Jangan Bertikai, Sungguh Mukmin itu Bersaudara

Saat dua orang muslim bertikai, siapa yang tertawa puas? Jawabnya adalah setan. Setan lah yang tertawa puas. Terlebih jika pertikaian itu sudah meluas ke dua atau lebih golongan kaum muslimin, maka setan pun akan tertawa lebih puas. Maka jangan engkau biarkan setan menertawai kita saudaraku. Sesungguhnya mukmin itu bersaudara...

Miris rasanya di era di mana kaum muslimin masih tertinggal jauh peradabannya di belakang, di situ pula pertikaian kerap terjadi. Tak susah kiranya menyebutkan satu dua contohnya. Lihat saja peristiwa bentrokan antara warga setempat dengan jamaah MTA (Majlis Tafsir Al Qur'an) di Blora beberapa waktu lalu. Entah apa yang menjadi pemicu utamanya, setidaknya saya melihat adanya kesan ketidakdewasaan sebagian masyarakat menghadapi perbedaan. Lebih miris lagi, budaya tabayun yang menjadi ciri akhlak islami seolah ditinggalkan. Warga merasa seolah berhak bertindak berdasarkan persepsinya sendiri.

Kita bisa lihat pula banyak forum diskusi di berbagai media sosial, soal perbedaan penetapan awal Ramadhan yang berujung cekcok dan saling hina. Massa yang berpuasa bersama pemerintah menganggap massa yang berbeda sebagai biang keladi tidak bersatunya umat Islam, menggunakan kriteria yang usang, hingga fanatik dan mengutamakan ego pribadi. Sebaliknya pihak yang berbeda membalas pihak yang ikut pemerintah dengan tak kalah pedasnya. Ini skala kecil, di mana lagi-lagi sebagian umat menampakkan ketidakdewasaannya dalam menyikapi perbedaan.

Di skala yang lebih besar, gejala keretakan persatuan jauh lebih dramatis. Dunia islam, bersama pemimpin-pemimpinnya, tak berkutik saat satu demi satu negara Timur Tengah dilanda perang saudara. Afganistan, Irak, Libya, Mesir, dan sekarang Suriah. Belum lagi problem klasik terkait pelanggaran kemanusiaan yang seolah diabaikan: Palestina. Di tambah lagi persoalan yang tak kunjung usai di Somalia dan Sudan. Ada kesan, masing-masing negara islam (yang dihuni mayoritas muslim) sana hanya mementingkan nasionalismenya sendiri, abai pada aspek keumatan yang dibentuk atas dasar kesatuan akidah.

Saya jadi teringat fragmen sejarah yang saya baca dari novel Thousand Splendid Suns, yang menceritakan pasang surut kehidupan masyarakat Afganistan. Awalnya kaum mujahidin bersatu padu melawan kepongahan tentara Sovyet. Dan persatuan itu berbuah manis, dengan datangnya kemenangan kaum mujahidin. Namun era bahagia itu tak bertahan lama, karena masing-masing milisi mujahidin malah berebut pengaruh kekuasaan yang berujung pada perang Saudara. Hingga kini, membayangkan persatuan milisi Afganistan seperti sedia kala rasanya sulit. Perbedaan ideologi (meski sama-sama muslim) menjadi penghalang lahirnya rekonsiliasi.

Ya, kalau sedikit saja kita mencari tahu, akan lebih banyak lagi fenomena tak menyenangkan yang mau tak mau harus kita hadapi, bahwa kaum muslimin saat ini memang lemah karena selalu berseteru. Padahal, di luar perseteruan itu, musuh-musuh agama ini leluasa bergerak dan terus saja menggerogoti masyarakat Islam, kadang tanpa kita sadari. Anak-anak muda perlahan tapi pasti digiring ke pola hidup hedonis dan cengeng. Kaum dhuafa sedikit demi sedikit tergadai keimanannya oleh tingkah kaum misionaris dan zending. Sektor ekonomi kaum muslimin tetap tertinggal dan secara umum harus pasrah menjadi pelaku kelas dua. Di sisi sains dan IPTEK lagi-lagi kita harus berpuas diri dengan menjadi pengekor teknologi. Begitu seterusnya.

Bagaimana pun, perbedaan yang menjadi alasan perseteruan itu saya yakin akan terus ada dalam tubuh kaum muslimin. Namun saya juga yakin bahwa perbedaan itu bukanlah alasan sesungguhnya. Perbedaan tidak serta merta melahirkan perseteruan. Lihatlah masa para Sahabat, tabi'in, dan salafus sholeh dahulu. Perbedaan saat itu sudah menjadi hal yang niscaya. Namun kedewasaan mereka menyikapi perbedaan membuat kaum muslimin saat itu masih punya martabat dan kepedulian satu sama lain.Meski berbeda, mereka tetap mampu menjaga akhlaknya dan menempatkan hak-hak kaum muslimin sebagaimana mestinya.

Kunci persatuan di tengah perbedaan saya kira sederhana, yakni tetap menjaga akhlakul karimah dalam pergaulan. Tak peduli selebar apa pun jurang perbedaan itu, jika masing-masing kita tetap mampu menjaga adab, perseteruan itu sebisa mungkin akan tertekan.

Adab-adab itu di antaranya adalah:
  1. Menjaga prasangka baik. Setiap muslim berhak memperoleh prasangka baik dari muslim lainnya. Oleh karena itu selama kita merasa muslim, kita wajib memberikan hak tersebut pada muslim lainnya.
  2. Tabayun (kroscek/klarifikasi). Al Qur'an sudah menjelaskan bahwa apabila ada sebuah kabar yang diedarkan oleh orang fasik (yang dalam hal ini juga bisa dimaknai kabar yang tak jelas juntrungannya) kita berkewajiban untuk mengecek kebenarannya. Seringkali, konflik bermula dari salah paham yang diawali oleh keengganan untuk tabayun.
  3. Tidak menghina/mencela. Celaan inilah yang membuat sebuah diskusi hilang orientasinya. Masing-masing pihak yang berbeda memang berhak untuk saling mengkritisi. Namun jikalau kritik itu sudah berupa hinaan, sifat dasar manusia pun akan muncul: manusia tidak akan peduli lagi substansi kritiknya dan akan lebih mementingkan bagaimana cara menjaga harga diri (ego) miliknya.
Mungkin ada beberapa adab lagi yang perlu kita jaga untuk menjaga persatuan, namun saya kira tiga inilah adab yang paling utama sekaligus paling sering diabaikan oleh umat. Semoga risalah kecil ini sedikit banyak mengembalikan kesadaran kita bahwa kita butuh persatuan agar jaya, dan agar umat ini lebih baik dan bermartabat. 

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?