Apa Yang Bisa Kita Pelajari dari Peristiwa 1 Muharram?
1. Kita perlu berubah
2. Kita perlu bersatu
2. Kita perlu cerdas dan cerdik
3. Kita perlu lebih dekat lagi dengan kalender islam
Tiga belas tahun di Makkah,
bukanlah waktu yang singkat yang dijalani Rosululloh dan para sahabatnya dalam
berdakwah terlebih karena dakwah itu tidak sama atmosfernya seperti sekarang
ini. Jika sekarang di Indonesia, orang-orang sudah bisa dengan cukup leluasa
mengekspresikan keislamannya, maka tidak demikian halnya Rosululloh dan para
sahabat dahulu. Mereka harus menghadapi boikot, penolakan, cemoohan, fitnahan,
ancaman pembunuhan, hingga siksaan fisik saat mengekspresikan keimanannya.
Dahulu, kaum muslimin di Makkah adalah golongan minoritas. Minoritas dalam hal
kuantitas maupun sumberdayanya. Minoritas pula dalam hal kekuatannya. Itulah
sebabnya mengapa Rosululloh dan sahabatnya belum mampu berbuat banyak ketika
keluarga Yasir disiksa. Isteri Yasir, dan Yasir sendiri akhirnya menemui syahid
mempertahankan keislaman mereka. Namun kurun 13 tahun itulah periode pematangan
dakwah, hingga akhirnya suatu hari mereka (kaum muslimin) menjadi sebuah
kekuatan raksasa, tidak hanya untuk ukuran chiefdom
seperti Makkah, tapi juga raksasa untuk ukuran kingdom seperti Romawi dan Persia. Lalu apa yang menjadi titik
balik perubahan mereka? Benar sekali, peristiwa Hijrah!
Hijrah menandai awal dari fase
perubahan kaum muslimin ke arah yang lebih baik dan digdaya. Peristiwa ini,
jika dilihat dari perspektif teorinya Malcolm Gladwell, menjadi sebuah tipping
point lahirnya kekuatan kaum muslimin. Masyarakat muslim Makkah pindah menuju
Madinah, tempat yang dihuni muslimin lainnya untuk membentuk sebuah koloni baru
dengan atmosfer dan kondisi sosial yang lebih baik tentunya. Kepindahan itu
setidaknya menyiratkan satu hal, yakni sikap proaktif untuk keluar dari zona
status quo yang mengekang. Kaum muslimin pada saat itu tak boleh terus
tertindas, tak boleh terus terjajah. Patut diakui bahwa pada saat itu tak
sedikit kaum muslimin yang sebenarnya berada pada posisi aman karena punya
kedudukan sosial yang dihormati plus ekonomi yang mapan. Sebutlah misalnya Abu
Bakr, Saad bin Abi Waqash, dan Utsman bin Affan. Namun kondisi aman itu tak membuat
mereka stagnan dan mempertahankan status quo. Saat ada perintah hijrah, para
konglomerat itu tak segan-segan meninggalkan hartanya dan mengambil resiko
untuk memulai semuanya dari nol lagi. Alih-alih mementingkan diri sendiri, ada
sebuah solidaritas sosial yang menuntut untuk memperhatikan muslim lainnya yang
tak seberuntung mereka.
Dalam peristiwa hijrah, ada
fenomena luar biasa di mana dua masyarakat yang terpisah begitu jauh, muhajirin
dan anshor, yang punya perbedaan suku dan latar belakang serta kebiasaan, mampu
bersatu membentuk sebuah komunitas baru yang utuh hanya dalam waktu sekejap. Ya,
hanya sekejap. Saat itu dua orang yang bahkan tak saling mengenal mampu berbuat
layaknya orang yang sudah bersahabat puluhan tahun. Dalam hal itu, kisah Sa’ad
bin Rabi dan Abdurrahman bin Auf mungkin menjadi kisah yang cukup legendaris.
Ketika Abdurrahman bin Auf datang ke Madinah dan dipertemukan dengan Sa’ad,
Sa’ad pun berujar bahwa ia memiliki beberapa petak tanah dan rumah. Sa’ad
meminta Abdurrahman untuk memilih petak tanah dan rumah yang ia sukai karena
Sa’ad hedak memberikannya secara cuma-cuma. Bahkan Sa’ad yang memiliki dua
isteri pun berujar pada Abdurrahman yang lajang untuk memilih satu dari dua
isterinya itu agar ia bisa menceraikannya dan menikahkannya pada Abdurrahman.
Namun Abdurrahman ternyata bukan sosok pragmatis yang aji mumpung sebagaimana
para pejabat kita saat ini. Abdurrahman justru dengan lembut menolak penawaran
Sa’ad dan lebih memilih untuk ditunjukkan saja jalan ke pasar agar ia dapat
berniaga. Kisah ini mewakili fenomena unik dalam sebuat masyarakat yang mampu
koheren sebegitu kuat dalam waktu cepat. Tak ada hal lain yang mendasari
koherensi secepat dan sekuat itu selain kesamaan iman mereka, Islam
Tidak heran kemudian jika
persaudaraan yang sudah begitu erat sejak awal mampu menjadi tumpuan kekuatan
dalam sektor ekonomi, politik, hingga hankam. Salah satu puncak dari kekuatan
itu ditunjukkan oleh kemenangan kaum muslimin pada perang Badr kubra serta
penaklukkan Makkah, negeri yang dahulu menindas mereka. Maka benar kiranya
pernyataan almarhum KH Zainudin MZ bahwa jika kita menghendaki kemenangan, maka
perlu kekuatan. Jika kita menghendaki kekuatan, maka perlu persatuan. Itu
artinya jika kaum muslimin hendak mengembalikan kejayaannya, maka persatuan
menjadi sesuatu yang mutlak ada. Selama kaum muslimin masih terganggu oleh
perpecahan sektarian, mazhab, harokah dan tak mampu bersinergi satu sama lain,
maka selama itu pula lah kaum muslimin akan lemah dan kalah.
Kesuksesan maupun efek peristiwa
hijrah bukanlah hasil dari aktivitas yang dilakukan secara acak melainkan
dilakukan dengan penuh strategi dan kecerdikan. Itu ditandai sejak awal
perjalanan ketika Mus’ab bin Umair beserta beberapa orang sahabat yang cerdas
diperintahkan Rosululloh untuk datang ke Madinah. Mereka datang beberapa bulan
sebelum hijrah akbar dilaksanakan untuk berdakwah di sana, menyebarkan kabar
gembira, dan membuat kondisi sekondusif mungkin untuk tempat bernaung kaum
muslimin. Kecerdikan berikutnya diperlihatkan ketika Ali bin Abi Thalib
menggantikan posisi Rosululloh di tempat tidur. Saat kabar tentang hijrah kaum
muslimin didengar oleh kaum musyrikin Makkah, mereka pun bergegas mengepung
kediaman Rosululloh untuk mencegah beliau keluar dari Makkah. Mereka mengawasi
dan memastikan bahwa beliau masih di dalam rumahnya. Beberapa lama ketika tak
melihat Rosululloh keluar, mereka pun masuk ke dalam rumah dan ternyata
mendapati Ali yang tengah ada di sana, bukan Rosululloh. Rosululloh ternyata
sudah pergi sebelumnya bersama Abu Bakr. Tak sampai di situ, kecerdikan
berikutnya pun terlihat dari siasat Rosululloh yang menggunakan rute memutar
untuk sampai ke Madinah. Madinah ada di utara Makkah, namun Rosululloh menempuh
jalan lewat selatan Makkah dan baru memutar ke utara setelah melalui Gua Tsur.
Ini bentuk pengelabuan yang cerdas terhadap orang-orang musyrik Makkah yang
tergesa-gesa mengejar beliau. Tiga kecerdikan di atas setidaknya mampu mewakili
pesan yang tersirat bahwa kaum muslimin sebenarnya dituntut untuk cerdas mengelola
situasi dan punya perencanaan yang matang. Kaum muslimin tidak layak menjadi
kaum yang bodoh dan mengabaikan kecerdasan. Semakin cerdik kaum muslimin
mengelola situasi, semakin baik pula hasil yang ditemui.
Peristiwa 1 Muharram 1433 tahun
yang lalu juga mengingatkan kita bahwa hijrah menjadi pembuka identitas kaum
muslimin terkait waktu dan penanggalan. Peristiwa hijrah menandai awal tahun
qomariyah yang sekarang juga dikenal dengan tahun hijriyah. Sebelumnya, tidak
ada kalender khusus bagi kaum muslimin. Namun seiring berjalannya waktu kaum
muslimin pada saat itu menganggap penting adanya sebuah sistem penanggalan yang
independen. Independen dalam arti mampu digunakan kaum muslimin, tidak hanya
sebagai acuan waktu ibadah, puasa, haji, dan sebagainya namun juga sebagai
sebuah identitas yang menunjukkan bahwa kaum muslimin adalah sebuah masyarakat
besar.
Yang terjadi saat ini adalah
masyarakat muslim masih cenderung abai terhadap identitas waktu tersebut. Meski
tidak ada salahnya menggunakan sistem penanggalan Masehi, penggunaan sistem
penanggalan hijriyah sudah patut desemarakkan dan akan lebih baik lagi jika
dipakai secara luas. Hal ini dalam rangka memperkuat identitas kaum muslimin
disamping penanggalan tersebut juga terkait dengan waktu ibadah yang
terinternalisasi dalam ajaran Islam. Analoginya, sistem penanggalan hijriyah
ibarat bahasa Arab dalam Islam. Bahasa Arab lah yang digunakan untuk memahami
sumber otentik islam dan dan sistem penanggalan hijriyah lah yang digunakan
untuk mengaktualisasikan konsep waktu dalam Islam. Maka momen 1 Muharram
menjadi momen yang cukup baik untuk memaknai dan menggembirakan kembali
penggunaan penanggalan Islam.
Comments
Post a Comment