Hati-hati dengan Beasiswa
- Get link
- X
- Other Apps
"Hati-hati menerima beasiswa!"
Itulah salah satu imbauan yang masuk ke layar komputer saya suatu hari.
Pasalnya, sang pemberi imbauan menyoroti apa gerangan yang menyebabkan
sekulerisme berkembang di tanah kaum muslimin. Salah satu gerbangnya
menurut beliau adalah beasiswa dari negeri sekuler-kristen. Stigma yang
dipegang adalah bahwa seseorang itu cenderung tergadai (bahkan terbeli)
oleh kebaikan yang pernah diterimanya. Perasaan berhutang budi adalah
satu hal, didukung kondisi lingkungan yang menjadi hal lainnya.
Gambaran generalnya, banyak cendekiawan muslim potensial yang lolos
seleksi dan masuk ke perguruan tinggi di luar negeri, dengan fasilitas
beasiswa. Karena mereka datang dari keluarga kelas menengah, beasiswa
(terlebih yang full) menjadi sesuatu yang lux bagi mereka. Akhirnya
pemberi beasiswa pun menjadi pihak yang harus 'dihormati secara lebih'.
Wujudnya, segala sistem, termasuk metode pendidikan mereka akan menjadi
acuan standar dalam pelaksanaan studi. Kalau metodenya tidak diikuti,
konsekuensinya mereka bisa tidak lulus atau setidaknya karya mereka
tidak diakui sebagai naskah akademik di sana. Nah disinilah titik
krusialnya. Mahasiswa mana coba yang mau seperti itu?
Lalu bagaimana memangnya metodenya? Sejauh yang saya perhatikan, ada
tiga faktor yang menjadi poin penting. Pertama, dalam masalah
keislaman, referensi yang diterima adalah jurnal dan buku yang sudah
terakreditasi sebagai naskah akademik. Tau sendiri kan gimana ribetnya
memenuhi standar naskah akademik? Walhasil, referensi itu adalah karya
'ilmuwan2' barat, bukannya kitab2 klasik para ulama dulu. Kedua, studi
keagamaan (termasuk keislaman) di universitas sekuler Barat masuk dalam
ranah sosial-budaya. Sehingga analisis2 masalahnya pun pakai pisau
sosiologi/psikologi/hermeneuti ka/historis
dan sejenisnya, bukan pakai pisau dalil syar'i atau dasar teologis.
Akhirnya, konsep keislaman yang dibangun pun lebih mirip konsep
sosiologi ketimbang konsep 'agama wahyu'. Ketiga, hidup di negara maju
butuh stamina iman yang luar biasa untuk menjaga ibadah yaumiyah tetap
berkualitas. Di masyarakat yang adzannya tidak terdengar, masjid jauh,
pengajian jauh, makanan halal tidak terlalu banyak, perilaku buruk
mereka yang biasa terlihat (buka aurat, minum alkohol, pesta, dll)
menjadi wajar. Sebaliknya perilaku baik dari masyarakat sekitar seperti
tertib, menjaga kebersihan, efektif efisien, dan friendly menjadi silau
dipandang. Terlebih setelah melihat akhlak sosial kaum muslimin di
tanah air yang agak rendah. Akhirnya muncul (secara pelan tapi pasti)
perasaan pemakluman terhadap semua itu.
Pemakluman seperti itu
yang akhirnya memakzulkan gaya hidup orisinil yang diajarkan Islam.
Homoseks dimaklumi, seks bebas dimaklumi, feminisme dimaklumi,
sebaliknya yang dianggap keras (qishosh) tidak dimaklumi, poligami
tidak dimaklumi, anggapan bahwa agama Islam satu2nya yang benar juga
tidak dimaklumi. Suburlah pemikiran liberal dan sekuler berkembang
Tentu ada banyak orang yang tetap jati diri keislamannya setelah pulang
studi dari luar negeri. Namun pada umumnya mereka mengambil studi
sains, ekonomi, atau sosiologi yang sifatnya memang kauniy. Bagi yang
menempuh studi keislaman atau mewacanakan keislaman dalam studinya,
nasibnya tidak terlalu baik. Ulil Abshar Abdala, Muhammad Arkoun,
Sumanto Al Qurtuby mungkin jadi contohnya.
Bagaimana menurut pembaca ? kalau ada wacana lain yang mengkritisi opini di
atas, atau mungkin yang memperbagusnya monggo dishare ya. Semuanya
dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar. Da'wah ilalloh :-)
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment