Review Thor: Ragnarok

Dari semua karakter hero Marvel yang pernah muncul di film, Thor sebenarnya bukan karakter yang cukup menarik buat saya. Karena gak cukup menarik, saya tak pernah nonton film Thor di bioskop. Pengecualian untuk Thor: Ragnarok ini. Alasan saya nonton sebenarnya hanya karena penasaran saja. Pertama, banyak reviewer yang bilang film ini istimewa. Temen saya pas ditanya gimana responnya sama film ini dia juga bilang bagus. Kedua, dari judulnya, saya bertanya-tanya bagaimana peristiwa Ragnarok, sebagai salah satu peristiwa epic dalam mitologi orang Nordik, digambarkan dalam sebuah film superhero. Itu saja.

Helmnya si Hulk (sumber: IGN)

Setelah saya nonton, penilaian saya film ini standard aja sebenarnya. Di bawah ekspektasi malah, meski gak bisa dibilang jelek juga. Betul bahwa kualitas gambar, suara dan acting pemainnya bisa diacungi jempol lah. Aspek humornya pun banyak dan bikin film ini cukup menyenangkan buat ditonton. Tapi kalau bagi saya pribadi, dua aspek itu bukan hal dominan untuk menentukan bagus atau jeleknya sebuah film. Nilai paling besar dari sebuah film adalah cerita yang diperlihatkan dan seberapa masuk akal dia buat diterima. “Masuk akal” di sini maksudnya bukan berarti seberapa nyata dia bisa terjadi di keseharian (karena kalau begini film genre superhero tidak akan pernah bisa masuk akal sejak awal), tapi lebih ke seberapa logis alur cerita bisa dibangun dari tindakan para karakter di dalamnya.

Dari segi cerita, film ini menurut saya biasa saja. Seperti yang bisa orang tangkap cukup dari nonton trailernya, film ini mengisahkan usaha Thor (tanpa Mjolnir) untuk melawan Hela yang hendak menguasai Asgard. Dalam perjalanannya, Thor tersesat di planet antah berantah dan ketemu dengan si Hulk di arena Gladiator. Thor lalu berusaha mengajak Hulk untuk jadi sekutunya melawan Hela, dibantu Valkyrie, Heimdall dan Loki. Lalu terjadilah pertarungan, tipikal film-film marvel lainnya.

Yang saya suka dari ceritanya adalah adanya beberapa pesan moral yang baik, antara lain bahwa raja yang baik pada dasarnya tak menghendaki perang, bahwa tanah air tidak lebih penting daripada orang-orang yang hidup di atasnya, bahwa kekuatan seorang pejuang tak pernah bergantung pada senjata, dan seterusnya. Yang saya kurang suka, adalah bagaimana Ragnarok digambarkan. Di banyak cerita dan hikayat, Ragnarok kerap digambarkan sebagai peristiwa yang megah, besar, membahana (walaupun destruktif), yang diisi dengan perang para dewa dengan para raksasa yang sama-sama beradu sakti. Seperti Mahabarata gitu lah kira-kira. Gambaran itu sama sekali gak saya dapatkan dari film ini

Selain itu, adegan pertempuran pasukan Asgard yang dipimpin Hogun melawan Hela sama sekali gak menarik. Pasukan Asgard yang dalam bayangan saya harusnya perkasa (mengingat mereka adalah pasukan di ring 1 Odin) jadi nampak sangat kroco, kalau dilihat dari cara mereka menghadapi Hela. Hela pun di sisi lain, sebagai tokoh yang dicitrakan sebagai Dewi Kematian, gaya bertarungnya pun terlalu “manusia”. Gaya bertarung seperti itu harusnya bisa diladeni dengan baik cukup oleh The Warriors Three yang muncul di film Thor sebelumnya. Sebagai film superhero, adegan pertarungan harusnya bisa digarap lebih baik menurut saya. Saya membayangkan adegan pertarungan para Autobots dan Decepticon di film Transformers jadi jauh nampak lebih baik. 

Ada juga beberapa adegan yang menimbulkan tanda tanya (minor spoiler alert!), semisal Heimdall yang punya mata “super byakugan” dan bisa melihat apa saja (bahkan peristiwa di dimensi lain) tapi gak aware dengan membawa rombongannya ke Bifrost yang dihadang Fenrir. Ironis. Atau adegan Thor yang datang kembali ke Asgard buat menantang Hela tapi terlihat gak punya persiapan apa-apa buat nyelamatin orang-orang. Dalam penyelamatan Asgard, yang justru berperan besar malah peristiwa kebetulan yang dibuat Loki. Ini bikin saya berpikir Loki jadi lebih valid sebagai jagoan ketimbang Thor. Hehe.

Tapi itulah film. Untuk bisa dinikmati, sebuah film tak harus sempurna. Namanya juga bikinan manusia. Saya pribadi tetap menikmati film ini (harus menikmati lah, wong dah bayar tiket). Selain lucu, film ini konon cukup penting untuk jadi mata rantai film marvel selanjutnya: Avengers Infinity Wars. Dan itu tergambar dari post scene yang tampil di akhir tayangan. Lalu berapa poin yang bisa saya kasih untuk film ini? Poin 7,5/10 sepertinya sesuai.

Setidaknya film ini kembali meyakinkan saya bahwa kita tidak perlu terlalu bergantung pada review orang untuk menikmati sesuatu. Bukan menganggap review mereka tidak penting. Tapi ada kaidah yang tetap harus diingat, bahwa sesuatu yang dipandang orang jelek bagi kita bisa jadi bagus. Sebaliknya yang dipandang orang lain bagus bagi kita bisa jadi tak telalu bagus. Pada akhirnya, ini mirip seperti yang dibilang Humood Alkhuder: Kun Anta! Jadilah diri sendiri. Rasakan saja sendiri.

Wallohua’lam.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?