Belajar Berkomitmen dan Konsisten


Bila para penghafal Al Qur'an ditanya apa faktor yang membuat mereka mampu berkomitemn dan tetap konsisten dalam altivitas menghafalnya, jawabannya sederhaan. Niat dan lingkungan yang mendukung.

Niat bisa dianalogikan dengan sumber energi yang menggerakkan manusia. Semakin besar niat, semakin besar pula energi yang bisa diberikan. Lalu apa yang menjadi ukuran besar kecilnya sebuah niat? Subejektif memang, tapi setidaknya ada kata kunci yang saya pikir bisa diterima, yakni kebahagiaan. Ya, manusia selalu mencari dan mengejar kebahagiaan. Itu sudah sunnatullohnya. Semakib besar kebahagiaan semaki bear pula energi yang bisa dikerahkan untuk mencapainya. Dengan kata lain, niat yang besar adalah niat utuk mencari kebahagiaan yang besar pula.

Bagi para penghafal Al Qur'an, surga dan kemuliaan dari Alloh adalah kebahagiaan terbesar. Para penghafal Qur'an memahami keutamaan menjadi seorang penghafal. Dab atas balasan itu, mereka bersedia melakukan sesuatu yang bisa mengantarkan mereka padanya. Tak jauh beda dengan jual beli. Para penghafal Qur'an hakekatnya tengah melakukan transaksi dengan Alloh, di mana surga dan kemuliaan dari Alloh berusaha mereka beli dengan usaha menjadi penghafal.
Kasus lain untuk contoh yang lebih sederhana adalah orang yang bekerja menjadi penyapu jalan. Andai fresh graduate sebuah perguruan tinggi negeri ternama ditanya apakan mereka bersedia berprofesi menjadi penyapu jalan, maka hampir dipastikan jawabannya adalah tidak. Saya kira jawaban itu bukan muncul dari aktivitas menyapu jalannya tapi dari anggapan bawa balasan atau upah yang diterima para penyapu jalan itu tidak besar. Nah, kita berandai-andai lagi ketika ada yang mau mengupah penyapu jalan sebesar Rp. 30 juta per bulan, dan para sarjana itu ditanyai lagi, maka saya percaya jawabannya akan bergeser. Jangankan sarjana, sebagian supervisor perusahaan swasta pun barangkali akan berpikir tentang kesempatan itu. Bagaimana dengan pembaca?
Upah, gaji, kompensasi, balasan, atau apa pun namanya menjadi poin penting dalam motof seseorang. Tentu yang dimaksud di sini bukan hanya material saja tapi juga sisi emosional, mental, dan spiritual. Jika demikian halnya, sepertinya sudah lebih jelas, bahwa jika niat adalah pangkal dari kesediaan kita untuk melakukan sesuaty, maka kompensasi atau balasan adalah ujung dari niat itu.


Pembahasan di atas hanya ingin sekedar menunjukkan bahwa keinginan untuk memperoleh kebahagiaan dari balasan adalah muara dari niat atas apapun. Bisa balasan dari manusia berupa materi, penerimaan, kebanggaan, atau dari balasan dari Alloh berupa pahala, kemuliaan, dan surga. Dengan kata lain, jika ingin konsisten dan komitmen, pasanglah niat dengan menghubungkannya dengan kebahagiaan terbesar yang ingin kita rasakan. Lalu terus perbaharui dan ingat selalu niat itu.
Sederhana bukan? jadi jika ada orang yang mundur di tengah jalan, tak sanggup untuk konsisten, maka setidaknya penyebabnya ada dua. Kalau bukan karena ia lupa pada niat awalnya, niatnya  mungkin tidak cukup besar.
Nah, selanjutnya lingkungan yang mendukung juga bagian dari penjagaan komitmen dan konsistensi. Ia lebih berperan sebagai pengingat dan pembaharu niat. Pertanyaannya, kalau lingkungan tidak mendukung, so how? Maka kita ingat bahwa manusia adalah makhluk istimewa. Di SD dulu barangkali kita pernah diajari tentang kelebihan manusia berupa daya cipta, rasa, dan karsa. Manusia selalu memiliki kebebasan untuk memilih respon dari perihal yang mengenai dirinya. Manusia selalu punya kemampuan untuk proaktif, meskipun dirinya diikat dalam hutan belantara. Kita bisa memilih pindah, mencari bantuan, atau bahkan membuat lingkungan baru dengan menggeser paradigma.
Sampai saat ini saya masih menganggap para pengahfal Al Qur'an sebagai sosok-sosok yang istimewa. Setidaknya mereka sudah lulus untuk membuktikan keindahan dari sebuah komitmen dan konsistensi.
Wallohua'lam

Comments

  1. very nice post bro... bikin semangat yang lama tertidur hidup kembali... keep posting bro...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?