100% Dukung Indonesia

"Jangan pernah berhenti mencintai Indonesia" (Sri Mulyani)


Pekan kedua Oktober 2011, bertepatan dengan pekan ketiga Dzulqaidah 1432 barangkali menjadi satu momen penting yang dapat menyegarkan kembali nasionalisme kita. Nasionalisme dalam arti positif tentunya. Bukan nasionalisme membabi buta yang tidak jelas juntrungannya. Nasionalisme yang saya kira menjadi bagian dalam sanubari kita semua sebagai anak bangsa. Lantas ada apa di waktu ini?

Pertama, dalam pekan ini cukup hangat diberitakan insiden pencaplokan wilayah Sambas di Kalimantan Barat oleh Malaysia. Malaysia, menurut sebagian informasi (konon dari pihak intelijen negara) telah melakukan penggeseran batas atau patok perbatasan di wilayah tersebut sepanjang kurang lebih 3km. Dampaknya, Indonesia kehilangan wilayah sebesar 1500 ha di Kalimantan.
Pemberitaan ini lantas mendapat respon dari masyarakat luas berupa kritikan, kecaman, hujatan, dan sedikit kembali mempertegang atmosfer persepsi masyarakat Indonesia terhadap Malaysia. Orang-orang pun mengingat kembali kasus demi kasus akibat 'bandel'nya Malay. Dari mulai penangkapan petugas patroli Indonesia, klaim lagu "Rasa Sayange", Reog Ponorogo, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan sampai insiden laser di Piala AFF tahun 2010 lalu. Berbeda halnya dengan pemerintah yang lewat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Pak Djoko Suyanto, mengatakan bahwa informasi itu tidak benar. Beliau mengatakan tidak ada patok wilayah Indonesia yang bergeser di sana. Walhasil, respon ini pun jadi membuat keadaan lebih runyam. Masyarakat awam setidaknya tersegregasi menjadi 2 golongan: yang kesal pada pemerintah Malaysia sekaligus kesal pada pemerintah sendiri yang memble, dan golongan yang bingung mana informasi yang benar.

Warga negara yang punya semangat nasionalisme, tentunya menyayangkan peristiwa ini (apabila benar). Di sini rasa kebangsaan kita kembali dicabik-cabik, dan mentafakuri diri betapa kita sesungguhnya geram namun tak pernah punya kuasa untuk berbuat sesuatu. Masalah itu nun jauh di sana namun seolah  masih bisa teraba dengan tangan nurani kita sendiri. Namun, alih-alih menumpahkan kebencian pada negara tetangga, saya kira pilihan yang lebih bijak adalah menyalurkan 'semangat' itu dalam ranah yang lebih produktif. Mengingat kita mungkin bukan siapa-siapa. Bukan pemerintah atau pemangku kebijakan. Kita geram, kesal, dan serasa ingin berbuat sesuatu. Perasaan itulah yang perlu diwujudkan dalam ranah lain. Ekonomi misalnya, atau pendidikan. Kita alihkan perasaan ingin berbuat sesuatu itu dalam tataran keseharian. Kita menjadikan itu cambuk yang memacu kita untuk semakin meningkatkan kinerja kita dalam peningkatan kesejahteraan atau kecerdasan masyarakat. Mencoba untuk lebih produktif dalam bisnis misalnya, semakin aktif menulis dan beropini di publik, atau lebih peduli pada bacaan dan tayangan yang disaksikan anak-anak kita. Kecil memang, atau bahkan tidak nampak berefek pada masalah tadi. Namun setidaknya jika mayoritas penduduk Indonesia melakukannya, Indonesia akan merasakan 'trickle up effect' (istilah yang sedikit berbeda konteks dengan trickle down effect). Mengutip sedikit kalimat Ibu Marwah Daud Ibrahim, bahwa kesuksesan sebuah bangsa terkait dengan kesuksesan individu-individunya. Indonesia akan jauh lebih tangguh jika diisi oleh individu-individu yang jauh lebih tangguh juga.

Kedua, momen yang menygarkan kembali nasionalisme adalah pertandingan lanjutan pra-kualifikasi Piala Dunia zona asia, yang melibatkan Indonesia. Pada dua pertandingan sebelumnya, Indonesia menderita kekalahan cukup telak. 3-0 dari Iran, dan 2-0 dari Bahrain. Kekalahan itu menyusul kekalahan 1-0 pada pertandingan uji coba sebelumnya melawan Yordania. Artinya dalam 3 kali pertandingan, 3 kali Indonesia menderita kekalahan. Pahit bukan? Kepahitan itu ditambah lagi ketidaksolidan organisasi yang menaungi sepakbola indonesia dengan para stakeholdernya, termasuk para suporter fanatis. Gejala yang tampak, ketidaksolidan itu bahkan menjurus pada sikap saling menyalahkan. Misalnya, Alfred Riedl, pelatih sebelumnya yang dinilai sukses meningkatkan performa timnas didepak dari posisinya secara tidak hormat. Ia bahkan dituduh memperkeruh suasana dengan memprovokasi para pemain timnas agar memboikot pertandingan selanjutnya (tuduhan yang pada akhirnya terbukti keliru). Pun adanya kisruh yang disebabkan pelatih baru (Wim Rijsbergen) yang dinilai malah menghancurkan performa tim yang sudah apik, dan cenderung tidak bersahabat dengan pemain. Banyak suporter yang kemudian emosi dan meminta Wim digantikan. Makin keruh lah suasana persepakbolaan tanah air. 

Euforia sepakbola yang tampak pada Piala AFF sebelumnya kini pudar akibat kisruh macam ini. Terbukti, di pertandingan Indonesia vs Qatar di Gelora Bung Karno, animo masyarakat terhadap laga ini melorot drastis. Tiket tak terjual habis seperti sebelumnya. Mungkin karena sebagian orang tak lagi yakin dengan performa timnas. Mungkin juga sebagian lagi kecewa pada PSSI yang belum stabil lalu melampiaskannya dengan sikap tak mau datang ke Gelora. Apapun itu, mereka punya alasannya sendiri. Lalu bagaimana ending dari pertandingan tersebut? Indonesia lagi-lagi kalah. Ini artinya, sudah 4 kali bertanding dan keempatnya Indonesia kalah. Namun...

Bagi saya ada nuansa berbeda ketika pertandingan Indonesia vs Qatar kali ini. Nuansa yang tidak terlihat di 3 pertandingan sebelumnya. Ini nuansa yang saya rasakan saat Piala AFF tahun 2010. Subjektif memang, namun ternyata banyak juga orang yang sependapat dengan saya. Bahwa mereka melihat adanya perjuangan, sesuatu yang khas dan berharga, dalam pertandingan timnas ini. Meski ujungnya Indonesia kalah, namun sekali lagi tampak perjuangan para pemain untuk memberikan kinerja terbaik mereka. Dan saya cukup bangga dengan itu.

Seperti kata Andrea Hirata, bagi sebagian penggila bola (mungkin termasuk saya), mencintai sepak bola adalah cinta tanpa syarat. Ya, tanpa syarat. seringkali kemenangan bukanlah dasar dari kecintaan itu. Kecintaan itu lebih didasari oleh permainan yang disajikan. Kesungguhan yang diperlihatkan, keindahanlah yang terlihat. Dan dari keindahan itlah cinta itu terpelihara.

Merefleksi kembali tentang makna nasionalisme kita, sepakbola pun menyajikan miniaturnya. Miniatur yang memperlihatkan bahwa betapa pun garuda terpuruk, kita tak pernah punya alasan untuk berhenti mencintainya. Karena kita mencintainya, tidak didasari oleh kalah menangnya. Tapi oleh perjuangan manusia-manusia di dalamnya, termasuk kita.

Betapa pun masalah menyelimuti negeri ini, dari mulai korupsi, bencana alam, ketidakadilan, terorisme, sekulerisme, dekadensi moral, kita tidak pernah punya cukup alasan untuk berhenti mencintainya. Karena kita yakin bahwa di dalamnya masih ada sosok-sosok yang berjuang untuk mengatasi semuanya. Di tengah banyaknya korupsi, masih ada jiwa-jiwa muda yang rindu kebaikan dan berjuang untuk mengentaskannya. Di tengah maraknya bencana alam,dan sosial, masih ada tangan-tangan yang dengan gigih tetap memegang buhul tali keimanannya dan memperjuangkannya agar cahayanya tetap menyala.

Wujud nasionalisme kita sudah selayaknya diwujudkan tidak hanya dalam bentuk slogan-slogan belaka, atau lewat munculnya perasaaan geram yang situasional saat sebuah circumstances terjadi. Wujud nasionalisme itu juga berwujud kinerja terbaik kita dalam mengarungi keseharian, dalam bekerja, maupun dalam bercita-cita. Terlebih buat kamu muslimin, bukankah Alloh telah memberikan amanah pada kita untuk memakmurkan bumi ini? memakmurkan Indonesia, negeri di mana kita dilahirkan dan tumbuh besar?  Renungkanlah, mengapa Alloh menakdirkan kita tidak dilahirkan di Palestina, negeri para syuhada, atau di Irak, Saudi, Suriah, Mesir, Malaysia, atau Brunei? Salah satu hikmahnya adalah bahwa kita memang ditakdirkan untuk berkontribusi, mengejewantahkan keimanan kita di negeri ini. Indonesia adalah negara yang warganya mayoritas muslim yang terletak paling timur di bola bumi. Buktikanlah, bahwa negeri ini kelak akan menjadi matahri terbit yang akan menyinari dunia.

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?