My Name is Khan : Sebuah Tanggapan
Bisa dihitung dengan jari tayangan televisi berbentuk film yang memaparkan tentang kehidupan kaum muslimin pasca tragedi 9 11. Lebih mencengangkan lagi ketika hal tersebut muncul dari sebuah film India, yang sudah 'kadung' memiliki stereotype cenderung menampilkan sisi-sisi hedonis manusia. Secara tersirat sebuah genre baru pun muncul di perfilman Bollywood dengan hadirnya film My Name is Khan yang dibintangi Shahrukh Khan dan Kajol.
Secara sederhana film ini mengisahkan kehidupan seorang pemuda muslim India yang mengidap Asperger's Syndrom (Autis). Meskipun kondisinya membuat ia berbeda dengan kebanyakan orang lain, keistimewaannya tidak lekang. Keistimewaan itu yang membuat ia sempat merasakan hidup bahagia dengan istrinya yang beragama Hindu di Amerika. Kebahagiaan itu pun perlahan mulai menjauh dari dia sejak tragedi WTC. Kondisi dirinya sebagai seorang muslim membuat lingkungan sekitarnya menaruh antipati tidak hanya terhadap dirinya, tetapi juga keluarganya. Hinggap pada klimaksnya, anak tirinya meninggal dunia karena alasan rasisme dan istrinya memintanya untuk meninggalkannya.
Fragmen hidupnya selanjutnya mengisahkan tentang perjuangannya mencari nama baik, atau lebih tepatnya membuktikan bahwa ia dan kaum muslimin lainnya masih memiliki nama baik. "My name is Khan, and I'm not a terrorist" menjadi kalimat pamungkas yang selalu diulang dalam cerita.
Ditinjau dari perspektif tertentu, film ini mampu membawa angin segar terhadap tayangan bollywood. Selama ini film-film india cenderung menampilkan hal-hal yang hedonistik namun miskin nilai-nilai humansitik itu sendiri. Film ini di sisi lain membawa isu yang cukup sensitif namun relevan dengan kondisi kontemporer, yakni diskriminasi atas nama agama. Perbedaan juga terlihat dalam penggunaan nyanyian latar dalam salah satu fragmen cerita. Tidak adanya tarian membuat film terlihat lebih realistik. Konsistensi tokoh utama dalam menjalankan ajaran agama di mana pun ia berada juga menjadi nilai tambah. Secara langsung maupun tidak, ia mampu melakukan kegiatan dakwah secara halus tanpa sikap menggurui. Begitu pula halnya dengan kejujuran yang ditunjukkan oleh tokoh utama. Namun demikian, tayangan ini bukanlah tanpa cacat.
Ditinjau dari perspektif syariat, ada kontroversi fatal yang memperoleh pembenaran dari film, yakni menikah beda agama. Menikah beda agama (oleh sebagian ulama) hanya diperbolehkan bagi pria muslim terhadap wanita ahli kitab. Sedangkan Hindu bukanlah ahli kitab. Selain itu, adanya ambiguitas terhadap pernyataan bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis orang yakni orang baik yang melakukan tindakan baik serta orang jahat yang melakukan tindakan buruk. Secara pintas, semacam tersirat adanya penafian terhadap eksistensi status keimanan seseorang.
Dengan demikian, simpulan dari tayangan ini: My Name is Khan merupakan film yang sangat bagus untuk ditonton namun tetap harus menggunakan nalar kritis saat menyaksikannya. InsyaAlloh maslahat yang bisa didapat dapat lebih banyak ketimbang mudharatnya.
Secara sederhana film ini mengisahkan kehidupan seorang pemuda muslim India yang mengidap Asperger's Syndrom (Autis). Meskipun kondisinya membuat ia berbeda dengan kebanyakan orang lain, keistimewaannya tidak lekang. Keistimewaan itu yang membuat ia sempat merasakan hidup bahagia dengan istrinya yang beragama Hindu di Amerika. Kebahagiaan itu pun perlahan mulai menjauh dari dia sejak tragedi WTC. Kondisi dirinya sebagai seorang muslim membuat lingkungan sekitarnya menaruh antipati tidak hanya terhadap dirinya, tetapi juga keluarganya. Hinggap pada klimaksnya, anak tirinya meninggal dunia karena alasan rasisme dan istrinya memintanya untuk meninggalkannya.
Fragmen hidupnya selanjutnya mengisahkan tentang perjuangannya mencari nama baik, atau lebih tepatnya membuktikan bahwa ia dan kaum muslimin lainnya masih memiliki nama baik. "My name is Khan, and I'm not a terrorist" menjadi kalimat pamungkas yang selalu diulang dalam cerita.
Ditinjau dari perspektif tertentu, film ini mampu membawa angin segar terhadap tayangan bollywood. Selama ini film-film india cenderung menampilkan hal-hal yang hedonistik namun miskin nilai-nilai humansitik itu sendiri. Film ini di sisi lain membawa isu yang cukup sensitif namun relevan dengan kondisi kontemporer, yakni diskriminasi atas nama agama. Perbedaan juga terlihat dalam penggunaan nyanyian latar dalam salah satu fragmen cerita. Tidak adanya tarian membuat film terlihat lebih realistik. Konsistensi tokoh utama dalam menjalankan ajaran agama di mana pun ia berada juga menjadi nilai tambah. Secara langsung maupun tidak, ia mampu melakukan kegiatan dakwah secara halus tanpa sikap menggurui. Begitu pula halnya dengan kejujuran yang ditunjukkan oleh tokoh utama. Namun demikian, tayangan ini bukanlah tanpa cacat.
Ditinjau dari perspektif syariat, ada kontroversi fatal yang memperoleh pembenaran dari film, yakni menikah beda agama. Menikah beda agama (oleh sebagian ulama) hanya diperbolehkan bagi pria muslim terhadap wanita ahli kitab. Sedangkan Hindu bukanlah ahli kitab. Selain itu, adanya ambiguitas terhadap pernyataan bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis orang yakni orang baik yang melakukan tindakan baik serta orang jahat yang melakukan tindakan buruk. Secara pintas, semacam tersirat adanya penafian terhadap eksistensi status keimanan seseorang.
Dengan demikian, simpulan dari tayangan ini: My Name is Khan merupakan film yang sangat bagus untuk ditonton namun tetap harus menggunakan nalar kritis saat menyaksikannya. InsyaAlloh maslahat yang bisa didapat dapat lebih banyak ketimbang mudharatnya.
Comments
Post a Comment