Bisnis, Kenapa Tidak Dari Dulu Ya?

Saya cukup menyesal ketika berbisnis, kenapa tidak saya lakukan dari dulu? Saya baru sadar, kalau bisnis itu ternyata menyenangkan dan menggairahkan. Bisnis itu menantang. Dan yang lebih penting, bisnis itu terbukti menjadi sarana yang sangat efektif untuk mentarbiyah diri. Setidaknya inilah yang saya rasakan.



Selama ini saya sebenarnya sudah pernah beberapa kali mengecap aktivitas bisnis. Dari mulai jualan puding untuk danus kegiata organisasi, jualan telur untuk "membantu" teman2 di asrama, sampai nimbrung di usaha nata de coco milik teman. Tapi semuanya itu masih belum dilakoni dengan serius dan niat khusus. Hanya tujuan jangka pendek, atau iseng-iseng belaka. Belakangan setelah saya pulang kampung setelah lulus, niatan berbisnis itu pun baru datang.

Datangnya niat itu pun tidak tiba-tiba jleb dari langit. Salah satu faktor pemicunya adalah adanya teman SD saya yang sedang kesulitan ekonomi. Beliau anak kedua dari dua bersaudara yang dua-duanya laki-laki. Ia sudah jadi anak yatim sejak kelas 6 SD. Beruntung almarhum ayahnya adalah mantan PNS, sehingga selepas wafat, ada tunjangan yang disediakan pemerintah pada keluarganya. Dari tunjangan itulah keluarga mereka hidup.

Di tengah keterbatasan dana itu, teman saya ini tetap melanjutkan keinginannya untuk kuliah. Tidak lolos di seleksi PTN, ia mencoba masuk dan akhirnya diterima di Insitut Teknologi Medan jurusan Teknik Sipil. Abangnya menemani Ibunya di daerah, kuliah juga di Universitas Asahan, jurusan Hukum. Intinya, kedua bersaudara ini tetap tak ingin menyerah dengan nasibnya. Tapi ada saja aral yang melintanginya. Beberapa semester setelah teman saya ini kuliah, ibunya diserang stroke. Kontan sejak saat itu teman saya ini cuti kuliah untuk menjaga sekaligus merawat ibunya di rumah. Dua semester cuti, akhirnya ia memutuskan untuk pindah kuliah di UNA (Universitas Asahan) yang jaraknya memang dekat dengan rumahnya.

Biaya kuliah 2 orang, plus biaya pengobatan stroke, dengan pemasukan dari uang pensiunan PNS bisa dibilang cukup. Tak untuk lebih dari itu. Itulah yang akhirnya membuat saya berpikir, "I have to do something". Saya adalah teman sepermainan sejak kecil, bahkan dari SD, SMP, hingga SMA. Kami sering main bola bersama, dan menempuh suka duka bersama. Yah, dia adalah sohib saya. Saya merasa ada yang kurang kalau kehadiran saya tidak bisa memberikan perbaikan buat kehidupannya. Terlebih, saya bukan anak-anak lagi. Bisnis pun tercetus. Teman saya itu adalah orang yang saya ajak ikut serta. Siapa tahu, bisnis ini bisa jadi wasilah untuk mensejahterakan keluarganya.

Usul punya usul, akhirnya disepakatilah bisnis pakaian untuk menimba pengalaman. Bukan konveksi atau menjahit, tapi hanya sekedar berdagang. Alhamdulillah, komplek perumahan kami bisa dibilang cukup padat manusia. Di sana ada dua sekolah setingkat SMA, dua sekolah setingkat SMP, satu TK, dan satu perguruan tinggi. Ditambah lagi, itu komplek perumahan pegawai golongan menengah. Jadi mereka lah pangsa pasar pertama kami.

Awalnya bermodal 5 juta rupiah hasil urunan kami. Tidak banyak memang. Tapi bukankah semuanya bermula dari yang kecil? hari H pun tiba. Kami belanja beberapa barang di Medan, dan menjualnya secara gerilya di Kisaran. Ups, gerilya? kenapa gerilya? jawabnya karena kami memang belum punya toko. Jadi pakaian itu kami pasarkan dari mulut ke mulut, personal ke personal, saudara ke saudara, tetangga ke tetangga dan begitu seterusnya. Alhamdulillah sejauh ini, bisnis kami berjalan lancar. Bahkan bisa dibilang lebih lancar ketimbang dugaan sebelumnya. Kami benar-benar merasakan pertolongan Alloh. Do the best and let Alloh do the rest...formula itu berlaku. Alhamdulillah. Sampai saat tulisan ini dibuat, bisnis ini masih berjalan. Sedang dalam tahap pengadaan toko. Karena modal terbatas, perabotnya kami cari yang second alias bekas, dan tokonya hanya di teras rumah.

Satu hal yang ingin saya bagi, aktivitas bisnis ini ternyata menghadirkan barokah tersendiri. Pertama, bisnis ini cukup banyak mentarbiyah diri kami. Sebelum bisnis ini berjalan, teman saya itu adalah sosok yang apatis bahkan cenderung pesimis. Rasa percaya dirinya serba kurang. Tapi setelah bisnis ini berjalan, tanggung jawabnya membuatnya lebih percaya diri. Rasa pesimis yang dulu membayangi menguap perlahan namun pasti, berganti dengan harapan-harapan baru. Bukan hanya itu, teman saya ini pun lebih progresif dalam bersikap. Jika dulu beliau cukup introvert, serba tertutup dan canggung berinteraksi dengan orang lain, sekarang itu mulai ditinggalkannya. Sepertinya ia mulai sadar kalau dirinya itu lebih dari sekedar yang diperkirakannya selama ini. Ia pun mulai berpikir maju tentang masa depannya, lebih kuat silaturrahimnya dengan kerabat-kerabatnya, dan lebih tergerak untuk dekat dengan Alloh. Ia mungkin semakin sadar, bahwa bisnis ini tidak lepas dari pertolongan Alloh. Hanya Alloh lah tempat bersumber segala rizki.

Kedua, bisnis ini juga menyenangkan. Menyenangkan karena kami bisa membahagiakan pelanggan. Kebijakan perusahaan kami adalah menjual barang untuk masyarakat menengah kebawah, sehingga harganya pun cukup ramah di kantong. Itu yang kami kira menjadi keunggulan pertama kami. Entah muncul dari mana, semacam ada kepuasan tersendiri saat barang kami laku terjual, dan pelanggan kami tersenyum. hehehe. Binis ini juga menyenangkan karena kami relatif punya kebebasan waktu, alias cukup leluasa untuk melakukan aktivitas lainnya (mungkin karena belum cukup besar ya). Dan yang paling penting, bisnis ini menyenangkan karena kami serasa bekerja bukan buat orang lain yang sekedar menerima upah, tapi lebih dari itu sebagai wujud aktualisasi diri kami di tengah masyarakat.

Wallohua'lam.

Yang jelas, saya memang cukup menyesal dan merasa terlambat, kenapa tidak memulai bisnis ini dari dulu. ^_^

Kami juga mohon doa dari pembaca semuanya, semoga bisnis ini bisa terus berkembang dan bisa memberi kontribusi positif bagi kemajuan masyarakat. aamiin



Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?