Rakyat Awam berbicara Hukum

Beberapa waktu yang lalu terkuak sebuah kasus yang mengindikasikan nyatanya mafia peradilan. Sebuah mekanisme yang disinyalir ada sejak lama, bahkan menjadi rahasia umum, mau tak mau memperlihatkan wajahnya. Hakim sebagai sosok yang (diharapkan) bijaksana, tertangkap tangan menerima suap dari seorang jaksa. Bisa dianggap mereka yang ketahuan saat itu adalah mereka yang sedang apes. Ibarat gunung es, mungkin ada banyak hal serupa yang belum muncul ke permukaan.

Inilah potret gelap lembaga penegak keadilan di Indonesia. Keadilan menyusut seperti minyak bumi, semakin sulit dicari , dan "harga"nya pun kian membumbung tinggi. Keadilan versi masyarakat dan versi 'mereka' tidak lagi punya kesamaan definisi. Tidak heran kemudian masyarakat apatis dengan hal yang satu ini. Suatu ketika saat pihak yang berwajib hendak mengurus suatu perkara yang membutuhkan kesaksian masyarakat di pengadilan, tidak jarang masyarakat lebih memilih menghindar. Begitupula saat masyarakat terzalimi oleh tingkah oknum tertentu, mereka menempatkan penyelesaian perkara di pengadilan pada urutan paling bawah. Hal ini cukup beralasan karena jika salah langkah, masyarakat yang pada awalnya bertindak sebagai penuntut pada akhirnya bisa menjadi terdakwa yang mendapat vonis dari hakim.

Berbicara ranah institusi milik pemerintah berarti berbicara mengenai sistem. Mau tidak mau kita harus tunduk pada suatu kaidah bahwa perubahan sebuah sistem tidak bisa disetel dari luar. Harus ada kuorum internal yang memperbaiki diri dari dalam. Bila pun ada sesuatu dari luar, yang bisa dilakukannya sekedar menjadi penyokong. Mirip seperti mekanisme tubuh manusia yang memproduksi antibodi melawan infeksi. Konkretnya, harus ada sekumpulan orang tangguh dengan visi keadilan sebenar-benarnya yang merangsek masuk melakukan pembenahan dalam suatu gerak yang bersinergi dan terkoordinasi.

Kita sudah tidak bisa berharap banyak pada pembentukan wacana di kalangan para punggawa sebab wacana hanya akan menjadi klise sebagaimana sejarah memaparkannya pada kita. Tak ada yang memungkiri bahwa judi, korupsi, zina, dan suap itu terlarang. Tapi sekedar mengetahui ternyata belum cukup dan tak akan pernah cukup. Selama ini ada indikasi ketidakberdayaan pada situasi yang sudah berakar turun temurun. Saat praktek-praktek ilegal tersebut sudah terbiasa terdengar, ada semacam pembenaran kolektif sekaligus dalih psikologis untuk membenarkannya. "Kebenaran adalah suara umum", begitu kira-kira. Dampaknya, tidak ada lagi sanksi sosial maupun moral dalam lingkungan tersebut yang berperan sebagai penjaga.

Belum pernah ada sanggahan terhadap pernyataan Stephen R. Covey yang mengutarakan bahwa perubahan perilaku berasal dari perubahan paradigma. Dengan kata lain, merubah perilaku para koruptor atau calon koruptor akan sejalan dengan merubah paradigma mereka. Di sini ada dua hal yang perlu ditekankan. Pertama, ketimbang menghabiskan waktu merubah paradigma tua, akan lebih efisien untuk fokus mengubah paradigma generasi muda yang notabene menjadi akan generasi pengganti. Kedua, perangkat terbaik untuk mengubah paradigma adalah dengan agama. Agama yang dimaksud tentu bukan sekedar penyampaian sisi normatif, tapi lebih kepada penyadaran spiritual dan pembinaan berkelanjutan.

Sudah terlalu banyak keluhan yang disampaikan tentang bobroknya kondisi negeri ini. Sangat mungkin akan muncul lagi peristiwa-peristiwa lain yang mengundang keluhan senada. Tapi mengeluh tidak pernah dilarang selama disertai tindak lanjut yang riil dan konkret untuk membenahinya. Berbicara mengenai tindak lanjut artinya menuntut peran seluruh elemen bangsa ini, dimulai dengan melakukan hal-hal sederhana. Perlu contoh? Membuang sampah pada tempatnya dan sholat tepat pada waktunya.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?