Hati berhati-hati, mulut berbicara

Ini tentang salah satu fragmen keseharian tentang bangun subuh...

"Dasar tukang molor, sholat subuh jam setengah 6...", begitulah kira-kira makna tatapan Tono terhadap Aldi, teman sekosannya di sebuah rumah kos-kosan. Seperti halnya orang-orang sholeh lainnya, Tono kerap bangun pagi untuk sholat subuh berjamaah di masjid. Seringkali didahului oleh aktivita sholat tahajjudnya sebelum itu. Sebaliknya Aldi, teman satu daerah yang sudah dikenalnya sejak tingkat satu itu terbiasa bangun kesiangan. Rata-rata sholat subuhnya jam setengah 6, ketika matahari sudah mulai nampak di ufuk timur. Aldi memang doyan tidur agak larut malam. Biasanya sih nonton film di TV dulu sebelum tidur. Film koboi, perang, spionase, aksi laga, dan sebagainya.

Pagi itu seperti biasa, Aldi bangun kesiangan lagi. Tanpa melirik kanan kiri, ia langsung loncat ke kamar mandi. Berwudhu dan langsung sholat subuh. Melihat itu, Tono yang baru pulang dari masjid cuma menggeleng-geleng. Entah sudah berapa pagi, Tono terus menerus menggeleng-geleng seperti itu. Sengaja ia tidak berkata-kata karena takut menyinggung Aldi. Tapi ternyata wahai pemirsa, disitulah letak permasalahannya. Tono selalu bangun pagi. Kamarnya persis di sebelah kamarnya Aldi, dan Tono tidak pernah membangunkan Aldi untuk sholat subuh bersamanya, apalagi mengajaknya ke Masjid. Tono ya Tono dengan segala kelebihannya. Aldi ya Aldi dengan segala kekurangannya...



Cerita di atas cuma fiksi belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kondisi merupakan hal yang tak disengaja. Tapi representasi dari fragmen keseharian yang seperti itu kerap kita jumpai. Intinya satu, seseorang yang punya akses terhadap kebaikan dan mampu untuk mengajak orang lain dalam kebaikan ternyata tidak 'bersedia' untuk itu. Hati sibuk menyalahkan prilaku yang tidak sesuai dengan sistem nilainya tapi tak bekerja untuk mengajak orang lain agak juga merasakan kebaikan tersebut. Entah kenapa, ada semacam kondisi yang disengaja agar dirinya selalu berada di atas yang lain. Mudah-mudahan saja itu tidak dijadikan alat legitimasi untuk merasa dirinya lebih baik ketimbang orang lain. Kalau itu yang terjadi, sombong dong...begitu kira-kira.

Banyak contoh yang bisa disebutkan. Tidak cuma tentang bangun subuh. Ada orang yang memandang sinis orang yang berpacaran. Tapi ia sendiri tak pernah berusaha menjelaskan argumentasinya pada orang itu bahwa pacaran membuka jalan maksiat yang lebih besar. Atau orang yang bermuka masam terhadap orang yang berpakaian minim, tapi ia sendiri tidak pernah berusaha menyampaikan pada khalayak bahwa berpakaian seperti itu jauh lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya. Banyak contoh-contoh lainnya. Akhirnya mereka cuma bisa menyalahkan tanpa memberikan koreksi terhadap kesalahan itu. Bisakah kita berharap perubahan dari orang-orang seperti ini? Tidak!

Islam sebagai sistem nilai memiliki anjuran yang komprehensif mengenai perubahan. Bahwa setiap orang yang melihat kemunkaran wajib berusaha mengubahnya, dengan tangannya, lisannya, atau minimal dengan hatinya. Kontekstualisasi dari anjuran tersebut tentu tidak hanya terbatas pada 3 perangkat saja tapi lebih dari itu, mendayagunakan segala potensi yang ada serta kesempatan yang tersedia untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Anjuran tersebut juga diakhiri dengan pernyataan bahwa mereka yang hanya bisa menolak dengan hatinya tanpa bisa berbuat apa-apa disebut sebagai orang-orang yang lemah.

Untuk sebuah perubahan, tidak ada kata segan dalam mengingatkan, memberikan anjuran dalam kebaikan, dan mengajak orang-orang untuk mengambil jalan menuju surga. Bangsa ini tidak butuh orang-orang yang soleh jika kesolehan itu hanya untuk mereka sendiri. Bangsa ini lebih butuh orang yang setengah soleh tapi mau mengajak orang lain untuk minimal setengah soleh seperti mereka.

"dan siapakah yang lebih baik perkataannya ketimbang orang-orang yang menyeru kepada Alloh, beramal soleh, dan berkata sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim...?"

Wallohua'lam bishowab

Comments

  1. Walaupun seandainya kita belum mampu untuk mengamalkan suatu kebaikan tertentu tidak masalah juga disampaikan daripada tidak sama sekali. Anggap saja mengingatkan diri sendiri.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?