menjadi sesuatu yang sangat berat untuk dikerjakan.

Oleh karena itu, juga ada tiga hal utama yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kelesuan-kelesuan seperti ini.

Pertama, memperbanyak interaksi, referensi, dan itikad belajar di kalangan penggerak-penggerak dakwah. Selain itu perlu juga kiranya melibatkan generasi muda potensial untuk menyerap ide-ide segar mereka. Penggunaan jejaring sosial di dunia maya juga perlu dioptimalkan agar cakupan pandang tidak hanya sebatas daerah, tapi menasional atau bahkan mendunia. Referensi-referensi keilmuan seperti buku dan majalah pun perlu diperbanyak. Muhammadiyah tidak boleh hanya terpaku pada informasi yang disediakan oleh Suara Muhammadiyah saja.

Kedua, untuk keluar dari zona nyaman memang butuh sumberdaya baru. Di sini memang harus ada sosok yang rela berkorban lebih banyak untuk mencetuskan inovasi sekaligus merealisasikannya dalam bentuk nyata. Adanya sosok pelopor seperti ini biasanya akan merangsang pelaku dakwah yang lainnya untuk ikut serta. Memang, selain itu tentu saja dibutuhkan penyadaran dalam bentuk nasehat dan teladan. Akhirnya, langkah kedua ini juga bergantung pada langkah ketiga.

Ketiga, penyadaran diri untuk terus meningkatkan kondisi ruhiyah. Salah satu cara untuk meningkatkannya adalah dengan menjaga kualitas ibadah dan akhlak di keseharian. Kita perlu menjaga sholat malam, tilawah dan tadabbur Al Qur'an, bersedekah, membantu orang lain, memberi salam, dan sebagainya yang sering kita anggap perkara sederhana. Tapi percayalah, meski sederhana, itu sangat powerful untuk penjagaan ruhani.

Akhirnya, tulisan ini mengajak para penggerak dakwah bil khusus di Persyarikatan Muhammadiyah untuk introspeksi dan menyadari kembali makna Muhammadiyah itu sendiri. Saya teringat sebuah pesan dari sesepuh Muhammadiyah alm. KH Suprapto Ibnu Juraemi, bahwa bermuhammadiyah itu berarti 5 hal:

Pertama, bermuhammadiyah itu berarti berislam
Semua aspek perilaku harus sejalan dan senafas dengan nilai-nilai Al Qur'an dan Sunnah. Alloh harus menjadi orientasi atas segala tingkah laku. Bebas dari syirik, bebas dari bid'ah, dan bebas dari perbudakan hawa nafsu. Ibadah wajib mutlak terjaga. Ibadah nawafil harus terpelihara dan akrab di keseharian. Sholat malam, tilawah Al Qur'an, menuntut ilmu, puasa sunnah, harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian.

Kedua, bermuhammadiyah itu berarti berdakwah
Muhammadiyah didirikan untuk tujuan dakwah. Olehkarenanya, akan mengherankan jika orang-orang yang terlibat di dalamnya punya keengganan dalam berdakwah. Itu ibarat orang yang salah naik perahu. Kalau tidak ingin berdakwah, tidak perlu repot-repot di muhammadiyah. Dakwah yang menjadi tugas mulia para Nabi ini kita coba emban dengan melingkupi semua interaksi kita dengan dakwah. Kita jadikan ucapan kita dakwah, diam kita dakwah, tulisan kita dakwah, percontohan kita dakwah, bahkan kalau memungkinkan ring tone ponsel kita pun selayaknya berisi dakwah.

Ketiga, bermuhammadiyah itu berarti berorganisasi
Organisasi adalah wadah bersinergi. Sinergi bukan hanya berarti kerja sama. Jikalau dalam kerja sama berarti 1 + 1 = 2, maka dalam sinergi berarti 1 + 1 = 3 atau bahkan lebih. Sinergi adalah penyatuan potensi untuk sebuah tujuan bersama. Muhammadiyah memiliki tujuan mulia, yakni menghadirkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan itu, kebersamaan menjadi mutlak perlu. Tidak patut lagi ada penggerak dakwah yang tidak mengenal siapa rekan-rekannya.

Keempat dan kelima, bermuhammadiyah bararti berjuang dan berkorban
Berjuang dan berkorban berarti tidak menjadikan aktivitas di persyarikatan sebagai aktivitas sisa yang dikerjakan di waktu-waktu sisa. Sebuah skripsi, tesis, atau disertasi tidak akan selesai-selesai jika pelakunya hanya menempatkannya sebagai aktivitas sisa. Seorang nelayan tidak akan bisa menangkap banyak ikan jikalau melaut hanya dikerjakan di waktu-waktu sisa. Demikian pula halnya dengan kita. Bila kita yakin bahwa aktivitas kita di Muhammadiyah hakekatnya untuk kita persembahkan pada Alloh, tidaklah patut kita melakukannya di sisa-sisa waktu.

Wallohua'lam bishowab

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?