Onward [Resensi]


Teman-teman pernah ke Starbucks? Saya belum pernah. Dan saya tak begitu kenal Starbucks hingga saya membaca buku ini. Sebelumnya saya memang mencari-cari buku bergenre bisnis yang menarik. Alhamdulillah pilihan saya ternyata tidak salah. Ini buku yang cukup insightful.

Namun ini bukan tentang sejarah Starbucks. Meskipun ia disinggung sedikit di awal, fokus pembahasannya lebih kepada transformasi yang dilakukan Starbucks ketika mereka menghadapi krisis di 2008. Jadi ceritanya pada akhir tahun 90-an hingga 2000-an awal, Starbucks itu termasuk perusahaan beken yang pertumbuhannya pesat, harga sahamnya tinggi, dan cabangnya ada di mana-mana di dunia. Tapi menjelang tahun 2008, performa mereka menukik tajam. Howard Schultz, sang pendiri, bahkan harus sampai kembali lagi ke kursi CEO untuk memimpin gerakan berbenah. Singkat cerita, setelah habis-habisan diterpa badai krisis, Starbucks berhasil bangkit. Buku ini, adalah cerita soal bagaimana cara mereka bangkit.

Satu hal yang menarik, kita tahu bahwa 2008 adalah masa resesi ekonomi parah yang dialami AS akibat skandal subprime mortgage. Bisnis yang sulit di masa resesi adalah hal yang wajar. Namun saya tidak membaca ada sikap pimpinan Starbucks yang menyalahkan faktor eksternal dalam men-define kinerja bisnis mereka. Alih-alih, mereka introspeksi ke dalam, mencari problem dalam internal perusahaan mereka, kemudian merespon dengan berkonsentrasi atas hal-hal yang bisa mereka kerjakan.

Kalau dirangkum, ada 3 problem yang berusaha diperbaiki Starbucks dalam rangka bertransformasi. Fokus mereka yang terlalu tinggi pada pertumbuhan sehingga mengabaikan keberlanjutan (sustainability). Akhirnya mereka abai terhadap faktor-faktor utama yang menjadi nilai dan keunggulan di hadapan pelanggan. Kedua, mereka sempat lupa pada intisari bahwa mereka adalah perusahaan kopi. Itu akhirnya menyebabkan mereka berkembang ke front-front yang tidak penting. Ketiga, maraknya inefisiensi bisnis akibat terlalu fokus pada pertumbuhan tadi.

Problem-problem itu kemudian disikapi dengan kembali mendefinisikan nilai-nilai bisnis mereka: keseimbangan, otoritas atas kualitas kopi, dan fokus pada hubungan antar manusia. Ya, agak normatif memang nuansanya. Tapi tentu saja ketika kita baca lebih jauh isi bukunya, hal-hal yang terdengar klise tadi itu ternyata bisa diterjemahkan dengan sangat baik secara konkret. Sebut saja misalnya dengan menutup ribuan gerai mereka dalam satu hari demi melatif para barista untuk menyajikan secara sempurna secangkir espresso; mengakuisisi dan mengembangkan Mastrena dan Clover, dua jenis mesin kopi istimewa yang memadukan sisi humanis barista sekaligus akurasi proses penggulingan dan penyeduhan; mengembangkan kanal komunikasi non tradisional serta konsep digital ventures untuk para pelanggan setia; sampai memperbaiki jaringan pengadaan barang dengan merekrut talenta terbaik dari sekolah terbaik dalam bidang logistik. Membaca buku ini barangkali bisa menjadi semacam studi kasus yang menarik. Saya menemukan hal-hal yang diceritakan ini relevan dengan yang saya pelajari di sekolah bisnis.

Tak ada satu peluru perak yang bekerja untuk semua masalah. Itu pelajaran penting yang saya temui dalam buku ini. Bahwa kompleksitas permasalahan harus berani dihadapi dengan kompleksitas solusi. Dari buku ini saya juga diinspirasi untuk selalu kembali pada prinsip dan berani mengambil keputusan. Sebagaimana judulnya, Onward, buku ini seolah seruan agar kita terus maju menerjang hambatan, jatuh kemudian bangkit lagi hingga memperoleh kemenangan. Dan yang jelas, setelah membaca ini saya jadi tertarik pergi ke starbucks, untuk yang pertama kali.



Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?