Adaptasi Realita

Saat memilih untuk mendaftarkan diri menjadi seorang surveyor, ada proyeksi yang diharapkan terjadi di masa depan. Konsekuensi berupa uang imbalan cukup menggiurkan, ditambah lagi pengalaman interaksi sosial langsung yang didapatkan. Target responden yang dirasa memadai dengan kemampuan saat itu, membuat tidak ada surutnya niat untuk bergabung bersama para surveyor lainnya. Dan sejak saat itu, dimulailah masa-masa pembelajaran. Langsung, fresh from the oven. Begitulah kira-kira.

Realisasi yang terjadi di lapangan, bisa iya, bisa tidak, membuat perlu adanya penyesuaian rencana di sana-sini. Terkadang ada kenyataan yang baru bisa terpikirkan ketika itu sudah terjadi. Di satu waktu, kenyataan seperti itu terlambat disadari tapi di banyak waktu lainnya kenyataan seperti itu membuat otak memikirkan langkah antisipasi. Ada saat di mana target responden, mekanisme pengisian kuisioner, hingga kondisi kultural masyarakat menjadi penghambat untuk tercapainya rencana. Di sisi lain, ada opportunity cost yang menganga. Konsekuensi logis memilih ikut serta dalam kegiatan survey adalah kehabisan banyak waktu. Sementara teman-teman sekufu menyiapkan diri dengan penelitian akhirnya di kampus, ikut lomba dan seminar ini-itu, ia berlelah-lelah mencari alamat responden dan wawancara satu demi satu. Satu kata yang mungkin bisa mewakili kondisi sang surveyor, belajar.

Sungguh tidak mudah menjadi bijaksana. Bijaksana merupakan suatu kondisi yang berkorelasi langsung dengan ilmu yang dimiliki. Dengan kata lain, semakin tinggi kapasitas ilmu seseorang, semakin besar peluang seseorang tersebut untuk menjadi bijaksana. Implikasinya, jika ingin menjadi bijaksana, keruklah ilmu sebanyak-banyaknya. Namun persoalan sesungguhnya tidak sesederhana itu. Ilmu setidaknya punya dua dimensi. Satu dimensi terkait dengan explicit knowledge dan dimensi kedua terkait dengan tacit knowledge. Ada ilmu yang bisa dipelajari dengan membaca dan ada ilmu yang baru bisa dipelajari dengan merasakan. Menjadi bijaksana adalah persoalan melakukan kolaborasi efektif atas dua dimensi ini.

Jika bijaksana didefinisikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi baik dengan realita, maka menghadapi posisi seperti surveyor di atas menjadi satu cara yang efektif melatih diri untuk menjadi lebih bijaksana. Posisi seperti itu membuat kita berhadapan dengan berbagai macam pilihan. Ibarat soal piligan berganda, satu macam persoalan dapat memiliki ribuan opsi jawaban. Sementara jawaban terbaik baru bisa dilakukan oleh mereka yang bijaksana, proses pemilihan jawaban tersebut juga sarana latihan untuk menjadi bijaksana. Kesimpulannya, siklus menjadi bijaksana mirip sebuah spiral yang menuju ke atas. 

Tidak ada fragmen apapun dalam hidup yang lepas dari elemen hikmah. Ia seperti atom karbon yang ada pada setiap material organik. Tinggal menemukannya. Salah satu hikmah terbesar adalah bahwasanya bagaimana kita memilih, berujung pada takdir yang Alloh sediakan untuk kita.

Wallohua'lam bishowab

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?