Melihat Perubahan

Manusia memang sudah dari sononya diciptakan punya perasaan. Tak heran jika manusia bisa kesel atau mutung. Tak terkecuali dengan saya.

Berbulan-bulan yang lalu saya pernah datang ke sebuah bengkel sepeda motor untuk servis rutin. Ini servis kedua kalinya sejak saya punya motor second. Tempatnya juga berbeda dengan tempat servis pertama kali. Alasannya selain karena lebih jauh, tempat servis pertama yang memberikan layanan memuaskan itu ternyata sedang tutup, ntah kenapa. Akhirnya tempat servis yang dipilih adalah yang paling dekat.

Walaupun dekat, konon tempat servis yang ini kurang punya pelayanan yang baik. Kabar burung memang tapi apa mau dikata lagi. Tapi justru karena itu saya jadi lebih ingin tahu. Sesampainya di sana, ternyata kabar burung itu tidak keliru. Seorang Mbak yang bertindak sebagai resepsionis langsung memasang muka masam pada saya. Beliau bertanya ini-itu tetap dengan paras yang dingin. Setidaknya saya tak merasa hangat. Singkat cerita, jadilah servis itu dilakukan. Saya pulang dengan agak sedikit mutung sebab pelayanan yang diberikan rada acuh tak acuh.

Beberapa bulan kemudian, sepeda motor saya sudah perlu diservis lagi. Beragam alasan membuat saya menjatuhkan pilihan pada tempat servis yang dekat itu. Belajar dari pengalaman sebelumya, saya sudah siap-siap untuk pasang telinga tebal. Singkat cerita, sampailah saya di tempat servis dan diterima oleh si Mbak yang sama. Wajah yang sama. Orang yang sama. Seragam yang sama. Yang dulu. Beliau masih berperan sebagai resepsionis. Tapi ada yang berbeda kali ini. Saya juga agak terkejut. Beliau tampak lebih ramah, lebih mau tersenyum, dan lebih hangat, tidak hanya pada saya tapi juga pada pelanggan lainnya. Singkat cerita, servis pun jadi dilakukan. Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini saya pulang tanpa membawa perasaan kesal.
Ya, karena si Mbak sudah berubah.

Pengalaman sederhana, kecil, dan lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya secara logika saya tidak berhak menjustifikasi si Mbak itu sebagai orang yang dingin awalnya. Bisa saja ia sedang bad mood, sedang ada masalah, atau hal yang lain yang membuatnya dingin saat saya pertama kali bertemu dengannya. Tapi setidaknya saya benar-benar melihat perubahan pada dirinya. Perubahan sederhana, kecil dan lekat dengan kehidpan sehari-hari.

Bila ditelisik lebih jauh, ada sangat banyak orang yang mengimpikan perubahan. Ke arah yang lebih baik tentunya. Bahkan slogan-slogan perubahan menjadi mantera yang cukup ampuh untuk memobilisasi perasaan orang-orang. Simak saja orasi-orasi mahasiswa yang sedang demonstrasi di jalan-jalan. Begitu pula sloga Barrack Obama saat kampanyenya dulu. Change, Yes We Can!!!.

Tapi meskipun kita ingin, ternyata tak mudah untuk berubah secara konsisten. Saya mengenal orang yang ingin hidupnya lebih baik, tapi ia tak kunjung berubah. Ada juga orang yang ingin negeri ini berubah, tak keinginannya tak kunjung terwujud. Saya percaya orang-orang itu tak sendirian. Saya, dan mungkin pembaca beserta jutaan manusia lainnya di dunia juga punya bersitan hati yang sama. Kita ingin perubahan ke arah yang lebih baik. Tapi tampaknya itu kosakata umum yang jika ingin terwujud, kita terlebih dahulu harus mampu menjabarkan perubahan yang kita maksud, secara khusus, spesifik, terarah, dan progresif.

(bersambung...)

Comments

  1. yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri!

    akhi, ana sarankan beli motor baru aja...yang secondnya buat ana! hehehe!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?