Beginikah Rasanya Diberhentikan?
Saya pernah tahu bagaimana rasanya dipecat alias diberhentikan. Saat itu saya masih berstatus mahasiswa tingkat awal di Teknologi Industri Pertanian IPB. Kultur yang umum di jurusan saya saat itu, tingkat awal adalah masa-masanya tugas, praktikum, dan laporan akademik menumpuk. Kalau pakai istilah yang agak keren, masa ini masanya eskalasi. Ini waktunya di mana mahasiswa tetap menjadi mahasiswa 24 jam non-stop, 7 hari seminggu. Nyaris tak ada waktu untuk aktivitas pribadi. --> majas hiperbolis
Dalam kondisi super sibuk seperti itu, saya dan beberapa orang mahasiswa tetap menyempatkan diri mengikuti kegiatan di organisasi di akhir pekan. Untuk saya, saya memilih ikut di salah satu lembaga pembinaan remaja dan anak-anak. Apa alasannya? Awalnya karena saya ingin membantu seorang teman yang nampaknya cukup kerepotan berkerja sendirian di sana. Tapi lama kelamaan alasan itu pudar karena saya menemukan alasan yang lebih baik: 1) Saya menyenangi aktivitas pembinaan. 2) Saya senang dengan anak-anak.
Singkat cerita, saya pun diterima di lembaga tersebut. Lembaga ini adalah lembaga nir-laba alias nonprofit. Orang-orang yang beraktivitas di sana berkerja sama sekali tanpa bayaran, tanpa imbalan. Imbalan yang kami dapatkan saat itu hanya kepuasan batin saat membina anak-anak dan melihat mereka tersenyum. Cuma itu. Untuk itu, kami harus rela menghabiskan waktu akhir pekan mulai jam 6.30 pagi hingga zuhur. Plus agenda syuro/rapat ba'da zuhur sampai menjelang ashar. Jadi tidak kurang dari 8 jam di tiap hari Ahad kamu meluangkan waktu untuk Lembaga ini.
Saya yang saat itu memang dihimpit tumpukan tugas akademik masih sanggup memenuhi kewajiban itu. Tapi tidak lebih dari itu. Itulah yang membuat saya akhirnya terpaksa berkali-kali harus izin saat ada agenda syuro dadakan, agenda mabit, agenda tahsin, dan beberapa agenda lainnya. Bukan karena tak mau, tapi karena memang tak mampu. Terlebih saya harus menjaga diri dari aktivitas yang terlalu memporsir tubuh karena riwayat hepatitis yang pernah saya derita.
Hingga beberapa bulan saya di lembaga itu, saya dikejutkan oleh sebuah sms yang masuk ke ponsel saya. Ujung dari kalimat dalam sms itu berbunyi "...Kami menyatakan antum keluar dari xxx". MasyaaLloh!! Sms itu datang tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda. Tidak ada peringatan apa-apa sebelumnya. Tidak ada klarifikasi, tidak ada penjelasan utuh yang saya terima, dan tidak ada hak jawab bagi saya. Keputusannya mengalir begitu saja. Konon keputusan itu adalah hasil dari syuro, meski saya tidak tahu siapa yang menghadiri syuro itu. Jujur, pada saat itu saya geram dan sakit hati. Bahkan sakit hati untuk secara langsung menemui pihak lembaga terkait menanyakan konfirmasi.
Kalau pakai istilah PSSI, ketidakpuasan saya muncul karena saya merasa masih memenuhi statuta. Saya tidak melakukan pelanggaran. Saya merasa tetap memenuhi kewajiban saya sebagai pengurus lebaga tersebut. Saya berpikir, seandainya memang ada pelanggaran yang saya lakukan, seharusnya saya menerima teguran atau peringatan. Tapi nyatanya saya merasa tidak pernah menerimanya sekalipun. Tiba-tiba saja 'pemecatan' itu dilakukan.
Beginikah rasanya diberhentikan? Sepertinya ya.
Tapi itu cerita masa lalu kawan. Pemecatan itu bukanlah akhir dari aktivitas saya di organisasi. ProKA (Program Kakak Asuh), lembaga lain yang juga punya aktivitas serupa, menjadi tempat berlabuh saya dan menjadi penyejuk hati sekaligus peredam rasa sakit hati itu.
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah sebuah pengingatan akan pentingnya sebuah klarifikasi. Sebuah aktivitas yang berdasar pada kerjasama maupun komunitas, secara otomatis memerlukan pranata berupa apresiasi atas kehadiran individu-individu yang ada di dalamnya. Ya, setiap individu mutlak dihargai. Terlepas dari hierarki di dalamnya serta wewenang yang meliputinya, kehadiran setiap anggota tidak boleh dilupakan. Pertama, karena individu itu adalah manusia yang berperasaan. Kedua, karena kemanusiaan itu meniscayakan adanya kekeliruan. Ketiga, karena kekeliruan itu seringkali bisa diperbaiki.
Keputusan sepihak tentunya akan merugikan karena akan menciderai rasa keadilan. Tanpa klarifikasi, dan tanpa pengingatan, perasaan terzalimi yang muncul akan menjadi wajar. Jika ketidakadilan berarti zalim, dan kezaliman akan berujung dosa, maka ini lebih tak pantas lagi dilakukan oleh sebuah institusi keislaman.
Kasus yang mirip juga bisa terjadi dalam sebuah mailing list, ataupun di grup online. Saya pernah menemui beberapa postingan yang dihapus secara sepihak oleh admin, tanpa klarifikasi, tanpa pengingatan, baik kepada forum maupun kepada orang yang bersangkutan (pengirim postingan). Penghapusan tanpa klarifikasi seperti ini mirip dengan kasus pemecatan di atas. Keduanya sama-sama sebuah kezaliman, hanya beda level saja.
Tindakan sepihak tanpa klarfikasi saya kira akan berbahaya jika terus dipelihara. Kita bisa lihat betapa banyak kelompok masyarakat yang sangat mudah memberikan klaim, penghakiman, dan sejenisnya tanpa ada proses dialog. Ujung-ujungnya kekerasan pun menjadi pilihan. Bisa kekerasan secara fisik, verbal, maupu penyikapan lainnya.
Saya teringat kalimat bijak seorang teman, bahwa seseorang itu seharusnya dihormati bukan karena kedudukannya, tapi karena eksistensinya sebagai seorang manusia. Siapa pun orangnya, tua, muda, kaya, miskin, muslim, atau kafir, semuanya punya hak yang sama untuk dihargai. Bentuk nyatanya, dengan dimintai klarifikasi atas tindakan-tindakannya.
Pada akhirnya, kalau pun pemecatan itu memang harus dilakukan, denga klarifikasi si objek penderita akan merasa tetap terpenuhi haknya sebagai seorang manusia, terlebih lagi sebagai seorang saudara.
Wallohua'lam
Dalam kondisi super sibuk seperti itu, saya dan beberapa orang mahasiswa tetap menyempatkan diri mengikuti kegiatan di organisasi di akhir pekan. Untuk saya, saya memilih ikut di salah satu lembaga pembinaan remaja dan anak-anak. Apa alasannya? Awalnya karena saya ingin membantu seorang teman yang nampaknya cukup kerepotan berkerja sendirian di sana. Tapi lama kelamaan alasan itu pudar karena saya menemukan alasan yang lebih baik: 1) Saya menyenangi aktivitas pembinaan. 2) Saya senang dengan anak-anak.
Singkat cerita, saya pun diterima di lembaga tersebut. Lembaga ini adalah lembaga nir-laba alias nonprofit. Orang-orang yang beraktivitas di sana berkerja sama sekali tanpa bayaran, tanpa imbalan. Imbalan yang kami dapatkan saat itu hanya kepuasan batin saat membina anak-anak dan melihat mereka tersenyum. Cuma itu. Untuk itu, kami harus rela menghabiskan waktu akhir pekan mulai jam 6.30 pagi hingga zuhur. Plus agenda syuro/rapat ba'da zuhur sampai menjelang ashar. Jadi tidak kurang dari 8 jam di tiap hari Ahad kamu meluangkan waktu untuk Lembaga ini.
Saya yang saat itu memang dihimpit tumpukan tugas akademik masih sanggup memenuhi kewajiban itu. Tapi tidak lebih dari itu. Itulah yang membuat saya akhirnya terpaksa berkali-kali harus izin saat ada agenda syuro dadakan, agenda mabit, agenda tahsin, dan beberapa agenda lainnya. Bukan karena tak mau, tapi karena memang tak mampu. Terlebih saya harus menjaga diri dari aktivitas yang terlalu memporsir tubuh karena riwayat hepatitis yang pernah saya derita.
Hingga beberapa bulan saya di lembaga itu, saya dikejutkan oleh sebuah sms yang masuk ke ponsel saya. Ujung dari kalimat dalam sms itu berbunyi "...Kami menyatakan antum keluar dari xxx". MasyaaLloh!! Sms itu datang tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda. Tidak ada peringatan apa-apa sebelumnya. Tidak ada klarifikasi, tidak ada penjelasan utuh yang saya terima, dan tidak ada hak jawab bagi saya. Keputusannya mengalir begitu saja. Konon keputusan itu adalah hasil dari syuro, meski saya tidak tahu siapa yang menghadiri syuro itu. Jujur, pada saat itu saya geram dan sakit hati. Bahkan sakit hati untuk secara langsung menemui pihak lembaga terkait menanyakan konfirmasi.
Kalau pakai istilah PSSI, ketidakpuasan saya muncul karena saya merasa masih memenuhi statuta. Saya tidak melakukan pelanggaran. Saya merasa tetap memenuhi kewajiban saya sebagai pengurus lebaga tersebut. Saya berpikir, seandainya memang ada pelanggaran yang saya lakukan, seharusnya saya menerima teguran atau peringatan. Tapi nyatanya saya merasa tidak pernah menerimanya sekalipun. Tiba-tiba saja 'pemecatan' itu dilakukan.
Beginikah rasanya diberhentikan? Sepertinya ya.
Tapi itu cerita masa lalu kawan. Pemecatan itu bukanlah akhir dari aktivitas saya di organisasi. ProKA (Program Kakak Asuh), lembaga lain yang juga punya aktivitas serupa, menjadi tempat berlabuh saya dan menjadi penyejuk hati sekaligus peredam rasa sakit hati itu.
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah sebuah pengingatan akan pentingnya sebuah klarifikasi. Sebuah aktivitas yang berdasar pada kerjasama maupun komunitas, secara otomatis memerlukan pranata berupa apresiasi atas kehadiran individu-individu yang ada di dalamnya. Ya, setiap individu mutlak dihargai. Terlepas dari hierarki di dalamnya serta wewenang yang meliputinya, kehadiran setiap anggota tidak boleh dilupakan. Pertama, karena individu itu adalah manusia yang berperasaan. Kedua, karena kemanusiaan itu meniscayakan adanya kekeliruan. Ketiga, karena kekeliruan itu seringkali bisa diperbaiki.
Keputusan sepihak tentunya akan merugikan karena akan menciderai rasa keadilan. Tanpa klarifikasi, dan tanpa pengingatan, perasaan terzalimi yang muncul akan menjadi wajar. Jika ketidakadilan berarti zalim, dan kezaliman akan berujung dosa, maka ini lebih tak pantas lagi dilakukan oleh sebuah institusi keislaman.
Kasus yang mirip juga bisa terjadi dalam sebuah mailing list, ataupun di grup online. Saya pernah menemui beberapa postingan yang dihapus secara sepihak oleh admin, tanpa klarifikasi, tanpa pengingatan, baik kepada forum maupun kepada orang yang bersangkutan (pengirim postingan). Penghapusan tanpa klarifikasi seperti ini mirip dengan kasus pemecatan di atas. Keduanya sama-sama sebuah kezaliman, hanya beda level saja.
Tindakan sepihak tanpa klarfikasi saya kira akan berbahaya jika terus dipelihara. Kita bisa lihat betapa banyak kelompok masyarakat yang sangat mudah memberikan klaim, penghakiman, dan sejenisnya tanpa ada proses dialog. Ujung-ujungnya kekerasan pun menjadi pilihan. Bisa kekerasan secara fisik, verbal, maupu penyikapan lainnya.
Saya teringat kalimat bijak seorang teman, bahwa seseorang itu seharusnya dihormati bukan karena kedudukannya, tapi karena eksistensinya sebagai seorang manusia. Siapa pun orangnya, tua, muda, kaya, miskin, muslim, atau kafir, semuanya punya hak yang sama untuk dihargai. Bentuk nyatanya, dengan dimintai klarifikasi atas tindakan-tindakannya.
Pada akhirnya, kalau pun pemecatan itu memang harus dilakukan, denga klarifikasi si objek penderita akan merasa tetap terpenuhi haknya sebagai seorang manusia, terlebih lagi sebagai seorang saudara.
Wallohua'lam
Assalmu'alaykum...
ReplyDeletesubhanallah..
sepertinya banyak juga orang lain yang mengalami hal serupa, hanya saja mereka tidak mampu mengungkapkannya lewat tulisan seperti kakak.
Sipp :)
ReplyDeletetidak bs berkata apa2, karena sempat menyaksikan proses pemberhentian pd organisasi serupa..
ReplyDeletesmangat kak!!
mudah2an ProKA dapat berkembang dan melahirkan generasi-generasi robbani..
amin..
@Anonymous: wa'alaykumussalam...Ya. Kakak berdoa semoga semakin banyak orang yang berani menyuarakan hatinya lewat tulisan
ReplyDelete@Mas Dwi: soop juga Mas ^^
@Mbak Eka: aamiin...sama2 ya. Tetep semangat!!
Saya tau nih kayaknya to Organisasinya. Itulah hidup, penuh dengan misteri. Keep Hamasah aja bro, dan tetap ambil Ibrohnya.
ReplyDelete