Pilihan ini disukai Alloh tidak ya?

Adik: "Mas, menurut Mas gimana kalau ada orang yang mencibir, "Kuliah mahal-mahal, kok kerjanya malah nggak sesuai jurusan?", atau "Kuliah jauh-jauh kok akhirnya jualan? kalau sekedar jualan mah nggak perlu kuliah."
Mas: "Tenang aja Dek, nggak usah dianggap serius. Mereka nggak sungguh-sungguh kok"
Adik: "Maksudnya?"
Mas: "Kalau mereka tau kerjaan atau bisnisnya itu bisa menghasilkan pendapatan ratusan juta per bulan, mereka bakal diam."
Adik: "..."
Mas: "Kadang yang sesungguhnya jadi standar mereka itu bukanlah jurusannya sesuai atau tidak, tapi menghasilkan uang banyak apa tidak"


--------------------


Cibiran, mungkin jadi hal paling klasik yang dipertimbangkan seseorang untuk memilih jalan hidupnya. Seseorang sangat mungkin (sering bahkan) menjadikan persepsi orang lain sebagai koridor yang menuntun pilihannya, lebih ketimbang suara hatinya sendiri. Hasilnya mungkin seperti yang pernah disinggung Steve Jobs dalam salah satu kuliahnya, bahwa pada akhirnya ia hidup dalam hidup orang lain alih-alih hidupnya sendiri.

Bagi mereka yang memang tengah bingung dan belum punya visi yang jelas ke mana mereka hendak melangkah, pendapat orang-orang di sekitar memang bisa jadi masukan berharga. Namun beda ceritanya jika kita, memang sudah punya peta hidup yang jelas, sadar passion, dan tahu kemana hidup kita akan kita langkahkan. Just live our lives, hiduplah dalam hidup kita sendiri, berjalanlah dalam jalan kita sendiri. Masalah ada orang yang kurang sreg dengan pilihan kita, itu biasa. Toh kita memang tidak bertugas untuk membuat semua orang sreg dengan pilihan kita. 

Ada sebuah ilustrasi klasik yang menarik, tentang seorang anak, seorang ayah, dan seekor keledai. Suatu hari sang anak pergi ke suatu desa dengan seorang ayahnya sambil mengendarai seekor keledai. Di tengah perjalanan, seorang pria menghampiri mereka dan berkata, "Alangkah kejamnya kalian ini. Keledai yang lemah begitu kalian tunggangi berdua, betapa tak berprikehewanannya kalian!". Mendengar ucapan si pria, mereka pun berganti posisi. Si anak menuntun keledai sedangkan si ayah naik di atas keledai.

Tak berapa lama kemudian, seorang pria yang lain pun menghampiri mereka. Pria itu bekata, "Wahai Bapak, apakah anda tidak kasihan dengan anak anda yang berjalan di bawah sementara anda enak-enakan naik di punggung keledai?". Mendengar pernyataan itu si ayah pun turun dari keledainya dan menyuruh si anak naik di atas keledai. Gantian si ayah yang menuntun keledai berjalan.

Tak jauh mereka berjalan, rupanya seorang pria pun datang lagi dan berkata, "Wahai Nak, kamu ini seperti manusia yang tak tahu diri. Kau leluasa naik ke atas keledai sedangkan ayahmu kau biarkan berjalan di bawah. Jangan jadi anak durhaka Nak!", kata si pria itu. Mendengar itu pun si anak pun akhirnya turun dan mereka sepakat untuk bersama-sama berjalan kaki, menuntun si keledai.

Akhirnya sampailah mereka ke desa yang mereka tuju. Melihat raut muka mereka yang kelelahan, seorang lelaki tua pun menghampiri mereka, "Dasar aneh kalian ini. Ngapain kalian capek-capek jalan kaki sedangkan kalian punya keledai yang bisa ditunggangi?". Si anak dan si ayah pun bertatap-tatapan. Mereka tertawa terbahak-bahak...

Kisah di atas hanya sekedar guyonan fiktif belaka, namun setidaknya memberi gambaran pada kita bahwa hidup selalu punya celah untuk dikritisi. Bahwa tidak semua perkataan orang harus diikuti, dan  sangat sulit rasanya menyenangkan semua orang.


Saya pun teringat dengan apa yang pernah disampaikan Stephen R. Covey dalam bukunya Seven Habits Highly and Effective People. Beliau mengatakan, kira-kira, hidup yang terbaik adalah hidup yang tidak memusatkannya pada orang lain, tidak juga hidup yang memusatkannya pada diri sendiri. Hidup yang terbaik adalah hidup yang berpusat pada prinsip. Dalam konteks keislaman kita, tentu saja prinsip di dini bisa kita maknai sebagai ketentuan Alloh. Hiduplah dalam hidup yang memusatkan segala sesuatunya kepada Alloh. Maka, penuntun pilihan hidup kita seyogyanya adalah Alloh. Selama pilihan itu tidak bertentangan dengan ridho Alloh, selama itu pula kita bebas dan berhak hidup dalam pilihan kita. Kitalah yang menjalani dan merasakan. Hidup dalam pilihan kita sendiri insyaAlloh membuat kita merasa lebih  puas dan bebas. 

Ada sebuah nasehat bagus dari Aa Gym. Kata beliau, "Jangan terlalu pusing kalau ada orang yang tidak suka, tapi pusinglah kalau Alloh yang tidak suka". Oleh karenanya, dalam setiap pilihan yang kita jalani atau hendak kita putuskan, kita cukup bertanya dalam hati: "Pilihan ini disukai Alloh tidak ya?"

Wallohua'lam

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?