Gang Leader for a Day [Resensi]
Alhamdulillah pekan ini Alloh berikan kesempatan saya menamatkan
buku yang jadi salah satu rekomendasi om Mark Zuckerberg. Masuk sebagai
salah satu New York Times best seller, dan terbit sudah cukup lama tahun
2008, buku ini bercerita tentang pengalaman Sudhir Venkatesh (si
penulis sendiri), seorang mahasiswa sosiologi University of Chicago,
saat ia masuk dan berinteraksi dengan komunitas masyarakat kulit hitam
di Robert Taylor Housing Project.
Robert Taylor Housing Project,
yang kemudian diistilahkan dengan “project” dalam buku ini, adalah
program pemerintah negara bagian Chicago yang menyediakan hunian bagi
masyarakat miskin kulit hitam yang dikemas bersama dengan program
subsidi dan bantuan-bantuan sosial lainnya. Hanya saja, karena kondisi
sosiokultural saat itu yang masih kental nuansa rasismenya, proyek ini
lebih mirip “ghetto” ketimbang public housing. Lokasinya terpencil dan
terpisah secara geografis dari pemukiman kulit putih, sarana publiknya
pas-pasan, dan kesannya tidak terawat. Ini mungkin jadi gambaran shahih
tentang komunitas marginal di Chicago saat itu. Tak heran, di seputaran
proyek ini banyak berkembang gangster, aktivitas ekonomi illegal,
peredaran kokain, prostitusi, tawuran bersenjata, dan seterusnya. Dalam
suasana itulah Sudhir memberanikan dirinya berinteraksi langsung dengan
orang-orang di sana demi menyelesaikan disertasinya.
Bagi orang
luar yang masuk ke komunitas semacam itu, tentu bukan persoalan mudah.
Ia harus berhadapan dengan kecurigaan, bullying, sikap skeptis dan
menarik diri, bahkan ancaman tindak kekerasan dari preman setempat. Tapi
justru pertemuannya dengan seorang ketua gangster, J.K., menjadi awal
semua kisah yang dituturkan buku ini. J.K. adalah seorang pria pengecap
bangku pendidikan tinggi yang sempat bekerja “normal” di daerah urban
Chicago. Akan tetapi perlakuan diskriminatif membuatnya frustasi dan
kembali ke proyek hingga didaulat sebagai ketua gangster.
Lewat
pergaulannya dengan J.K., Sudhir melihat apa yang jarang dilihat oleh
orang luar. Ia melihat bagaimana gangser di sana punya posisi yang cukup
unik dan complicated dalam komunitas. Mereka adalah pemeras, sekaligus
pelindung. Pengancam, sekaligus penolong. Pembuat keributan, sekaligus
penjaga kedamaian. Mereka dibenci, tapi eksistensinya bisa diterima
bahkan dibutuhkan oleh komunitas kulit hitam. Gangster, adalah buah dari
diskriminasi dan ketidakadilan yang mereka hadapi, dan mereka ada untuk
merespon itu. Komunitas di sana tak punya pilihan sebanyak masyarakat
kulit putih. Kehadiran gangster, dalam kisah Sudhir, justru lebih
diharapkan ketimbang kehadiran polisi ketika sesuatu terjadi.
Berbagai fragmen yang dikisahkan dalam buku ini memberikan perspektif
baru mengenai kehidupan marginal. Setidaknya membuat kita tak lagi
berpikir hitam putih dalam menilai sebuah persoalan. Tanpa harus
mengubah yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah, perspektif
baru ini menurut saya penting, setidaknya untuk melatih kehati-hatian
kita dalam merespon hal-hal yang di luar standar nilai yang kita punya.
Cara penulis menuangkan kisahnya sangat menarik dalam buku ini. Lewat
narasi, deskripsi, dan dialog-dialog, kita seolah sedang membaca novel
alih-alih sebuah buku jurnalistik non-fiksi. Ini membuat saya haus
membaca halaman demi halaman sehingga buku setebal 290 halaman ini
selesai cukup dalam waktu 4 hari. Meski begitu, konten yang disampaikan
tidak kehilangan substansinya. Sudhir Venkatesh dengan sangat baik
memilih fragmen yang paling menggambarkan apa yang ingin dia sampaikan,
misalnya saat ia ingin bercerita tentang eksistensi polisi dan
penanggung jawab tenant yang korup, atau saat ia ingin bercerita tentang
“how things work” dalam mata rantai peredaran kokain di antara para
gangster di Chicago. Di sisi lain, Sudhir juga cukup cerdas memilah
urutan-urutan peristiwa yang dialaminya untuk diceritakan. Tak hanya
membuat kisahnya runut dan cukup jelas dipahami, terkadang ia juga
menyisipkan fragmen yang membuat emosi pembacanya serasa diaduk-aduk.
Ini terasa ketika dia menceritakan kisah seorang wanita yang meninggal
dunia karena kekerasan dalam rumah tangga, atau kisah seorang anggota
senior gangster yang memilih akhir “karir”-nya dengan terhormat, meski
akhirnya ia dikabarkan mati di penjara.
Penulis mengklaim bahwa
seluruh peristiwa yang disampaikan adalah nyata. Begitupun seluruh
tokoh, tempat, dan lembaga yang disebut dalam buku ini, meski disamarkan
namanya, akan tetapi benar-benar ada. Atau setidaknya pernah ada.
Robert Taylor Housing Project sendiri kini sudah dirobohkan, dan diganti
dengan area komersil dan beberapa kompleks untuk masyarakat menengah ke
atas. Latar waktu peristiwanya sendiri terjadi di awal tahun 90-an
hingga menjelang tahun 2000. Adapun Sudhir sekarang bekerja sebagai
pengajar sosiologi di Columbia University. Meski sudah cukup lama
terjadi, menurut saya kisah ini tetap tak kehilangan relevansinya
mengingat berbagai isu sentral yang dicakup dalam buku ini: rasisme,
masyarakat marginal, perilaku koruptif, atau diskriminasi masih saja
menjadi PR besar bersama negara manapun di dunia.
Akhir kata,
saya bersyukur pada Alloh dipertemukan dengan literatur semacam ini.
Pengalaman saya membacanya adalah pengalaman dengan ilmu dan perjalanan
membuka perspektif baru. Very recommended.
-----
-----
Wallohua’lam. Semoga bermanfaat
Comments
Post a Comment