Kualitas Hafalan Al Qur'an dan Kualitas Diri Kita

Dalam masa-masa saya menghafal Qur'an, pernah suatu ketika saya merasa mentok. Mentok di sini bermakna tidak ada kemajuan berarti dalam perbaikan kualitas maupun kuantitas hafalan saya. Wujud empiriknya bisa bermacam-macam. Dari mulai hafalan lalu-lalu yang terlupa, perasaan 'malas' untuk melanjut, sampai minimnya waktu yang tersedia untuk menghafal. Setelah saya cermati dan renungkan, saya jadi punya hipotesis bahwa mentoknya hafalan itu berbanding lurus dengan mentoknya diri kita. 

Saya saat itu menyadari nyaris tidak ada yang membaik dalam diri saya. Dari mulai ilmu yang belum berkembang lagi (karena baru saja lulus dari universitas), ibadah yang nggak bertambah khusyu', tawakkal, sabar, dan atribut ruhiyah lainnya pun tidak ada kemajuan, alias stagnan. Bahkan berat badan saya pun tidak naik-naik. Tidak ada perubahan. Satu kata yang tepat: mentok!


Saya jadi mengira-ngira apakah mentoknya kualitas pribadi itu punya pengaruh dalam kualitas hafalan? atau mungkin sebaliknya? Saya tidak tahu pastinya, tapi gejalanya mengindikasikan keduanya. Antara kualitas hafalan dan pribadi memang ada hubungannya. Bukankah Al Qur'an adalah sebuah beban yang agung, yang jikalau Alloh turunkan pada sebuah gunung niscaya gunung itu akan hancur lebur? Maka saya tak terlalu heran jika para pengusung Al Qur'an dalam kalbunya juga tentunya mesti memiliki kalbu yang high quality. Nah, kondisi saya yang masih low quality seperti ini apakah layak memikul sebuah amanat agung?

Maka saya pun beritikad untuk terus memperbaiki diri. Diri yang rendah kualitasnya saya kira memang tak akan sanggup memikul Al Qur'an di dirinya. Dan benar saja, seiring dengan perbaikan diri, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, menjauhi sumber dosa, memelihara tingkah laku, muncul semacam energi positif dalam diri untuk terus menghafal dan murojaah yang. Efeknya jelas: kualitas dan kuantitas hafalan pun merangkak naik. 

Barangkali itulah istimewanya para penghafal Qur'an. Mereka tidak cuma berhasil menghafal sebuah ragam tulisan (yang mengindikasikan kecerdasan intelektual mereka), tapi juga menjaga diri mereka tetap memiiki kualitas ruhiyah yang tinggi. Mereka juga berarti sudah membuktikan bahwa mereka adalah sosok-sosok yang komitmen dan istiqomah. Maka layaklah mereka Alloh berikan pernghargaan. Tak inginkah kita ikut serta di dalamnya? ^_^

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?