Melihat Perubahan (2)

"Orang yang kebingungan adalah orang yang berkeinginan untuk bahagia namun belum mampu mendefinisikan kebahagiaannya"

Saya patut bersyukur pada Alloh sebab karunia-Nya. Hari ketika tulisan ini dituliskan, saya telah menggenapkan hafalan 1 juz Al Qur'an dalam waktu kurang dari 25 hari. Hasil dari sebuah progres yang cukup konsisten, di mana 1 hari punya target hafalan 1 halaman Al Qur'an disertai murojaah (mengulang-ulang hafalan sebelumnya). Buat sebagian pembaca barangkali itu tak terlalu istimewa, terlebih bagi mereka yang sudah hafal Al Qur'an. Tapi bagi saya ini membuktikan dan mengajarkan saya banyak hal. Awalnya saya menganggap menghafal 1 halaman per hari seperti aktivitasnya orang-orang yang jenius. Tapi saya keliru. Saya bukan orang jenius. Saya orang biasa seperti orang kebanyakan. Tapi target yang terpenuhi itu membuat saya semakin sadar bahwa konsistensi dan komitmen sesungguhnya punya daya yang sangat besar untuk mengemudikan perjalanan hidup kita.

Ya, satu kata kuncinya, mengemudikan. Ibarat perahu, komitmen dan konsistensi adalah energi untuk bergerak sekaligus kemudi. Tapi kita tahu bahwa untuk berlayar, kita juga butuh kompas, atau arah yang jelas. Hanya lelucon jika kita berlayar tapi tidak mengerti ke mana kita mau berlayar.

Sedikit berbagi dengan para pembaca, bagi saya, salah satu kebahagiaan saya yang terbesar adalah ketika saya bisa menjadi penghafal AL Qur'an 30 juz. Sebenarnya keinginan itu sudah ada sejak lama, tapi keinginan itu belum cukup bisa memandu saya untuk menindaklanjutinya dalam bentuk tindakan. Tindakan itu baru terwujud saat saya sudah merealisasikan 2 hal. Pertama, penetapan target-target spesifik harian. Kedua, penyediaan waktu untuk eksekusinya per hari.

Saya beruntung, atas izin Alloh ketika berjalan-jalan di sebuah toko buku saya menemukan buku panduan menghafal Qur'an yang sudah berisi tabel-tabel target harian. Dengan panduan tabel itu, terlihat dengan benar-benar jelas titik akhir, proyeksi, sekaligus checkpoint yang perlu dilalui. Secara pribadi saya merasa sangat terbantu dengan keberadaannya. Saya seolah membayangkan akan pergi ke suatu tempat yang sudah tahu ada di mana dan bagaimana bentuknya, kemudian diberikan rambu-rambu untuk memandu jalan. Terlihat dengan jelas. Saya jadi berpikir semakin jelas gambaran kita pada sebuah tujuan, serta tahap-tahap yang perlu dilalui untuk ke sana, semakin potensial impian tersebut akan terealisasi.

Kedua, saya berpikir bahwa waktu dan impian bisa dianalogikan seperti bahan baku dan produk. Minyak bumi misalnya. Waktu ibarat minyak bumi mentah yang bertindak sebagai bahan baku. Sedangkan impian dan cita-cita kita ibarat produk gasolin, solar, kerosin, avtur, lilin, aspal, dll. Untuk menghasilkan produk yang diinginkan, bahan baku harus dihabiskan (dikorbankan) dan diolah sedemikian rupa dengan cara yang spesifik. Maka, omong kosong jika kita menginginkan sesuatu tapi tidak bersedia untuk menginvestasikan waktu kita ke arah sana. Saya percaya bahwa impian berbanding lurus dengan waktu. Semakin besar impian kita, semakin besar pula waktu yang perlu kita investasikan. Untuk itu, setelah memiliki tabel dengan target-target yang jelas, saya mendedikasikan waktu pagi setelah sholat subuh, waktu dhuha, waktu menunggu maghrib, dan waktu sebelum tidur untuk menghafal murojaah. Jika dalam keseharian kita ternyata ditemukan banyak spot-spot waktu seperti waktu menunggu, antre, menganggur, dll maka waktu-waktu tersebut juga bisa digunakan.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita benar-benar sudah memiliki impian yang jelas tergambar? sudahkan kita mendefinisikan perubahan yang ingin kita lihat sedetail-detailnya? Lalu sudahkan kita investasikan waktu-waktu utama kita untuk mendukung aktivitas kita ke arah sana? jika jawabannya sudah, maka dengan komitmen dan konsistensi kita hanya perlu bersabar, hingga kita sampai di depan pintu gerbang impian kita. Gerbang di mana akhirnya kita bisa melihat perubahan.

Wallohua'lam bishowab

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?