Belajar dari Penyemaian Pepaya
Ilustrasi |
Suatu ketika saya menanam beberapa
biji buah pepaya di loteng rumah. Dengan tanah dari halaman belakang dan wadah
dari bekas kemasan mie instan, jadilah pot-pot mini tempat persemaian biji
pepaya tadi. Sambil berharap biji-biji itu tumbuh subur, saya pun berharap
suatu saat nanti saya bisa meniru jejak beberapa petani sukses yang berhasil
mengembangkan potensi pertanian di daerahnya, maklumlah sebagai alumni IPB saya
merasa memiliki tanggung jawab untuk itu.
Hari demi hari saya lalui, dan menanti berkecambahnya si biji. Tapi tiga-empat hari berselang, biji tersebut belum tumbuh juga. Bahkan sampai 7 hari kemudian, tak ada tanda-tanda perubahan. Saya pun sempat curiga. Is there something wrong? Apakah ada faktor kritis penyemaian biji yang luput saya perhatikan? Padahal biji-biji itu diklaim sebagai biji pepaya unggul dan punya sertifikat dari PKBT IPB. Memang, ada perbedaan antara panduan penyemaian di brosur yang saya baca dengan yang riil saya lakukan. Tapi perbedaan itu hanya pada urusan teknis dan saya kira bukan hal yang terlalu kritis. Hanya masalah komposisi media tanam dan lama waktu imbibisi. Di panduan, tertulis komposisi media tanamnya adalah tanah, kompos, dan pasir sedangkan yang saya gunakan hanya tanah. Di sisi lain, sebelum biji ditanam dibutuhkan perendaman selama 1 malam untuk imbibisi, sementara itu yang saya lakukan hanya merendamnya selama beberapa menit. Saya sempat berpikir barangkali waktu imbibisi dan adanya kompos merupakan faktor kritis yang saya abaikan yang membuat biji pepaya yang saya tanam tak kunjung tumbuh.
Akhirnya media tanam tersebut saya
bongkar kembali dengan maksud agar bisa dilakukan penanaman ulang. Karena belum
kunjung memeperoleh sumber kompos, saya hanya memperbaiki waktu imbibisi. Saya
pun merendam biji pepaya yang baru selama 1 malam kemudian menanamnya keesokan
harinya. Beberapa waktu kemudian saya dikejutkan oleh munculnya beberapa tunas
dari media tanam. Ternyata itu adalah tunas-tunas biji pepaya yang saya tanam
sebelumnya.
Satu hal yang saya lewatkan ternyata adalah
waktu pecahnya biji menjadi kecambah. Awalnya mindset saya berpikir biji pepaya
tak ubahnya seperti biji kacang hijau yang sudah mampu berkecambah hanya dalam
waktu 1-2 hari saja. Ternyata biji pepaya baru meletek atau pecah setelah 2 minggu ditanam. Subhanalloh...Jadi
selama ini saya hanya perlu bersabar menunggu hingga tunas itu muncul. Kompos
dan waktu imbibisi memang punya peran positif tapi terbukti bukan faktor
kritis.
Dari pengalaman itu setidaknya ada
beberapa hal yang bisa diambil hikmahnya. Pertama, urgensi sabar dalam
menjalani proses. Kedua, urgensi ilmu dalam menjalani proses. Dan ketiga adalah
fleksibilitas menyikapi keadaan.
Pertama, setiap orang, termasuk saya,
tentu punya cita-cita. Cita-cita saya salah satunya adalah menjadi agribisnisman yang kaya, bahagia,
bermanfaat, dan berpengaruh di level dunia. Dimulai dari pepaya ini. Saya ingin
suatu saat nanti pepaya-pepaya itu tumbuh besar dan berbuah lebat, lalu laku di
pasaran sehingga ada pemasukan halal. Untuk itu tentu butuh proses yang
tidak sebentar. Pengalaman di atas
mengingatkan kembali bahwa kesuksesan itu tidak instan. Butuh kendaraan sabar
dalam perjalanannya. Tapi justru ketidakinstanan itulah yang akhirnya nanti
menjadi pemantik hadirnya kebahagiaan. Ujung dari kesabaran adalah buah yang
rasanya sangat manis dan segar. Untung saja pembongkaran yang saya lakukan
terhadap media tanam tidak total sehingga ada sisa-sisa biji yang masih bisa
tumbuh. Andai pada saat itu saya membongkar total media tanamnya dan
menggantinya dengan media yang baru, saya mungkin tidak akan sadar bahwa
tumbuhnya biji menjadi tunas hanya masalah waktu. Saya barangkali akan terus
berpikir bahwa yang menyebabkannya tidak tumbuh adalah hal yang lain lagi, dan
terus-menerus mencarinya tanpa pernah menemukan alasan ‘tidak tumbuhnya’ biji
pepaya. Ya, kadang dalam hidup kita hanya perlu bersabar menanti.
Kedua, menjalani proses butuh ilmu.
Semakin mantap ilmu yang dimiliki semakin jauh rasa was-was dalam menyikapi
keadaan. Pengalaman saya menanam biji pepaya di atas sedikit menunjukkan bahwa
ketidaktahuan tentang estimasi waktu perkecambahan bisa berakibat fatal. Andai
saya tahu sebelumnya bahwa waktu perkecambahan biji pepaya adalah 2 minggu,
saya tentu tidak akan buru-buru membongkar media tanam. Dalam konteks hidup
yang lebih luas, ilmu menjadi hal yang mutlak perlu. Mengharapkan diri kita
sukses di masa depan tanpa ilmu ibarat menegakkan benang basah. Semua harus ada
ilmunya.
Ketiga, pengalaman di atas membuat
saya punya pengetahuan lebih tentang faktor kritis penyemaian biji pepaya.
Kompos, polybag, dan waktu imbibisi ternyata bukan faktor kritis penyemaian.
Mengetahui faktor kritis membuat kita lebih fleksibel dalam menyikapi keadaan.
Tak ada rotan, akar pun jadi, begitulah pepatah orang-orang dulu. Hal itu membuat
kita tak perlu menunggu segalanya sempurna atau segalanya ada untuk memulai
sesuatu. Kita bisa mencari cara alternatif di luar faktor kritis itu. Tak
jarang, orang ingin segalanya sempurna. Segalanya harus ada saat akan memulai
sesuatu. Sebelum segalanya lengkap ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya
ia tak mulai-mulai dan kehilangan banyak waktu. Semoga kita tidak termasuk
orang seperti itu.
Kesabaran dan ilmu menjalani proses,
serta fleksibilitas menyikapi keadaan harus ada dalam petualangan mencari harta
karun bernama sukses. Tentu disamping faktor-faktor lainnya. Semakin sabar
seseorang, semakin mumpuni ilmu seseorang, dan semakin fleksibel seseorang
semakin ajeg lah ia dalam jalur menuju kesuksesannya.
Wallohua’alm
Comments
Post a Comment