Tulisan tentang ACFTA

ACFTA atau Kesepakatan multi regional antara ASEAN dan Cina dalam pengadaan kawasan bebas perdagangan menuai kontroversi yang cukup beralasan. Dipandang dari sisi konsumen, hal tersebut memberikan dampak positif karena alternatif produk akan bertambah, harga barang menjadi cenderung lebih murah, dan konsumen bisa dengan lebih leluasa memilih barang dengan kualifikasi yang diinginkan mereka. Namun ternyata tidak demikian halnya ketika dipandang dari sisi produsen. Meskipun dampak positifnya produsen dalam negeri akan termotivasi untuk memperbeiki kinerja perusahaannya, kebanyakan produsen lokal masih dinilai belum siap untuk itu. Dampak positif itu dikhawatirkan terkonversi menjadi negatif menjadi kekalahan telak dalam persaingan dagang...

wallohua'alam bishowab. Yang jelas, yang menjadi kunci di sini adalah kekuatan produsen dalam negeri untuk bertahan dalam persaingan semi global (ASEAN-Cina). Ibarat kyorougi dalam TaekwonDo, masing-masing partisipan harus punya strategi untuk menang, minimal untuk bertahan.
Sikap pesimistis teradap kinerja produsen dalam negeri mungkin memang cukup beralasan dengan gejala-gejala yang dinilai hingga saat ini. Namun seringkali kelemahan-kelemahan itu tidak hanya dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan sistem manajerial perusahaan domestik yang buruk. Faktor-faktor eksternal seperti adanya 'pungli', buruknya sarana permodalan, fasilitas umum, infrastruktur, birokrasi dengan pemerintahan, dan lain sebagainya turut memberikan andil yang berujung pada semakin lemahnya kekuatan produsen dalam negeri untuk bersaing.

Menurut Bapak E. Gumbira Said, alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mereformasi lembaga pemerintahan, pelayanan publik, pungli, infrastruktur, dan kampanye meningkatkan kecintaan dalam negeri (http://www.ipb.ac.id/id/?b=1449).

Karena pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyetujuan pejanjian tersebut maka pantas pemerintah menanggung konsekuensinya. Bila pemerintah negeri ini masih punya integritas dan tanggung jawab sebagai 'pamong praja' alias pelayan masyarakat, kita masih layak tenang. Namun bila tidak, kita perlu duduk dengan khusyuk dan berdoa semoga datang suatu masa di mana kita dan generasi muda yang memiliki idealisme tulus sekaligus kompetensi mumpuni menggantikan para pendahulunya yang kerap membuat blunder. Blunder yang membuat gawang negeri ini keboboloan entah berapa kali...(lho???)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?