Bicara tentang Para Penghafal Al Qur'an

"Bila ada hal yang paling saya inginkan di dunia ini, itu adalah menjadi penghafal Al Qur'an"

Beberapa hari yang lalu di salah satu toko buku, saya menemukan sebuah buku yang judulnya cukup inspiratif. Ya, hanya judulnya saja. Saya belum sempat membacanya karena kondisi keuangan sedang seret dan semua buku masih disegel (dengan plastik). Buku itu berjudul "Para Penjaga Ilmu". Sinopsis di bagian belakang buku mengatakan bahwa kehadiran para penjaga (the Guardians) ilmu di dunia ini memiliki arti yang super penting. Tanpa adanya penjaga ilmu, praktis tak pernah ada kemajuan peradaban manusia. Kita bisa sedikit melongo pada catatan sejarah. Kiranya siapapun tak akan memungkiri bahwa percepatan kemajuan peradaban berada pada kondisi tertinggi saat ini. Tentu jika dibandingkan dengan masa lalu. Dalam beberapa tahun saja, teknologi informasi, genetika, rekayasa manufaktur, transportasi, dan sebagainya sudah berkembang demikian pesat. Jauh lebih pesar ketimbang kemajuan alat transportasi saat ditemukannya roda hingga menjadi sepeda, misalnya. Katanya (sinopsis buku itu), itu adalah buah dari keberadaan para penjaga ilmu. Kalau dulu mereka hanya terkungkung pada perpustakaan, kini para penjaga itu sudah merambah hingga ke dunia maya. Institusi-institusi penegtahuan di seluruh dunia pun turut andil di dalamnya. Mereka secara sadar dan sukarela menjadi penjaga ilmu.

Ya, cuma judul dan segelintir sinopsisnya yang saya baca. Tapi setidaknya itu kemudian mengingatkan saya pada hal yang telah mentradisi selama berabad-abad. Tradisi periwayatan hadits dan Al Qur'an. Mereka yang memutuskan untuk berkecimpung adalah mereka yang secara otomatis bertindak sebagai seorang penjaga. Tak berlebihan kiranya jika para penghafal Al Qur'an dianggap sebagai para penjaga Al Qur'an.

Bicara tentang penjaga,ada dua kata yang saya pikir menjadi tiangnya. Di mana jika dua kata itu tak ada maka tak ada yang namanya penjaga. Bagi saya, kata itu adalah "Komitmen dan Konsistensi". Ini merujuk pada aktivitas menghafal Al Qur'an, sebuah aktivitas mulia yang bukan sekedar aktivitas intelektual tapi juga menyentuh aspek emosional dan spiritual. Atau dengan istilah lain, 3 fungsi kecerdasan  manusia. Nah, jangan anggap itu perkara sederhana. Karena itu tak mudah. Gampangnya, tak ada penghafal Al Qur'an yang berhasil tanpa komitmen dan konsistensi.

Komitmen berhubungan dengan niat dan motif. Kelanggengan sebuah komitmen berbanding lurus dengan tingkatan niat dan motif tersebut. Lalu, konsistensi berhubungan dengan aspek teknis, manajerial, disiplin, pengelolaan emosi, jadwal, hingga reorientasi tujuan hidup. Itulah mengapa kita bisa temui orang yang punya keinginan selangit, mengubah dunia misalnya, tapi kesehariannya tak mencerminkan itu. Tak ada hal berbeda yang dilakukannya untuk menyangga keinginan besarnya. Saya jadi teringat ketika jembatan di kota saya dulu roboh. Singkat cerita, robohnya jembatan tak lain tak bukan karena tiang penyangganya sudah minta ampun pada jalanan di atasnya karena tiap hari makin banyak saja kendaraan yang lalu lalang. Barangkali si tiang itu masih sanggup kalau yang bertambah itu anak-anak yang naik sepeda atau ibu-ibu yang naik sepeda motor ke pajak (pasar). Tapi kalau yang bertambah itu mobil raksasa bermuatan ntah apa yang beratnya berton-ton, rasanya si tiang sidah tak sanggup lagi. Akhirnya robohlah jembatan itu dan bertahun-tahun baru diperbaiki. Begitu pula segala hal dalam hidup. Tak peduli sebesar apa keinginan kita, cita-cita kita, yang pasti harus disangga oleh tiang yang cukup kuat. Makin besar keinginannya harusnya makin kuat tiang penyangganya.

Ada jutaan penghafal Qur'an di dunia ini, dan saya yakin ada dua kata yang membuat mereka mampu mencapainya. Jika keinginan untuk menghafal Al Qur'an itu dianalogikan dengan muatan atau beban, maka tiang penyangganya adalah komitmen dan konsistensi. Maka selayaknya kita kembali belajar tentang komitmen dan konsistensi. Kalau ada penghafal Qur'an di sekitar rumah kita, laiklah kita mencoba bergaul dengannya. Kalau tidak ada, mengapa tidak kita sendiri yang mencoba jadi penghafal itu? Siapa tahu ilmunya lebih mantep karena kita bisa rasakan sendiri bagaimana itu rasanya konsisten dan komitmen? Setuju tidak?

wallohua'lam

Oya, ada pesan dari sponsor: "Menghafal Qur'an yuuk!"  :-)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?