Atas Nama Dakwah (3)

A:"Mas, apakah aktivis tarbiyah boleh punya afiliasi dengan parpol tertentu?"
X:"Boleh Dik"
A:"Lalu apakah itu menjadi keharusan?"
X:"Tentu saja tidak. Memangnya kenapa Dik, kok bertanya kayak gitu?"
A:"Saya melihat ada perlakuan istimewa yang diberikan pada mereka yang punya afiliasi ketimbang yang tidak"
X:"O...itu cerita lama sih dik (sambil tersenyum). Tapi Adik tentu saja ingin beraktivitas dengan ikhlas kan ?"
A:"Iya Mas"
X:"Maka jangan biarkan anggapan itu mempengaruhi aktivitas Adik"
A:"Iya Mas, tapi kan itu sesuatu yang nggak fair Mas"
X:"Tentu saja, tapi biarkanlah Alloh membalas keburukan dengan keburukan. Kita jangan ikut-ikutan"
A:"...."


Percakapan di atas menunjukkan keingintahuan sekaligus perasaan terusik yang A alami seiring pengetahuannya tentang dunia dakwah kampus. Meskipun barangkali percakapan di atas hanya fiktif, kondisi yang dipaparkan seringkali merupakan kenyataan yang bisa ditemukan di lapangan. Ya, ada semacam korelasi yang berbanding lurus antara keterikatan dengan satu partai tertentu, dengan jejang "karir" dalam komunitas dakwah tarbiyah, terkhusus di dunia dakwah kampus. Semakin intens keterkaitan itu, semakin besar pula legitimasinya untuk diperlakukan secara istimewa.

Setidaknya itulah yang penulis lihat di keseharian bersama dakwah kampus. Ada sisi-sisi yang tidak bisa dimasuki oleh orang luar yang tidak memiliki keterkaitan itu. Di sebagian lembaga atau institusi formal seperti perguruan tinggi, pola seperti ini seolah tampak seperti dinasti, di mana hierarki posisi pengambilan keputusan (harus) berada pada orang yang memiliki afiliasi tadi. Ketika sosok tersebut memiliki wewenang atau kekuasaan untuk memilih, atau untuk mengarahkan pemilihan hierarki di bawahnya, sebisa mungkin usaha dilakukan agar yang mengisi adalah orang yang "sejenis".

Dalam tataran pergerakan, sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan zionisme, hal tersebut tentu sebuah manhaj atau metode yang cukup baik dan wajar serta efektif. Karena untuk mencapai tujuan, segala sumberdaya yang ada memang harus diarahkan dan diberdayakan untuk itu. Apalagi jika tujuan itu mulia (untuk menegakkan dinul Islam misalnya). Namun hal yang perlu dicermati justru ada dalam tataran praktis. Ketika berbicara mengenai konsep dakwah Islam, seyogyanya ini menjadi kepentingan semua elemen ummat Islam. Dengan kata lain, seluruh bagian dari ummat harus diikutsertakan. Ketika hal ini dilalaikan, di mana hanya satu elemen saja yang mendominasi, wajar jika timbul perasaan terusik, perasaan diperlakukan tidak adil, dan sebagainya. Konkretnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kaum muslimin pada saat ini terdiri dari berbagai macam "retoritor" atau kelompok (meski masih berada dalam satu koridor ahlussunnah wal jamaah). Jika hanya satu golongan yang berkuasa, sedangkan yang lain diabaikan, disharmonisasi akan terjadi. Lebih-lebih jika diliputi neo-nepotisme dan ketidakadilan. Dan ini nyata terjadi. Fakta bisa dengan mudah diperoleh di lapangan jika ingin objektif dan jujur mencari.

Ada sebagian kalangan yang berpendapat, sudah syogyanya setiap kelompok fastabiqul khoirot satu sama lain. Sepintas, pernyataan ini bisa diterima. Namun harus dicermati makna dari fastabiqul khoirot yang disampaikan. Bisa jadi, definisi yang dimaksud bertentangan dengan apa yang sesungguhnya diperintahkan oleh Alloh swt. Fastabiqul khoirot tentu saja harus dilakukan dalam tataran aktivitas dengan tetap menjaga etika atau akhlakul karimah terhadap golongan lain. Bukan termasuk akhlakul karimah jika kenyataannya mengabaikan eksistensi pihak lain, yang notabene memiliki tujuan yang sama.

Disharmonisasi, sebuah kata yang singkat namun mampu memberikan efek yang luas terhadap eksistensi dakwah di era keberagaman saat ini. Pembiasaan dalam hal ini yang sudah ada di tingkat kampus dapat memberikan stimulus yang anyir jika sampai ke tingkat yang lebih besar. Maka ada benarnya ungkapan seorang tokoh yang berpengaruh dalam dunia dakwah kontemporer di Depok dan sekitarnya, bahwa orientasi gerakan dakwah seharusnya adalah membangun titik temu dalam kebersamaan, dengan tetap menjaga objektivitas, open mind, dan rendah hati.

Wallohua'lam bishowab

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?