Kedamaian di Waktu Isya
Isya waktu itu
mungkin jadi salah satu Isya paling spesial dalam hidupku. Di salah satu sudut
masjid, selepas sholat berjamaah, sengaja aku sempatkan untuk duduk merenung.
Sambil memandangi jalan raya, kendaraan lalu lalang, orang-orang bercengkrama,
saling melempar senyum dan canda mereka, juga wajah para jamaah yang akrab di
mata, kurasakan benar sesuatu di hati. Sesuatu yang mungkin orang sebut
kedamaian. Ada perasaan bahagia yang menyeruak begitu saja. Ya, mungkin ini
perasaan yang kucari-cari selama ini. Inilah perasaan yang kutemukan di sebuah
kota kecil, kampung tempatku dibesarkan.
Sama sekali tak ada
nuansa mewah di sana. Begitu pula gaya hidup orang ibukota seperti Jakarta,
tentu tak ada. Orientasi warganya yang kutahu juga tak muluk-muluk. Yang
penting punya kerja, bisa cukup makan, anak lancar sekolah, dan keluarga sehat.
Selesai. Sesekali di akhir pekan mereka rekreasi di kota, mungkin makan bakso
bersama keluarga, duduk di pinggir air mancur kota, atau sekedar berkeliling
kota naik sepeda motor. Sederhana bukan? Setidaknya itulah yang kulihat.
Anak-anak pergi ke
sekolah, dan gaya mereka tidak begitu norak. Sebagian ada juga yang bergaya,
tapi biasa-biasa saja. Ibu-ibu pada ikut arisan, kadangkala bersama suaminya
datang ke pengajian. Subhanalloh, sungguh tenang dan tenteram rasanya. Jikapun
ada riak-riak kecil, kukira hal yang wajar sebagai dinamika hidup. Aku pun
berpikir, jika dalam kondisi seperti ini sudah terasa bahagia, lalu untuk apa
bersusah payah mencari di luar itu? Bukankah orang-orang yang akhirnya
terpenjara oleh kesibukannya sesungguhnya tengah mencari bahagianya? Bukankah
orang yang akhirnya mencuri, menelikung, sikut kanan-kiri, jilat atas injak
bawah, caci sana ejek sini, dan lain sebagainya itu berawal dari hasrat untuk
mencari bahagia?
Aku pun lagi-lagi
berpikir, andai aku jadi orang kaya yang punya harta untuk membeli kondominium,
punya akses gampang jalan-jalan ke luar negeri, gaji sebulan yang cukup buat
naik haji, jajan di J.Co atau Breadtalk, kongko-kongko di Solaria, keluar masuk
Plaza Indonesia, apakah ada jaminan perasaan damai itu datang? Kukira
satu-satunya alasan damai itu datang memenuhi undangan sang harta adalah ketika
harta itu digunakan untuk memberi manfaat buat ummat.
Akupun teringat
paparan seorang rekan tentang bagaimana hidup orang-orang kaya, yang sungguh
andai cost yang mereka habiskan disalurkan secara tepat, entah berapa ribu
orang kelaparan yang akan jadi kenyang, atau entah berapa rumah yang bisa
dibangun untuk keluarga tak berpunya, entah berapa anak yang pendidikannya
tidak jadi terlantar, dan entah berapa banyak orang yang tertolong
kesehatannya.
Tapi kawan, aku pun
sadar. Andai aku terus berpuas diri dengan ‘kebahagiaan’ku sendiri, tentu tak
akan besar nilai diriku di hadapan Alloh. Aku sadar sepenuhnya bahwa di luar
sana ada banyak orang yang masih belum menemukan kebahagiaannya, kedamaiannya.
Ada banyak orang yang masih terseok, tersesat jalan, dan tak tepat orientasi
dalam hidupnya.
Kawan, jika aku
boleh memberi saran padamu, kukatakan bahwa engkau akan melihat damai ada di
wajah-wajah yang gigih berusaha setiap hari namun tak lupa untuk selalu
tersenyum. Damai itu ada di tubuh-tubuh yang lelah bekerja siang hari tapi tak
pernah lupa berbagi. Damai itu ada di cita-cita besar yang terus dipelihara
tapi tak pernah menuntut banyak pada
takdir yang akan menimpanya. Karena mereka tawakkal. Kawan, damai itu
ada di hati yang bersyukur dan selalu ikhlas dalam hidup.
Lalu pertanyaannya,
bersediakan engkau menjadi pelukis kedamaian di halaman bangsamu?
Comments
Post a Comment