Mengapa Kita Menolak Irshad Manji?

Apa yang ada di benak kita andai mendengar kabar seorang tamu akan datang berkunjung? Mungkin akan ada perasaan senang yang menggelayut di hati kita, membayangkan suasana hangat yang akan terbina. Ditambah lagi pesan dari Rosululloh saw untuk senantiasa memuliakan tamu, yang artinya kedatangan tamu itu akan memberi kita kesempatan untuk mendapat rahmat dari Alloh. 

"Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya" (HR Bukhari)


Lalu mengapa kita merasa perlu menolak Irshad Manji? Tidak kah penolakan itu berseberangan dengan pesan Rosululloh di atas? Bukankah Rosululloh juga pernah menerima tamu non-muslim sekalipun? Jawabannya tentu kembali pada pertimbangan kemanfaatan dari sebuah kedatangan itu. Bertamu yang dikehendaki adalah bertamu yang mengundang manfaat bagi kedua belah pihak, menjalin silaturrahim, memupuk kasih sayang, atau memenuhi suatu kebutuhan misalnya untuk berniaga, membantu ibnu sabil (musafir), dan sebagainya.

Konteks kedatangan Irshad Manji ada di luar itu semua. Jika kedatangannya ke Indonesia hanya sekedar tujuan wisata, tentu tidak mengapa. Tapi kita mengenal siapa dia lewat aksi-aksi kontroversialnya. Saya pribadi pernah beberapa kali membaca tulisan-tulisannya, baik lewat buku (cth. Beriman Tanpa Rasa Takut) maupun di situs online. Dari hasil pengamatan saya pribadi, saya kira tidak salah penilaian orang yang menganggapnya mengusung ide-ide liberalistik dalam beragama. Penafsirannya terhadap nilai-nilai agama sudah banyak melenceng dari pakem yang disepakati banyak ulama kontemporer. Tidak perlu jauh-jauh, dia sendiri pernah mengumumkan di depan publik bahwa dirinya adalah seorang homoseks (lesbian), dan dia menjustifiikasi perilakunya itu dengan penafsiran agama versinya sendiri. Baginya agama tak berhak melarang itu. Padahal, liwath (homoseks) dalam tradisi keilmuan Islam sudah tidak diragukan lagi keharamannya. Kedudukannya sudah jelas (qath'i) seperti haramnya judi, khamr, dan zina.

Kalau kita membaca lebih jauh tulisan-tulisannya itu, dan sedikit meluangkan waktu untuk mengkritisinya, kita akan menemukan sisi-sisi yang janggal dan tidak berimbang. Dalam bukunya Beriman Tanpa Rasa Takut misalnya, ia menceritakan pengalaman keberagamaannya di sebuah kawasan di AS yang menurutnya terlalu diskriminatif terhadap wanita. Kemudian berangkat dari pengalamannya itu, dia lalu menggeneralisir perilaku serupa juga terjadi di sebagian besar dunia Islam. Seolah-olah apa yang dirasakannya juga dirasakan oleh kaum muslimah lain di dunia, yang bedanya mereka tak berani bersuara seperti dirinya. Padahal fakta di belahan dunia Islam yang lain, ada banyak kaum muslimah yang malah easy going dan nyaman-nyaman saja dengan sistem Islam yang mereka terima. Tak sedikit juga muslimah yang justru merasa sistem Islam itu lebih empowering. Sayangnya, dalam keprihatinannya itu dia terlalu jauh melangkah, alih-alih mencari model kultur Islam yang "moderat", ia menjatuhkan dirinya dalam sisi pemikiran yang liberal secara radikal. 

Tidak hanya itu, kesan yang saya tangkap dari tulisan-tulisannya adalah mengesampingkan budaya tabayun dan pengkajian secara komprehesif pemikiran-pemikiran klasik Islam. Apa yang berusaha diketengahkannya hanya berdasarkan nalar berpikirnya sendiri, tanpa berusaha kroscek atau meminta penjelasan dari pihak yang bersangkutan. Irshad Manji pernah mengkritik sikap permusuhan Syaikh Tanthawi terhadap Israel. Namun dia melupakan tindakan biadab Israel yang menjajah dan melakukan tindakan semena-mena terhadap penduduk Arab Palestina selama puluhan tahun. Ia terlalu "lebay" menangkap pesan dari Grand Syaikh Al Azhar itu dan menganggapnya sebagai tindakan rasial (padahal apa yang dilakukan Israel selama ini jauh lebih rasis).

Kedatangan Irshad Manji ke Indonesia ini jadi bermasalah ketika kedatangannya dibarengi usaha untuk mengkampanyekan pemikirannya itu, baik dalam bentuk diskusi-diskusi maupun seminar. Tidak cuma itu, menurut situs voa-islam.com, kehadirannya itu juga dijadikan sarana dukungan untuk melegalkan undang-undang legalisasi praktik homoseks di Indonesia. Bagi saya, sisi krusial penolakannya bukan pada teknis protes dan tidak jadinya acara-acara diskusi yang dibawa Irshad Manji, tapi pada penolakan yang menjadi sebuah simbol penentangan umat Islam terhadap pemikiran yang dibawanya itu.

Masa kini, di tengah derasnya arus-arus pemikiran yang destruktif terhadap kemurnian agama, sebuah pernyataan sikap menjadi perlu, karena dengan itu kita berusaha meneguhkan pendirian dan identitas kita. Alhamdulillah, sebagian besar umat Islam masih menaruh kepedulian pada agamanya maupun agama masyarakatnya. Selama tidak dilakukan dengan anarkis, sebuah peneguhan jati diri serta upaya membentengi diri dari pemikiran yang tidak sepantasnya itu selalu patut untuk diapresiasi.

Wallohua'lam


Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?