eSdua Lagi

Genap setahun lepas dari kampus paska wisuda 2011 lalu, saya alhamdulillah Alloh karuniai kesempatan kembali ke kota hujan. Visi utamanya satu: melanjutkan kuliah magister di MB IPB. Sebuah karunia yang tentu saja patut disyukuri. Thanks to my parents. Saya termasuk orang yang merasakan langsung manfaat dari asuransi pendidikan. Ya, asuransi yang jatuh tempo tepat waktu. Asuransi yang memback-up dari sisi pembiayaan visi orang tua juga, yang ingin anaknya menempuh pendidikan lebih tinggi ketimbang dirinya. Fabiayyi alaa'irobbikuma tukadziban. Subhanalloh.

Lalu bagaimana keluarga saya? Pertanyaan yang juga baru terjawab beberapa hari sebelum kepergian saya ke tanah rantau. Jadi, keputusannya adalah keluarga untuk sementara saya tinggal di kampung halaman. Pertama, karena anak kami masih kecil (terlalu kecil bahkan) sehingga masih butuh back-up dari neneknya. Maklum, pengalaman punya anak pertama memang tak mudah. Kedua, karena bisnis kami di kampung masih butuh pengayoman ekstra sehingga sosok isteri saya masih dibutuhkan untuk itu. Ketiga, karena isteri saya juga punya tanggung jawab mengajar beberapa anak di sana. Alhamdulillah, dengan demikian dari sisi finansial keluarga di sana sudah punya buffer yang lumayan. Tinggal saya yang disini perlu berpikir lagi mencari sumber pendanaan untuk bertahan hidup. Tak mudah memang meninggalkan keluarga dalam waktu lama. Tapi bukankah hidup adalah pilihan? InsyaAlloh demi masa depan yang lebih baik, pengorbanan-pengorbanan kecil mesti dilewati.

Sepekan waktu yang dilalui, ada banyak hal yang saya peroleh. Pengalaman hidup yang juga mengajarkan banyak hal. Meski Bogor adalah kota yang sudah cukup saya kenal, tapi jangka waktu setahun lumayan membuat saya harus mengeluarkan daya ekstra untuk kembali beradaptasi. Mencari kosan, menyelesaikan administrasi sepeda motor, berkoordinasi kembali dengan PDM kota Bogor untuk ikut jadwal pengajian kader, bertemu dengan wajah-wajah dengan pengalaman unik, sampai membangun relasi bisnis. Lagi-lagi saya harus mengakui bahwa saya masih terlalu kerdil untuk mengubah dunia.

Dulu saya pernah berpikir, idealnya, seorang putra daerah mestilah kembali ke daerah untuk membangun daerah. Ia harus rela menjadi tumbal agar daerahnya bisa berkembang lebih baik. Namun sekarang saya sadar bahwa itu tidak semudah yang diucapkan. Seorang sarjana belum tentu punya segala kecakapan yang dibutuhkan untuk itu. Dan Alloh menyadarkan saya dari awal, bahwa saya termasuk di antaranya. Kapasitas diri saya belum lah cukup untuk membangun daerah seperti yang ada di benak. Saya harus lebih kuat terlebih dahulu. Memaksakan diri bertahan di daerah, dalam konteks saya saat ini, saya kira justru mengerdilkan saya. Mandeg. Saya bisa-bisa berhenti tumbuh. Makanya saya berpikir, kadang manusia itu sangat mirip tumbuhan. Kalau kita merasa berhentu tumbuh kita layak mencari wadah yang lebih besar. 

Namun demikian, apa yang sudah saya jalani di kampung halaman dengan dinamikanya bukanlah sebuah kesalahan. Ini takdir Alloh, dan saya yakin takdir Alloh pasti yang terbaik. Pengalaman setahun saya di kampung halaman paska wisuda sudah menempa saya menjadi pribadi yang lebih berwawasan dan berani. Bekal yang saya kira cukup bagus untuk peningkatan percepatan diri. :)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?