Menjaring Pahala dengan Dedaunan
“Jika hari kiamat tiba, sedang ditangan seorang di antara kalian terdapat bibit kurma, jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah.” (HR. Ahmad)
Sepenggal hadits di atas menjadi pelecut dan penghadir inspirasi bagi saya saat berpikir apa yang akan saya kerjakan di kampung halaman. Lulus dari salah satu PTN terkemuka di Bogor dengan hasil sangat memuaskan, menjadi sebuah beban tersendiri bahwa kepulangan ini mesti memberi manfaat luas. Ternyata, kesempatan untuk memberi manfaat itu Alloh tunjukkan begitu saja di depan rumah. Teringat saya pesan hadits di atas, “Andai di tanganmu ada biji, maka tanamlah!”. Jadilah sepetak lahan kosong di depan rumah saya itu kebun pepaya, pisang, dan serai.
Bisa jadi banyak orang yang masih menganggap bercocok tanam sebagai kegiatan biasa-biasa saja. Padahal hakekatnya itu adalah satu hal yang istimewa. Menanam tanaman punya nilai plus dimensi ukhrawi. Dalam sebuah riwayat, Rosululloh saw pernah bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang, ataupun burung melainkan tanaman itu akan menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat” (HR Muslim). Itu artinya setiap tanaman yang tumbuh atas hasil kerja kita bisa mendatangkan pahala ketika ia menjadi manfaat bagi orang lain. Lebih dari itu, Alloh pun tidak membatasi manfaat itu untuk manusia saja, bahkan burung-burung dan hewan yang memperoleh manfaat pun akan terhitung sebagai sebuah kebaikan hingga hari kiamat. Bahkan seperti hadits riwayat Ahmad di atas, menanam sebuah biji kurma -walau tidak ada hasil yang bisa dipetik, pun akan terhitung sebagai sebuah kebaikan. MasyaAlloh.
Jika kita tilik lebih jauh, manfaat dari menanam itu beragam dan multidimensi. Akar tanaman yang menghujam ke tanah akan membatu mencegah erosi dan luturnya unsur hara akibat terjangan air hujan, dengan demikian ia akan menjaga kelestarian tanah. Daun-daunnya akan menjadi pembersih udara, mengurangi emisi gas rumah kaca, sekaligus penyedia utama oksigen bagi makhluk hidup. Batang dan rantingnya bisa digunakan semut-semut, serangga, dan burung-burung untuk membangun sarang, bahkan oleh manusia untuk bahan bangunan dan jembatan. Buahnya bisa dikonsumsi dan menjadi sumber nutrisi bagi keluarga, sebagai obat, atau dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. Dan seterusnya. Rasa-rasanya tak salah jika kita menganalogikan menanam tanaman dengan wakaf yang pahalanya everlasting. Bayangkan manfaat yang akan diberikan tanaman itu untuk kelestarian alam dan bayangkan pula setiap manfaat itu bertransformasi menjadi kebaikan bagi kita.
Oleh karena itu, menanam tanaman (apapun jenisnya) saya kira menjadi satu hal yang perlu kita biasakan. Lahan-lahan kosong yang ada di sekitar kita, di halaman, di pekarangan, bisa kita isi dengan berbagai macam tanaman yang mampu kita tanam. Jika hiasan di rumah maupun kantor kita masih banyak berupa tanaman palsu, bisa kita coba ganti dengan tanaman asli. Jika selama ini selepas makan buah biji yang tersisa selalu kita buang begitu saja, tak ada salahnya biji itu kita kumpulkan lalu kita tanam di suatu tempat. Meskipun biji itu tidak berhasil tumbuh, aktivitas itu sudah mendatangkan pahala untuk kita. Alhamdulillah kalau biji itu berhasil tumbuh besar dan berbuah.
Saya kira alangkah ruginya jika kesempatan beramal nyata yang sedehana seperti bercocok tanam ini kita sia-siakan begitu saja. Bahkan sosok sahabat selevel Abu Darda’ pun tidak melewatkan kesempatan mengeruk pahala lewat menanam tanaman. Dalam sebuah riwayat, diceritakan seorang laki-laki bertemu Abu Darda’ yang sedang menanam pohon. Kemudian, laki-laki itu bertanya kepada Abu Darda’, “Wahai Abu Darda’, mengapa engkau tanam pohon ini, padahal engkau sudah tuda sedangkan pohon ini tidak akan berbuah kecuali sekian tahun lamanya?” Abu Darda’ menjawab, “Bukankah aku yang akan memetik pahalanya di samping untuk makanan orang lain ?”
Mari kita tiru perilaku Abu Darda’ dalam rangka mengikuti sunnah Nabi. Kita tunjukkan bahwa dunia Islam adalah dunia yang hijau. Kita buktikan bahwa kehadiran Islam mampu menjadi manfaat, mampu menjadi rahmat, mampu memberikan kontribusi positif dalam melestarikan alam, sehingga kita layak disebut sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam.
Wallohua’lam
*Tulisan ini pernah dimuat di situs klikmuhammadiyah.net dengan judul yang sama
Comments
Post a Comment