Bagaimana Agar Cinta Tidak Menjadi Virus?
Virus merah
jambu? Ah, sepertinya saya sudah terlalu tua untuk membahas itu. Terlebih
karena gerbang pernikahan yang diidam-idamkan banyak pemuda dan pemudi itu
sudah saya lewati. Hehe. Ibarat kapal, hati saya sudah tertambat di sebuah
dermaga yang pas, dan insyaAlloh sakinah, mawaddah, warohmah (aamiin). Bukan
masanya lagi saya galau dengan problematika cinta muda-mudi.
But, konon
masalah hati yang banyak orang bilang virus ini, sesungguhnya punya banyak
dimensi dan banyak pula hal yang bisa dibagi. Anggaplah ini sebuah pemikiran
atau sharing pengalaman pada adik-adiknya.
Saya tidak tahu
pasti bagaimana munculnya istilah virus merah jambu ini. Mungkin orang-orang
mengasosiasikan warna merah jambu dengan seorang anak gadis kemudian menghubungkannya
dengan istilah virus yang konotasinya merusak. Ya, perasaan ‘sesuatu’ (pakai
istilahnya Syahrini) pada anak gadis (atau pemuda) itu kemudian menjadi hal
yang kontraproduktif sehingga dianggap virus. Wallohua’lam. Yang jelas, VMJ
sekarang berkonotasi sebuah gejala negatif yang diakibatkan oleh perasaan suka terhadap
lawan jenis, terlebih bagi seorang aktivis dakwah.
Dalam sebuah
kultur masyarakat yang padat interaksi seperti sekarang ini, batasan pergaulan
antara seorang laki-laki dan perempuan menjadi longgar. Kita bisa lihat hampir
setiap saat dan di mana saja, seorang laki-laki bisa berinteraksi secara bebas
dengan perempuan yang bukan mahromnya atau sebaliknya. Kelonggaran seperti itulah
yang menjadi celah masuknya naluri-naluri semisal kecenderungan kepada lawan
jenis, perasaa suka, dan sebagainya. Ibarat magnet, kutub positif dan negatif
akan tarik menarik saat bertemu satu sama lain.
Bagi sebagian
besar orang, kecenderungan itu alami sifatnya alias memang sudah fitrahnya.
Sehingga kalau ada yang menganggap kecenderungan seperti itu sebagai perilaku
tidak wajar, justru menurut saya
anggapan seperti itulah yang tidak wajar. Masalahnya kemudian menurut saya,
bukan pada kehadiran kecenderungan itu, tapi pada penyikapan atau tindak lanjut
dari kecenderungan itu.
Sengaja saya
gunakan istilah kecenderungan, bukan cinta atau sejenisnya, karena saya memang
tidak yakin bahwa itu cinta. Saya lebih suka menganggap kecenderungan itu nafsu
ketimbang cinta. Ya, nafsu. Sehingga kalaulah ada seorang pemuda yang merasa ‘suka’
atau ‘jatuh cinta’ pada seorang gadis, maka sesungguhnnya pemuda tersebut
tengah bernafsu pada gadis tersebut. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya. Apabila
ada seorang gadis yang ‘suka’ atau ‘jatuh cinta’ pada seorang pemuda, maka
sesungguhnya gadis tersebut tengah bernafsu pada pemuda tersebut.
Nafsu di sini
tentu tidak sempit maknanya. Semua aktivitas yang menjurus pada aktivitas
bermesraan bisa dikategorikan sebagai nafsu. Dan di sinilah letak
permasalahannya. Banyak para pemuda yang kemudian melampiaskan gejolak nafsunya
itu pada sarana-sarana tertentu. Bisa lewat pacaran, TTM-an, komen-komenan di
fb, atau sekedar SMS-an. Sadar atau tidak, semangat kita untuk berkomentar,
mengirim sms, atau membalasnya dapat hadir karena nafsu tersebut.
Aktivitas-aktivitas
seperti inilah yang menurut saya bisa melemahkan hati. Terkhusus apabila tidak
dilingkupi dengan ikatan pernikahan. Pelampiasan nafsu yang tidak pada
tempatnya itu kemudian membuat sholat-sholat kita tidak khusyu, lemah semangat
dalam beramal soleh, sulit merasakan manisnya ibadah, dan sebagainya.
Bagi para pemuda
yang memiliki ghirah atau gairah keislaman yang tinggi, tentunya paham bahwa
aktivitas bermesraan tanpa pernikahan merupakan manifestasi dari perilaku
mendekati zina. Selain mereduksi izzah, dalam Islam hal tersebut juga dilarang.
Mengapa? Karena zina itu seperti lubang hitam yang punya gravitasi tinggi. Ia
akan menyedot benda-benda di sekelilingnya untuk masuk ke dalamnya. Makin dekat
dengannya makin kuat tarikannya. Maka agar aman, lebih baik kalau kita menjauh
sama sekali darinya.
Namun itu semua
tidak lantas harus menjadikan para pemuda menjadi resah dengan perasaan itu
kemudian menyikapinya dengan tidak pada tempatnya. Tidak sedikit ternyata para
pemuda yang jadinya malah paranoid dengan istilah jatuh cinta dan sebagainya.
Dianggapnya kalau sudah punya perasaan itu berarti sudah kurang ajar.
Sebenarnya tidak juga. Yang penting saat kita ‘jatuh cinta’ kita tahu bagaimana
harus bersikap.
So how?
Pertama,
menikah. Menikah itu lebih mampu menjaga dan menetralisir semua gejolak dalam
dada. Alloh swt berfirman, “Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kami, dan orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaku dan yang perempuan. Jika mereka
miskin Alloh akan mengayakan mereka dengan karunianya. Dan Alloh Maha Luas dan
Maha Mengetahui” (QS An Nur: 32). Kalau belum merasa layak atau mampu,
silakan lanjut ke paragraf di bawah :-)
Kedua, saat
perasaan itu muncul, jauhi tindakan provokasi yang bisa mendorong kita
terperosok lebih dalam lagi. Misalnya, dengan menghindari sekuat tenaga
kecenderungan hati kita untuk mengungkapkan perasaan itu dalam bentuk apa pun
seperti perkataan, bantuan, pemberian, pembicaraan, dan sebagainya.
Ketiga, jauhi
kondisi yang memungkinkan kita berinteraksi lepas hanya berdua. Artinya, jangan
sampai kita masuk ke sebuah kondisi, baik pembicaraan maupun pertemuan, di mana
hanya kita berdua yang terlibat di dalamnya. Saat seorang laki-laki
berdua-duaan dengan wanita non mahromnya, maka yang ketiga adalah setan. Maka sebisa
mungkin selalu kita libatkan orang ketiga. Secara fisik kita menghidari
khalwat, dan secara mental kita pun menghindari interaksi berdua saja dengan
mengakomodir orang-orang dekat kita untuk mengakses komunikasi kita.
Keempat, menghindari
semua kata-kata ‘bersayap’ yang multitafsir. Ini perlu kita hindari seperti
kita menghindari aktivitas bermesraan itu sendiri. Tak jarang muncul sikap GR
karena kata-kata bersayap seperti ini.
Kelima,
perbanyak kegiatan kita yang bermanfaat. Olahraga ataupun latihan beladiri bisa
menjadi sarana pelampiasan yang cukup baik dan mengalihkan perhatian kita dari nafsu
itu. Pak Amr Khaleed dalam bukunya, “Buku Pintar Akhlak” mengatakan bahwa salah
satu hal yang paling banyak menyebabkan para pemuda terjerumus pada pelampiasan
nafsu yang tidak tepat adalah karena banyaknya waktu menganggur. Oleh karena
itu para pemuda muslim dituntut untuk selalu mendayagunakan waktunya,
menyibukkan dirinya dengan aktivitas yang produktif.
Keenam, kekang
nafsu dan pelihara cinta. Tips dari Rosululloh sendiri bagi para pemuda yang
belum siap menikah adalah dengan memperbanyak puasa. Islam punya banyak sekali
puasa sunnah. DI antaranya adalah puasa senin-kamis, puasa tiga hari setiap
bulan qomariyah (13, 14, 15), serta puasa Daud (kelang satu hari). Puasa adalah
sarana pengekang nafsu yang efektif jika memang benar puasanya. Selain itu,
kita bisa mentransformasi nafsu itu ke dalam bentuk cinta yang sesungguhnya. Maksudnya,
kita alihkan perasaan ‘cinta’ pada lawan jenis itu menjadi cinta pada seorang
saudara. Mirip seperti ketika kita mencintai adik kita, kakak kita, om dan
tante kita, kakek nenek kita, maupun sahabat kita. Pandanglah kecenderungan hati
itu dalam bentuk yang lain. Seperti kata Rahul di film Kuch Kuch Hota Hai,
bahwa cinta itu persahabatan. Olehkarenanya bentuk interaksi yang paling tepat
adalah bentuk interaksi layaknya sahabat, bukan interaksi yang penuh suasana
mesra.
==========
Akhir kata,
menurut saya VMJ itu bukanlah sebuah momok yang harus ditakuti. Kalaupun ia
memang virus, maka sebuah virus sebenarnya tidak akan bisa berbuat apa-apa
sampai ia menemukan inangnya yang sesuai. Penyaluran nafsu pada ranah yang
tidak tepatlah yang menurut saya menjadi inang terbaik tempat berkembangnya ‘virus’
ini. Selama kita bisa menjaga diri dari inang seperti ini, selama itu pula lah
kita bisa menghindari dampak negatifnya.
Satu yang saya
harapkan, jangan salahkan orang yang jatuh cinta. Salahkanlah orang yang salah
menyikapi jatuh cinta.
Wallohua’lam
nggak bisa di share y kak note nya ??
ReplyDeleteAlhamdulillah sekarang udah bisa...hatur nuhun ya Mbak Wulan :-)
ReplyDeletehuwaahhh...
ReplyDeletesyukron iia atas artikel nyah,, sangat sangat berguna niihh...
Sama2 ya Febri...
ReplyDelete