Di Musola FT USU

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan jalan-jalan ke Universitas Sumatera Utara. Saat berkunjung ke musola salah satu fakultas, saya bertemu seorang ikhwah dari Aceh. Dia bukan mahasiswa. Dia jauh-jauh datang ke Medan untuk mengikuti testing kerja sebuah perusahaan perkebunan swasta terkemuka yang memang diadakan di kampus. Dari obrolan kami, saya tahu ternyata sebelumnya dia sudah bekerja, di Dinas PU Banda Aceh. Namun dia merasa tidak nyaman bekerja disana karena menurutnya pekerjaannya dekat dengan syubhat (perilaku korup). Usut-punya usut, ternyata dia memang anak 'ngaji' yang idealis. Mirip dengan saya, dia rupanya juga kerap ngaji di mana-mana alias ngaji lintas harokah. Dia aktif di tarbiyah tapi isterinya sendiri aktif di HT. Baginya itu tidak jadi soal. 

Dan obrolan kami pun berlanjut. Nah, yang menarik dari obrolan kami waktu itu adalah ketika dia mengatakan pada saya, bahwa penerapan syariat di Aceh sesungguhnya baru kulit-kulitnya saja.  Tidak seseram yang dibayangkan. Hanya atribut atau sekedar formalitas dan tidak sampai menyentuh aspek perilaku. Setidaknya itu yang disampaikannya pada saya waktu itu. Sebagai ilustrasinya, ia mencermati cara berbusana para wanita di aceh yang memang berkerudung (karena perda syariat memang mewajibkannya) namun secara umum tetap masih banyak yang belum nyunnah alias belum sesuai 'standar'. Perilaku mereka pun masih bisa dikatakan belum islami secara ideal. Masjid-masjid masih saja sepi, dan seterusnya. Intinya, Aceh masih jauh dari sempurna dan para aktivis di sana masih harus berjuang keras membina ummatnya. 

Lantas saya pun teringat pernyataan seseorang yang pernah saya dengar. Bahwa agama itu tumbuh dari dalam ke luar. Bukan sebaliknya. Membayangkan ilustrasi yang diungkap ikhwah dari Aceh tadi, saya berpikir mungkin saja pernyataan itu ada benarnya. Barangkali itu pula sebab mengapa Rosululloh saw mengawali dakwah (bahkan hingga sebagian besar waktu dakwahnya) dengan mendakwahkan tauhid yang murni, hingga benar-benar menghujam di sanubari. Bisa jadi itu juga yang menjadi alasan mengapa beliau mendakwahkan asas mendasar Islam ini jauh sebelum beliau mendakwahkan haramnya khamr, wajibnya jilbab bagi wanita, hukum mawaris, dan sebagainya. Hati yang telah menerima cahaya tauhid dan keimanan yang murni mungkin akan mampu membuat kita rela menerima segala ketentuan Alloh dengan sukarela bahkan bahagia. Persis seperti yang dialami oleh sahabat-sahabat Rosululloh saw.

Hanya sekedar renungan sederhana dalam hati. Untuk introspeksi diri. Jikalau selama ini kita merasa berat dari ketaatan kepada Alloh bisa jadi tauhid kita melemah dan butuh penyegaran dengan ibadah dan tausiyah. Butuh pergaulan yang lebih intens dengan orang-orang sholeh. Pun, bagi kita-kita yang memang berazzam untuk bergelut di bidang dakwah, jangan sampai kita lupa bahwa tauhid adalah pondasi segalanya. Jangan sampai kita berbusa-busa menawarkan berbagai macam pernak-pernik agama yang kita anggap indah kepada orang lain, sementara kita alpa bahwa mereka tak akan bisa melihat keindahan itu hingga 'kacamata tauhid' yang kita pakai untuk melihatnya juga kita coba berikan pada mereka. Wallohua'lam.

Tak terasa zuhur hari itu pun tiba. Setelah sholat zuhur di musola itu, sang ikhwah yang belakangan saya tahu namanya akh Sefli ini, lantas pamit untuk ikut testing. Saya pun mengiyakan, sambil berdoa dalam hati semoga semua aktivitasnya Alloh lancarkan. Semoga ghirah keislamannya tetap Alloh jaga. Dan semoga ada nasib baik di testing kerjanya kali ini. Tidak seperti saya dulu, gagal dalam proses inteview kerja hanya karena alasan sederhana: sudah menikah. Hehe 

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?