Belajar dari Anime Jepang


Saya termasuk penyuka anime-anime Jepang. Mungkin karena waktu masih kecil dulu sudah akrab dengan kartun-kartun itu tiap Ahad pagi. Dan makin kesini saya makin tahu kalau anime itu bukan semata-mata tontonan untuk anak-anak. Anime adalah ekspresi budayanya orang Jepang, wadah mereka menyalurkan ide, dan cara mereka memotret realitas dengan kreatif. Itu mungkin sebabnya kenapa anime punya banyak genre. Dan jujur, dari semua anime Jepang yang ada, "tontonan anak-anak" hanya sebagian kecilnya saja. Sebagian besar anime menurut saya malah justru sasarannya untuk orang dewasa. Istilah "untuk orang dewasa" di sini tidak selalu merujuk ke hal-hal yang berbau porno, tetapi lebih ke suguhannya yang memang dirasa lebih pantas untuk orang dewasa, semisal karena ada adegan-adegan yang gruesome dan berdarah-darah, atau karena alur ceritanya yang rumit yang susah dipahami anak-anak, atau karena adanya bumbu-bumbu politik dan konflik.

Dari kegemaran menonton anime ini, ada hikmah yang saya peroleh, yaitu kebiasaan untuk menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan. Saya setidaknya jadi agak lebih terlatih untuk kecewa menerima kenyataan apa adanya. Ini setelah saya menonton anime level orang dewasa tadi. Sebut saja beberapa judul semisal Attack on Titan, Haikyu, Gundam Iron Blooded Orphans, atau 5 cm per second. Di empat judul anime itu penonton bisa jadi akan kecewa berkali-kali karena dihadapkan hasil cerita yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Ada kekalahan dalam pertempuran, ada karakter kesukaan yang dibuat mati, ada harapan yang pupus di ujung jalan, dan seterusnya. Ini sangat beda dengan tipikal kartun-kartun Disney yang udah bisa ketebak di-ending biasanya happily ever after. Tapi uniknya, anime-anime itu tetap menarik. At least dia meninggalkan jejak yang bisa ditafakuri selepas menonton.

Gambaran penting yang saya dapatkan adalah kenyataan bahwa hidup memang seperti itu. Seringkali seperti itu. Bahwa peristiwa yang kita temui kadangkali tak sesuai harapan. Tapi dari situ saya jadi paham bahwa poin krusialnya bukanlah di peristiwanya, melainkan pada respon kita atas peristiwa itu. Peristiwa itu bukanlah titik akhir.

Di banyak anime yang berakhir "mengecewakan", biasanya reaksi saya adalah berupaya melanjutkan cerita dengan versi saya sendiri. Di Gundam Iron Blooded Orphans misalnya (SPOILER ALERT !!!), diketahui bahwa meskipun Tekkadan hancur lebur di peperangan yang terakhir, ada sisa-sisa anggota yang berhasil selamat dan melanjutkan kehidupan dengan lebih baik. Di situ saya berkhayal ada di antara mereka yang mendirikan Tekkadan kembali, menemukan Gundam frame baru, menjadi pilotnya sekaligus menjadi pahlawan melanjutkan legacy Tekkadan sebelumnya.

Atau di 5 cm per second, saya berkhayal ketika di akhir ketahuan bahwa Akari sudah move on dari beban masa kecilnya, Takaki pun melakukan hal yang serupa. Senyumnya di akhir cerita saya tafsirkan kalau dia sudah menerima kenyataan dan bersedia untuk lebih terbuka.

Agak ridiculous memang, tapi bukankah kita memang selalu bisa menciptakan cerita kita sendiri?

Demikian juga di kehidupan nyata. Ketika skripsi atau Tesis yang sudah kita buat berbulan-bulan dinyatakan gagal saat sidang dan harus diulang, kehidupan kita tak pernah berhenti di situ. Kita bisa memilih untuk bangkit dan mencoba lagi. Atau ketika lamaran kita ditolak calon mertua dan perasaan kita bertepuk sebelah tangan, hidup kita juga belum berakhir. Kita bisa memilih untuk mencari yang lain lagi. Jangan biarkan cerita kita selesai di situ. Move on.

----
Ini salah satu yang saya salutkan dari anime Jepang. Demi memotret realitas dengan cara kreatif, mereka bersedia mengambil resiko untuk mengecewakan penonton. Tapi disitulah serunya. Beda dengan ketika nonton film action Holywood yang di akhirnya sudah bisa dipastikan jagoannya menang, bom atomnya berhasil dijinakkan, atau senjata pemusnah massalnya pasti bisa dinonaktifkan, di anime Jepang endingnya nyaris gak ketebak.

Btw, baiknya nonton anime apa ya bulan ini? :)


----
Sang Raja - Gundam Barbatos Lupus Rex


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?