Internet Tidak Diciptakan untuk Sekedar Facebookan


Suatu hari seorang teman pernah berencana akan menutup akun facebook miliknya. Saat ditanya alasannya kenapa, ia menjawab sekedarnya bahwa facebookan sedikit banyak melalaikan perhatiannya dari tugas-tugasnya. Pada awalnya saya anggap itu kasuistik di diri beliau saja. Wajar saya kira, karena beliau bisa dibilang salah satu punggawa mahasiswa pada saat itu. Beliau punya banyak kesibukan, dari kuliah S2, berdakwah ke sana kemari, kuliah, aktif di organisasi, bahkan sempat terpilih mejadi mahasiswa berprestasi di periodenya. Tapi ternyata, urusan facebookan yang melalaikan ini saya perhatikan juga memang menggejala di banyak anak-anak muda.

Saat saya perhatikan warnet-warnet yang bertebaran di pinggir jalan, isinya kebanyakan ya anak-anak muda. Kesibukan mereka setidaknya satu di antara dua: main game online atau facebookan. Sesekali memang ada anak-anak muda yang kesana untuk mencari bahan pustaka untuk tugas studinya, tapi itu tak seberapa jumlahnya. Penjaga warnetnya pun begitu juga, kebanyakan aktivitasnya facebookan.

Entahlah, mungkin teman-teman sendiri yang bisa mengukur intensitas facebookan saat tengah online. Sebagian dari kita mungkin hanya menggunakannya sebagai media perekat ukhuwah, sarana dakwah, atau wahana pelepas lelah. Tapi sebagian lagi, bisa jadi sudah menganggapnya sebagai kebutuhan, hingga pada taraf yang berlebihan. Walhasil, kita pun seolah jadi merasa sikap seperti itu mirip seperti kecanduan. Kalau sudah begini, jadi wajar muncul pertanyaan, apakah internet memang diciptakan untuk facebookan? 

Saya coba menerka-nerka, apa sebenarnya yang membuat kecanduan itu menghinggapi kepala anak-anak muda kita. Mungkin karena mereka ingin eksis, yang dengan itu mereka bisa mencoba hidup dalam alter-ego di dunia yang mereka imajinasikan sendiri, saat mereka tahu dunia nyata mereka tidak cukup indah untuk dihuni. Mungkin juga mereka merasa di dunia maya curhatan mereka bisa didengar banyak orang, yang kalau di kehidupan nyata tak banyak orang yang bersedia membantu. Sadar atau tidak, curhat yang mendapat respon sekedar "like"  memang cukup melegakan. Mungkin juga karena penasaran berapa banyak pesan, permintaan pertemanan, atau notifikasi yang mereka dapatkan hari itu. Mungkin, mungkin, dan mungkin lagi. Ada banyak kemungkinan yang lain.

Efeknya sungguh sayang kalau kecanduan seperti itu tidak dihilangkan. Yang utama, kecanduan itu akan bisa melalaikan. Kelalaian itu dalam wujud bergesernya perhatian mereka hingga melupakan potensi internet yang sebenarnya. Internet yang sebenarnya bisa dipakai untuk membuat diri lebih cerdas, jadi tidak teroptimalkan. Yang lebih parah lagi, jika kelalaian itu membuat intensitas amal sholeh yang nyata kita jadi berkurang. Jangankan tilawah Al Qur'an 1 juz, atau membaca satu judul buku per bulan, bahkan aktivitas rutin harian pun bisa jadi tertunda-tunda. Kamar jadi tetap berantakan, cucian tetap menumpuk, tugas-tugas kerja makin panjang mengantre, dsb.

Lalu bagaimana menghindarkan diri dari kencaduan facebookan? Dalam kasus yang ekstrim, menutup akun facebook memang jadi satu langkah yang dahsyat dan efektif. Hasilnya konkret dan jelas. Tapi bagi kita-kita yang merasa masih cukup sadar untuk memahami dan dorongan kecanduan itu belum terlalu menguasai hati, ya secepat-cepatnya disadari. Mintalah pertolongan pada Alloh lewat doa, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang lalai, hingga menyia-nyiakan anugerah hidup yang singkat ini hanya untuk facebookan.

Allohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?