Taashub itu Berbentuk Mencela Ulama

Pagi ini hati saya sedikit sesak melihat twitter salah seorang ulama yang saya kagumi, Aa Gym, diserang netizan. Sebuah serangan yang saya nilai tidak berkaitan langsung dengan substansi yang beliau (atau adminnya) post pada waktu itu. Tapi semua yang melihatnya tentu paham bahwa asal-muasal dari serangan itu adalah ashobiyah politik. Aa Gym sebelumnya posting sesuatu yang dimaknai netizen sebagai pembelaan atas Anies yang dikritik soal banjir Jakarta. Mereka berang. Anies salah menurut anggapan mereka, maka membela yang salah berarti dia ikut bersalah. Lantas berbuntut ke mana-mana lah postingan itu. Baranya belum reda, dan ketidakpuasan netizen berlanjut ke postingan-postingan setelahnya meski tak lagi berkaitan.

Sebelum Aa Gym kemarin Ust Yusuf Mansur juga demikian. Beliau pernah keliru berstatemen soal Uighur, lalu beliau dimaki-maki netizen yang tak puas. Dalam kasus ini pun, menilai dari tendensi dan cara netizen merespon, kita bisa tebak dengan mudah bahwa latar belakangnya juga soal bias politik. Netizen tidak suka YM yang dulu mendukung petahana. Aa Gym dibully karena bela Anies. Ust YM dibully karena dukung Jokowi.

Seburuk itu kah kualitas netizen kita? Seorang ulama diperlakukan dengan adab yang rendah hanya karena berbeda pilihan politik? Orang mungkin bisa mendebat, jangan samakan Aa Gym dengan Ust YM. Level keulamaannya beda. Benar kan? Tapi saya ragu pendebat semacam itu punya kriteria yang ajeg untuk mengukur seseorang itu ulama atau bukan. Ujung-ujungnya kembali ke bias politik tadi. Kriteria utamanya adalah kesamaan dukungan politik. Sisanya bisa dicari.

Saya pribadi berpikir barangkali inilah salah satu ciri taashub. Kalau dulu orang fanatik dengan madzhab fiqh, kini orang fanatik dengan pilihan politik. Taashub itu ditandai dengan tertutupnya hati dari menilai orang lain secara adil. Taashub perilaku tercela. Ia sifat jahiliyah yang ditentang Nabi. Nabi shollallohu 'alaihi wasallam pernah marah pada saat orang-orang di Madinah menyebut-nyebut kembali perseteruan Aus dan Khazraj. Nabi tak suka itu, dan saya yakin andai beliau masih hidup beliau juga tak suka itu pada kita saat ini.

Lalu apa yang bisa membentengi kita dari perilaku taashub?

Alloh. Mahabbah atau rasa cinta pada Alloh dan Rosul-Nya. Itu dulu. Maka bila kita melihat ada orang atau pihak lain yang mengekspresikan cinta ini, meski hanya secara lahiriah, anggap mereka sebagai saudara. Itu titik temunya. Cinta pada Alloh dan dan Rosul-Nya ini pernah jadi dalih oleh Nabi shollallohu 'alaihi wasallam untuk mencegah celaan sahabat pada sahabat lainnya yang tengah mabuk. Mabuknya tetap salah, namun cinta tadi mencegahnya dari celaan yang berlebihan.

Berpikir dalam konteks yang lebih besar lagi, saat ini umat Islam sangat butuh persatuan. Banyak sekali tantangan yang hanya bisa diatasi ketika kita semua bersatu. Jangan kekuatan besar ini tak berkumpul-kumpul hanya karena sifat taashub yang merusak.

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?