Meneguhkan Karakter Berjamaah Dakwah
Ahad, tanggal 15
Januari 2011 yang lalu, saya berkesempatan menghadiri tabligh akbar yang
diadakan PD Muhammadiyah Asahan dalam rangka Milad Muhammadiyah ke 102/99 M.
Tabligh akbar kali ini menghadirkan Pak Yunahar Ilyas, Lc. dari PP Muhammadiyah
Yogyakarta. Ini kesempatan pertama saya bertemu langsung dengan beliau.
Sebelumnya hanya akrab dengan sosok beliau lewat tulisan ataupun
ceramah-ceramahnya di dunia online.
Setelah
rangkaian seremoni seperti biasanya (gaya birokrasi), tabligh akbar pun
dimulai. Pak Yun memaparkan sejarah awal berdirinya Muhammadiyah oleh Kiai
Dahlan dan para muridnya. Awalnya menurut beliau, Kiai Dahlan tidak bermaksud
mendirikan sebuah persyarikatan besar seperti sekarang ini. Niat awal beliau
sangat sederhana, yakni ingin memberikan pengajaran agama Islam pada anak-anak
yang saat itu masih minim diajarkan di sekolah-sekolah milik Belanda. Karena
tidak memperoleh izin memberikan mata pelajaran baru sekolah Belanda, beliau pun
pergi ke Budi Utomo dan hendak mengajar agama Islam di sekolah-sekolah milik
Budi Utomo. Pengelola Budi Utomo setuju dan memberikan kesempatan pada Kiai
Dahlan untuk mengajar. Namun seiring berjalannya waktu, Kiai pun sadar bahwa
ritme dan intensitas pelajaran agama di sana pun masih terlalu sedikit,
olehkarenanya Beliau menemui pengurus Budi Utomo hendak mengutarakan maksud
menambah jam pelajaran agama Islam. Kali ini Budi Utomo menolak. Mereka
berpesan jika mau menambah porsi agama Islam, dirikan sekolah sendiri saja.
Pesan (menyindir)
itu ditanggapi Sang Kiai dengan positif. Beliau pun bertanya apa syaratnya
membuat sekolah? Budi Utomo menjawab syarat membuat sekolah harus ada izin
belanda, dan agar dapat izin belanda harus punya organisasi yang diakui
belanda, dan untuk membuat organisasi minimal harus punya tujuh anggota.
Akhirnya Kiai pulang dan mencoba mengumpulkan anak-anak muda tetangga yang juga
merangkap sebagai jamaah pengajiannya. Singkat cerita, berdirilah persyarikatan
Muhammadiyah atas izin Belanda pada saat itu. Sejak itu, sekolah yang diidamkan
Sang Kiai pun berdiri, di rumahnya sendiri.
Pak Yun
mengatakan, Andai Alloh berkehendak menghidupkan kembali Kiai Dahlan pada masa
ini, barangkali beliau akan terkejut melihat perkembangan persyarikatannya yang
begitu banyak amal usahanya. Kini sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak hanya
satu, tapi puluhan ribu dan tersebar di Nusantara, dari mulai PAUD, TK, hingga
perguruan tinggi. Ditambah lagi dengan panti asuhan, rumah sakit, balai
pengobatan, lembaga amil zakat, dan sebagainya. Lalu mengapa niatan sederhana
sang Kiai bisa berdampak dahsyat sedemikian rupa? Pak Yun mengatakan, itulah efek
dari keikhlasan. Hati yang begitu ikhlas dalam beramal akan menghadirkan rahmat
Alloh. Andai ia mengerahkan usaha untuk satu langkah, maka hasilnya bisa jadi
10 langkah. Ada 9 langkah yang murni pemberian Alloh. Itulah salah satu balasan
bagi amal yang ikhlas.
================================
Pada kesempatan
kali ini Pak Yun juga memaparkan kembali karakteristik dalam berjamaah dakwah.
Meski secara khusus konteksnya adalah gerakan Muhammadiyah, tapi ini juga bisa
jadi hikmah yang cukup baik bagi jamaah di luar Muhammadiyah.
###
###
Pertama, jamaah
dakwah mestilah berorientasi pada Al Qur’an dan Sunnah. Untuk itu, diperlukan
perangkat keilmuan yang baik agar pesan-pesan Al Qur’an dan Sunnah ini dapat
mewujud secara nyata di keseharian. Jangan sampai pesan Al Qur’an dan Sunnah
berhenti hanya di kepala, atau dalam hati saja, jauh dari realitas masyarakat. Al
Qur’an dan Sunnah harus ditempatkan sebagai solusi dari persoalan-persoalan
masyarakat.
Pertanyaannya,
sekarang kan banyak ditemui pihak-pihak yang mengaku berorientasi pada Al Qur’an
dan Sunnah, tetapi mengapa perbedaan itu masih ada bahkan cenderung tajam? Jawabnya
karena penafsiran manusia yang juga berbeda. Penyebab berbedanya penafsiran itu
ternyata tidak semata-mata hawa nafsu, tapi bisa juga perbedaan latar belakang
budaya, kondisi sosial, kapasitas dan keluasan ilmu, maupun pengalaman manusia.
Selama penafsiran atas kaidah agama itu bersandar pada metodologi yang jelas
dan bisa dipertanggungjawabkan, perbedaan tafsir tidak seharusnya menjadi
sandaran untuk menjudge sesuatu. Sah-sah saja asal tidak bermusuhan. Meski demikian,
setiap jamaah dakwah tentunya mesti memiliki rujukan metodologis untuk menjadi
panduan warganya. Ini agar perjalanan jamaah itu bisa tetap kovergen. Tidak
sehat juga apabila setiap anggota jamaah punya kreasi tafsir sendiri.
###
Kedua, jamaah dakwah mestilah beramal. Mirip semboyan PLN di zaman Pak Dahlan Iskan dulu, bekerja, bekerja, bekerja. Karena hakekat dibentuknya jamaah dakwah adalah untuk memaksimalkan amal. Jadi sangat lucu jika mengaku gerakan dakwah tapi amalnya nihil. Di Muhammadiyah sendiri, amal menjadi persyaratan utama untuk mendirikan ranting. Bentuk amal itu bisa berupa pengajian, halaqoh keilmuan, masjid, mushola, sekolah, rumah sakit, atau apa pun yang penting amal usaha yang minimal beranggotakan 9 orang. Bagi gerakan yang amalnya lesu, sudah saatnya berbenah diri.
###
Ketiga, jamaah dakwah mesti ikhlas. Ini mirip dengan apa yang dituntunkan oleh Rosululloh saw. Tanpa keikhlasan, amal tak ubahnya debu-debu yang beterbangan. Tidak hanya itu, keikhlasan dalam beramal juga menjadi pemicu hadirnya rasa bahagia. Sebaliknya, amal yang tidak ikhlas akan berbalik menyiksa pelakunya hingga binasa.
Keikhlasan di sini bisa dilihat ciri-cirinya. 1) Hanya berharap ridho dari Alloh semata. 2) Sungguh-sungguh dalam bekerja. 3) tidak bangga jika dipuji dan tidak marah jika dikritik.
###
Keempat, jamaah dakwah mesti modern dan moderat. Modern di sini tentu bermakna berkemajuan. Artinya selalu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Tentu maksudnya bukan mengubah-ubah agama agar sesuai (dicocok-cocokkan), tetapi maksudnya menggunakan teknologi baru atau inovasi dalam beraktivitas. Untuk perkara yang prinsip, seperti ibadah dan aqidah, agama adalah konstanta. Tapi untuk masalah muammalah, agama adalah variabel. Dalam kontesk muammalah inilah moderisasi perlu terus dilakukan, misalnya dengan menggunakan media atau jejaring sosial dalam menyebarkan ilmu keislaman, membangun koordinasi, konsolidasi, dan sebagainya.
Moderat berati pertengahan, alias tidak ekstrim kiri maupun kanan. Jamaah dakwah harus ditempatakan jauh dari sikap liberal dan jauh pula dari sikap saklek. Ini sejalan dengan perintah Alloh dalam surah Al Baqarah yang menghendaki kita untuk menjadi ummat pertengahan. Mirip kurva sebaran nilai baku yang berbentuk lonceng, sikap pertengahan ini juga menjadikan jamaah dakwah mudah menjangkau masyarakat.
==================================
Itulah beberapa pesan yang saya tangkap dari acara Tabligh Akbar kali ini. Mungkin kesannya klise ya, dan semua orang bisa jadi udah tau. Sudah jadi common sense. Tapi pengingat-pengingat seperti ini sebenarnya bermanfaat buat manusia yang tabiatnya memang mudah lupa.
Wallohua’lam
Sederhana, tapi sangat bermanfaat...
ReplyDeletekembali diingatkan untuk menjaga "keikhlasan"...
Yup...kakak juga sempat "tertohok" waktu pembahasan amal dan ikhlas. Hatur nuhun Wulan udah bersedia ngebaca :-)
ReplyDeleteAnak Kisaran ya?dimana sekarang? Ber-NBM kah? dan pernahkah kita berjumpa?
ReplyDeleteberkunjung sekali2 ke blognyaalul.blogspot.com
sudah saya masukkan link nya..
Iya Pak. InsyaAlloh. NBM-nya masih diurus sama Bang Sjaf dkk, hehehe. Hatur nuhun Pak sudah bersedia membaca
ReplyDeletewah ternyata saya pernah komen di blognya pak asto, bahkan sebelum kita kenal rupanya. hehehe...
ReplyDeletesebab majalah mawaddah yang direncanakan terbit di edisi kedua pada bulan mei 2012nya...