Apa Iya Agama Kita Punya Musuh?

"Tuhan tidak perlu dibela, karena Ia maha kuasa"

Sebuah ungkapan pendek yang terkesan bijak dan masuk akal bila kita pandang sepintas lalu. Tapi andai kita merenung sedikit lebih dalam, ungkapan itu rupanya punya sisi destruktif berupa pewacanaan agar para pemeluk agama berhenti dari keseriusannya memperjuangkan agama. Benarkah agama tidak perlu diperjuangkan? Benarkah Tuhan tidak perlu dibela?

Intanshurullaha yanshurkum, bila kamu menolong Alloh maka Alloh akan menolongmu. Ini adalah kalimat Alloh sendiri yang tertulis dalam Al Qur'an. Maknanya jelas bersebrangan dengan ungkapan pembuka di atas. Kalau ungkapan di atas itu mengatakan bahwa kita tak perlu membela Tuhan, justru dalam Al Qur'an Alloh sendiri yang menganjurkan kita untuk membela-Nya. Dari sini, kita tentu sama-sama tahu mana anjuran yang lebih layak untuk kita ikuti.

Dari sini tentu kita perlu melihat istilah 'memberi pertolongan kepada Alloh' dalam perspektif khusus. Kita tahu jelas bahwa Alloh maha kuasa, maha kaya, dan tak butuh apa pun dari makhluk, lantas mengapa Alloh perlu kita tolong? Logika awamnya begitu bukan? Jawabnya adalah bahwa pertolongan itu bukan berarti Alloh tak sanggup menolong dirinya sendiri, tapi justru pertolongan itu adalah sebuah spasi atau ruang yang Alloh beri pada manusia sebagai sarana untuk beribadah. Ya, menolong Alloh berarti juga perwujudan tanggung jawab kita pada sesuatu yang kita imani sekaligus kita cintai. Jadi kata kuncinya ada dua: Sarana ibadah, dan wujud tanggung jawab.

Misalnya, andai keluarga kita diejek, ayah-ibu kita dicaci, saudara-saudari kita dilecehkan kehormatannya, bukankah kita tergerak untuk membela mereka? Mengapa? Karena kita memang masih mencintai mereka bukan? Pembelaan itulah wujud rasa cinta. Demikian pula dalam konteks pembelaan kita terhadap Alloh. Apa yang kita lakukan sebagai pembelaan itu adalah wujud dari kecintaan kita, tanggung jawab kita. Dan itu semua juga akan Alloh anggap sebagai amal ibadah yang besar nilainya.

Lantas Tuhan perlu kita bela dari apa? Apakah Tuhan memang punya musuh? Saya jawab, ya. Musuh itu ada, dan permusuhan itu dalam tataran praktis dialamatkan pada agama. Oleh karenanya wujud pembelaan kita kepada Alloh secara praktis juga akan berwujud pada pembelaan kepada agama (Islam).

Saya tidak menampik kenyataan bahwa ada sebagian kita yang masih belum yakin pada keberadaan musuh Alloh alias musuh agama. Sebagian dari mereka mungkin berpikir bahwa hal-hal seperti itu hanya sekedar teori konspirasi belaka. Sebagian lagi mungkin berpikir bahwa permusuhan atas nama agama semacam itu hanya ada di masa lalu, bukan masa kini, apalagi masa depan. Saya maklum, bisa jadi pemikiran seperti itu muncul karena mereka belum pernah melihat, mendengar, dan merasakan keberadaan musuh itu secara langsung. Tapi saya yakin karena saya, atas izin Alloh, sudah bersinggungan dengan beberapa pihak yang secara nyata memang memusuhi agama Alloh.

Wujud nyata dari permusuhan itu adalah penistaan secara terang-terangan terhadap simbol-simbol keislaman, konsep ketuhanan, konsep kenabian, konsep ajaran, hingga pada personifikasi kaum muslimin secara umum. Tak perlu jauh-jauh, generasi kita tentu pernah akrab dengan provokasi yang dibuat oleh Gert Wilders lewat film 'Fitna'-nya. Andai kita mencermati isi film itu, suasana permusuhan yang dibangun kepada konsep-konsep keislaman sangat terasa, bahkan secara vulgar. Pernah ada pula karikatur yang melecehkan Rosululloh saw, yang mengiaskan seolah-olah Rosululloh saw yang mulia membawa ajaran terorisme bagi dunia, seorang maniak seks, dan berpenyakit jiwa. Ingin contoh lain? Lihatlah situs-situs internet yang bertebaran di mana postingan-postingannya secara khusus memang mendiskreditkan ajaran agama kita (tak ada hal lain yang dibahas) bahkan ada yang terang-terangan berupaya mengeluarkan pemeluknya dari agamanya. Na'udzubillah. Gejala penistaan seperti ini tak hanya satu dua, tapi sudah sering berulang. Sehingga rasa-rasanya kita layak berpikir bahwa memang ada komunitas yang menaruh permusuhan dengan agama.

Itu baru yang menampakkan aktivitasnya secara terang-terangan. Ada lagi yang memang bergerak secara halus, seperti beberapa lembaga yang bekerja untuk mendekonstruksi ajaran agama sehingga tidak lagi punya ciri keislaman. Ada pula yang aktivitasnya menjauhkan kaum muslimin dari ajaran orisinil agamanya dengan membiasakan budaya baru yang notabene berhadapan vis-a-vis dengan 'budaya' yang dibawa agama. Kadang aksi mereka tidak secara frontal menunjukkan permusuhannya namun secara substansi, bila kita bersedia untuk lebih jeli, aktivitas mereka punya efek merusak.

Saya pribadi tidak begitu mengerti apa alasan di balik kemunculan mereka beserta gerakan-gerakannya. Saya hanya bisa mengira-ngira bisa jadi sebagian mereka punya alasan teologis tersendiri. Seperti yang sudah sering kita dengar dari QS Al Baqarah : 120, wa lantardho 'ankal yahudu walan nashoro hatta tattabi'a millatahum. Sebagian lagi mungkin melakukannya karena alasan ekonomi, karena sistem kapitalisme yang menjadi tulang punggung ekonomi saat ini memang tidak didukung oleh konsep agama. Kapitalisme cenderung membuka ruang untuk serakah, mengeksploitasi habis-habisan, dan diskrimitif sedangkan agama mengajarkan untuk hidup secara wajar, hidup seimbang, dan hidup setara sesama manusia. Dengan menjauhkan kaum muslimin dari agamanya, diharapkan resistensi dunia (khususnya kaum beragama) terhadap kapitalisme ini berkurang hingga semua eksploitasi bisa berjalan mulus. Who knows? Saya hanya bisa mengira. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk membela? Saya kira ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:
  1. Memperdalam sekaligus memperluas cakrawala keagamaan. Ini penting agar konsep kehidupan kita bisa lebih teguh dan kita punya power untuk menghadapi problematika dunia dengan lebih bijak. Semakin kita mengenal agama, semakin kita adaptif pada kehidupan, karena sistem agama kita lahir dari Alloh yang menciptakan kehidupan. Ibarat manual book, agama akan menjadi penuntun hidup yang efektif.
  2. Membangun kekuatan internal berupa penguasaan ekonomi, ilmu pengetahuan, ke'ukhuwah'-an, bahkan kalau bisa juga persenjataan. Kita harus mulai mengorientasikan segala hal yang profan (duniawi) itu dengan nilai-nilai ketuhanan. Dalam agama kita, hidup dan agama tak bisa dipisahkan. Sehingga semua hal yang kita lakukan dalam hidup itu punya dampak buat akhirat. Dengan kata lain, membangun ekonomi, sosial, budaya, iptek dan sebagainya itu juga bagian dari ibadah kita kepada Alloh. Maka saya katakan keliru jika ada orang yang menganggap agama hanya persoalan fiqh saja.
  3. Memberikan respon dengan akhlakul karimah. Islam, agama kita adalah agama akhlak. Dengan akhlak itulah kita seharusnya menjadi guru bagi perdaban, menjadi teladan. Dan akhlak dalam agama punya arti yang sangat besar. Sebuah hadits mengatakan bahwa amalan yang timbangannya nanti paling berat di hari kiamat adalah akhlak yang baik. Oleh karenanya, semua permusuhan yang ditujukan pada agama kita harus selalu kita sikapi dengan kepala dingin. Al Qur'an sudah mengajarkan kita konsep qishash, yakni mata dengan mata, gigi dengan gigi, nyawa denga nyawa, dan seterusnya. Oleh karenanya kita tak boleh gegabah melawan permusuhan dalam tataran pemikiran dengan kekerasan. Sebuah pemikiran harus seoptimal mungkin dilawan dengan pemikiran. Buku dengan buku. Pelemahan di sisi iptek dengan membangun iptek. Pelemahan di sektor ekonomi dengan membangun ekonomi. Begitu seterusnya.
Akhir kata, tulisan ini tidak dibuat untuk membangun permusuhan baru. Kita tidak menutup mata bahwa di luar sana selalu saja ada orang yang memusuhi, namun kita juga sadar bahwa tidak semua mereka memusuhi (atau setidaknya menunjukkan permusuhannya). Oleh karena itu mari kita sikapi secara wajar dan proporsional. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh alm. Zainudin MZ, agama kita mengajarkan untuk jangan mencari musuh, namun bila musuh menghadang, agama pun mengajarkan kita untuk berpantang lari.

Al Islamu ya'lu wala yu'la 'alaih, Islam itu tinggi dan tak tertinggikan...

Wallohua'alm bishowab





Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?