Solidaritas para Pengecut
Saat tulisan ini dibuat, kabar yang sedang menghangat adalah tentang kerusuhan yang dilakukan oleh massa sepakbola yang menyebut diri mereka 'bonek'. Ya, kehormatan arek-arek Suroboyo yang terbangun dan menginspirasi jutaan kaum muda Indonesia sekarang saat dengan gagah beraninya mempertahankan tanah Surabaya dari gempuran Sekutu, dilecehkan begitu saja dengan tindakan anarkis yang sama sekali konyol.
Alkisah kekonyolan itu dimulai ketika mereka kecewa dengan hasil pertandingan yang melibatkan tim Persebaya kesayangan mereka. Mereka kemudian melampiaskan kekesalannya dengan menjarah stasiun dan merugikan warga setempat (Solo) termasuk para pedangan asongan. Bentrokan pun tak dapat dihindarkan, dan akhirnya pertunjukan 'tantrum' itu pun muncul.
Bukan satu-dua kali para 'bonek' menimbulkan keributan. Selama ini kerusuhan kerap terjadi dan didalangi oleh kelompok masyarakat yang sama itu, Bahkan para pedangan di jalur stasiun seperti di Madiun sudah mafhum bahwa keberadaan mereka (bonek) harus disikapi dengan menutup tokonya. Demi mencari keamanan.
Konon, perilaku 'bonek' bukanlah kumpulan dari perilaku individu. Ia adalah pelaku kelompok. Dengan kata lain ketika 'bonek' sudah membubarkan diri, jarang sekali individu-individu penyusunnya melakukan tindakan serupa sendirian. Lain halnya ketika mereka sudah bersatu kembali menjadi 'bonek', ada semacam tenaga gaib yang mendorong mereka lepas dari perilaku asalnya. Atau kalimat yang lebih mudahnya, mereka hanya berani bertindak ketika beramai-ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan seolah sudah menjadi hal yang bisa dibenarkan (menurut pendapat mereka). Persis seperti tindakan para pengecut.
Setahu saya 'bonek' memang bukanlah representasi dari pemuda Surabaya yang pada zaman dahulu menelurkan prestasi yang membanggakan dalam sejarah bangsa ini. Namun demikian, perilaku bonek tidak bisa disangkal berdampak pada citra Persebaya serta pemuda Surabaya sendiri. Dan sebenarnya 'Bonek' juga bukan satu-satunya aktor dalam kerusuhan yang berasal dari suporter sepak bola. Namun, setidaknya 'bonek' menjadi salah satu aktor penting dan cukup merepresentasikan suporter dengan perilaku menyimpang seperti itu.
Setidaknya ada satu hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi tindakan pengecut seperti itu. Apa lagi kalau bukan pendidikan dini kepada anak muda bangsa? Meskipun hubungannya cukup kompleks seperti persamaan dengan tujuh variabel, tingkat pendidikan dengan kedewasaan berpikir cukup berbanding lurus. Hal-hal yang mendatangkan kerusakan tanpa alasan tersebut adalah suatu ciri pola pikir yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab.
Suatu saat para 'bonek' akan tua dan mati. Kalau mereka bertaubat sebelum itu, tentu saja bagus (itu malah yang kita harapkan). Kalau tidak sadar-sadar juga, mereka tinggal menunggu adzab yang akan antre menemui mereka.
Alkisah kekonyolan itu dimulai ketika mereka kecewa dengan hasil pertandingan yang melibatkan tim Persebaya kesayangan mereka. Mereka kemudian melampiaskan kekesalannya dengan menjarah stasiun dan merugikan warga setempat (Solo) termasuk para pedangan asongan. Bentrokan pun tak dapat dihindarkan, dan akhirnya pertunjukan 'tantrum' itu pun muncul.
Bukan satu-dua kali para 'bonek' menimbulkan keributan. Selama ini kerusuhan kerap terjadi dan didalangi oleh kelompok masyarakat yang sama itu, Bahkan para pedangan di jalur stasiun seperti di Madiun sudah mafhum bahwa keberadaan mereka (bonek) harus disikapi dengan menutup tokonya. Demi mencari keamanan.
Konon, perilaku 'bonek' bukanlah kumpulan dari perilaku individu. Ia adalah pelaku kelompok. Dengan kata lain ketika 'bonek' sudah membubarkan diri, jarang sekali individu-individu penyusunnya melakukan tindakan serupa sendirian. Lain halnya ketika mereka sudah bersatu kembali menjadi 'bonek', ada semacam tenaga gaib yang mendorong mereka lepas dari perilaku asalnya. Atau kalimat yang lebih mudahnya, mereka hanya berani bertindak ketika beramai-ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan seolah sudah menjadi hal yang bisa dibenarkan (menurut pendapat mereka). Persis seperti tindakan para pengecut.
Setahu saya 'bonek' memang bukanlah representasi dari pemuda Surabaya yang pada zaman dahulu menelurkan prestasi yang membanggakan dalam sejarah bangsa ini. Namun demikian, perilaku bonek tidak bisa disangkal berdampak pada citra Persebaya serta pemuda Surabaya sendiri. Dan sebenarnya 'Bonek' juga bukan satu-satunya aktor dalam kerusuhan yang berasal dari suporter sepak bola. Namun, setidaknya 'bonek' menjadi salah satu aktor penting dan cukup merepresentasikan suporter dengan perilaku menyimpang seperti itu.
Setidaknya ada satu hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi tindakan pengecut seperti itu. Apa lagi kalau bukan pendidikan dini kepada anak muda bangsa? Meskipun hubungannya cukup kompleks seperti persamaan dengan tujuh variabel, tingkat pendidikan dengan kedewasaan berpikir cukup berbanding lurus. Hal-hal yang mendatangkan kerusakan tanpa alasan tersebut adalah suatu ciri pola pikir yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab.
Suatu saat para 'bonek' akan tua dan mati. Kalau mereka bertaubat sebelum itu, tentu saja bagus (itu malah yang kita harapkan). Kalau tidak sadar-sadar juga, mereka tinggal menunggu adzab yang akan antre menemui mereka.
Comments
Post a Comment