Lebih dari Sekedar Tujuan [Resensi]



Judul: Measure What Matters
Penulis: John Doerr
Penerbit: Penguin Random House (2018)
Tebal: 306 hal

Saya tertarik dengan buku ini awalnya karena seorang teman yang kerja di salah satu Unicorn pernah bilang apabila ini merupakan salah satu buku bacaan wajib di sana. Kebetulan beliau posisinya di bagian HR yang sering menangani urusan kinerja SDM. Barangkali ada memang ada insight yang cukup penting dari buku ini, pikir saya. Ditambah lagi saat itu adalah masa-masa organisasi tempat saya bekerja sedang menyusun dokumen perencanaan jangka menengahnya. Ya sudah, saya pilih buku ini dengan harapan semoga isinya memang relevan.
 
Buku ini ditulis oleh John Doerr dan diterbitkan oleh Penguin Random House tahun 2018. Tebalnya sendiri ada sekitar 306 halaman.

[ Sekilas tentang Penulis ]

Sebagai pendahuluan, John Doerr ini adalah seorang insinyur kelistrikan yang pernah bekerja di Intel, perusahaan pembuat microchip yang produknya sudah kita kenal berbagai merek komputer. Di Intel ini John Doerr dapet mentor namanya Andy Groove. Jadi Mr Andy Groove ini adalah salah satu manajer top yang bisa dibilang punya nama besar di masanya. Di bawah mentor beliau ini John Doerr banyak belajar tentang konsep yang disebut OKR, singkatan dari Objective and Key Result. Menurutnya OKR inilah yang menjadi salah satu alasan yang menunjang kesuksesan Intel saat itu.

Beberapa tahun di Intel, John Doerr kemudian pindah ke perusahaan lain yaitu Kleiner Perkins, sebuah perusahaan venture capital. Di sini, John Doerr sering berinteraksi dengan banyak start up yang di kemudian hari terbukti menjadi perusahaan sukses, seperti Symantec, Amazon, dan Google. Menurutnya, seperti halnya Intel, start up-start up ini juga memiliki konsep OKR sebagai salah satu alasan kesuksesan mereka.

[ Ini Buku tentang Apa? ]

Jadi pada intinya buku ini bercerita tentang konsep OKR tadi, yang menurut penulis sangat diperlukan oleh organisasi manapun, untuk bisa sukses. Di buku ini penulis banyak memberikan studi-studi kasus penerapan OKR di berbagai perusahaan. Mulai dari Intel sendiri (produsen mikroprosesor), Intuit (software keuangan), Nuna (healthcare support system), Zume (pizza delivery berbasis IT), Gates Foundation (yayasan amal), sampai Google.

Konsep OKR sebenarnya sederhana. Prinsipnya, suatu organisasi itu harus bisa mendefinisikan apa yang menjadi tujuan mereka dengan jelas. Kemudian, menyusun seperangkat indikator untuk mengevaluasi sudah sedekat apa mereka dengan tujuan tadi. Apakah sudah tercapai, atau belum. Nah, tujuan ini disebut objective, sedangkan indikatornya disebuat key result. Kira-kira seperti itu.
Jadi apabila OKR ini diterapkan dengan benar, dia akan memberikan banyak sekali manfaat. Pertama, dia akan menjadi panduan bagi seluruh elemen di organisasi untuk menilai apa sesungguhnya yang menjadi prioritas, sehingga sumber daya yang ada bisa dialokasikan dengan sebaik-baiknya. Kedua, OKR ini bisa menjadi sarana untuk meningkatkan teamwork dan akuntabilitas organisasi. Ketiga, OKR ini juga bisa mendongkrak moral kerja, karena nature-nya setiap orang akan menjadi lebih bergairah saat ia sadar tengah melakukan hal yang meaningful. Jadi, apabila apabila manfaat itu belum dirasakan oleh organisasi, maka artinya ada yang salah dalam aplikasi OKR.

[ Hal yang “not so good” dari buku? ]

Sebelum beranjak lebih jauh, di sini saya mau coba sampaikan dulu hal-hal yang saya anggap merupakan kekurangan dari buku.
 
Pertama, buku ini harusnya bisa dibuat lebih ringkas. Itu karena OKR ini menurut saya bukanlah konsep yang baru. Sebagian pembaca barangkali ada yang sebenernya sudah menerapkannya meski dengan istilah yang berbeda. Sayangnya sebagian besar penjelasan dalam buku ini itu menurut saya sekedar mengcover hal-hal yang sebenarnya sudah jamak diketahui.
 
Kedua, contoh-contoh kasus yang diceritakan sebagiannya memang menarik, tapi sebagian yang lain terkesan mubazir dan kurang penting karena terlalu general dan sifatnya hanya kasus-kasus yang di permukaan. Sejujurnya saya berekspektasi mendapat semacam elaborasi yang mendalam dari penulis, di setiap contoh kasus yang ia sajikan, tapi itu tidak saya peroleh.

Ketiga, dari judulnya Measure What Matters (mengukur apa yang penting), saya juga punya ekspektasi buku ini bisa menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara agar kita bisa tahu mana hal-hal yang penting dan mana yang tidak penting untuk diukur. Apakah ada kriteria khusus, atau mungkin pendekatan tertentu? Tapi lagi-lagi jawaban itu tidak saya peroleh.
 
Keempat, tidak ada konsep yang terstandar soal bagaimana OKR ini diterapkan. Di contoh-contoh kasus yang diceritakan, pembaca itu akan melihat bahwa konsep OKR ini diimplementasikan berbeda-berbeda caranya antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Walhasil pembacalah yang akhirnya harus menerjemahkan atau “memasak” sendiri konsepnya supaya bisa relevan dengan kondisinya.

[ Apa Pelajaran yang Diperoleh dari Buku? ]

Walaupun punya beberapa kekurangan, tentu saja itu semua tidak menegasikan manfaat dan wawasan yang bisa diperoleh pembaca dari buku ini. Di sini saya coba ringkas itu semua menjadi suatu panduan berupa beberapa hal yang perlu dihindari dalam penyusunan OKR, antara lain:

1.
OKR tidak dibuat transparan sehingga ia tidak bisa diakses secara bebas di organisasi. Padahal transparansi inilah yang mendorong munculnya kerjasama, karena semua orang jadi saling tahu apa yang menjadi tujuan masing-masing dan dianggap penting oleh satu sama lain. Oleh karena itu penting untuk membut OKR ini transparan , sehingga tidak hanya atasan yang bisa tahu OKR milik bawahan tapi juga sebaliknya, bahkan antar peers sekalipun sebaiknya saling mengetahui.

2.
Objektif dibuat terlalu banyak sehingga tidak mencerminkan prioritas organisasi. Masalahnya objektif yang terlalu banyak itu bisa mengurangi fokus dan menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya, sehingga pada akhirnya kinerja organisasi menjadi medioker. Oleh karena itu OKR harus dibuat mencerminkan apa yang dianggap prioritas bagi organisasi, dan satu tanda sesuatu dianggap itu prioritas adalah jumlahnya tidak terlalu banyak.

3.
Objective terlalu bisnis as usual. Banyak organisasi yang lebih suka main aman. Padahal supaya kinerja bisa excellent, organisasi itu butuh objective yang agresif dan berani. Artinya dia dibuat setinggi mungkin tapi dengan catatan tetap masuk akal untuk dicapai. Para manajer ataupun pimpinan organisasi yang mampu menyusun target tinggi sekaligus meyakinkan timnya bahwa itu bukanlah hal yang mustahil dicapai, akan lebih berpeluang sukses.

4.
Ada dua jenis Objective: commited dan aspirasional. Kadang organisasi itu masih suka kebolak-balik memahami keduanya. Commited di sini artinya objective tersebut harus 100% tercapai, sedangkan aspirasional boleh tercapai kurang dari itu. Apabila objective yang aspirasional dianggap commited, ini bisa membuat tim salah prioritas. Sebaliknya apabila objective yang commited dianggap aspirational, ini bisa membuat tim kurang serius dan bermalas-malasan. Oleh karena itu semua pihak dalam organisasi harus aware mana objective yang commited dan mana yang aspirational supaya bisa meresponnya secara proper.

5.
Key result yang dibuat tidak meng-cover objective secara keseluruhan. Di beberapaa kasus, organisasi itu kadang hanya menetapkan key result yang dianggap mudah, sehingga akhirnya meskipun seluruh key result tercapai, objective masih belum tercapai. Padahal, idealnya key result harus dibuat mencerminkan objektif. Apabila key result tercapai 100% berarti maknanya objective juga harus tercapai 100%. Apabila belum demikian artinya perlu ada penambahan key result supaya mengcover objective secara lebih baik.

6.
Key result dibuat kurang komprehensif sehingga berpotensi di-bypass. Sebagai contoh, sebuah divisi public relation di sebuah organisasi menetapkan key result berupa tersampaikannya siaran pers di media, baik cetak, elektronik, maupun daring. Karena tidak disertai dengan key result lain, organisasi tersebut bisa secara asal-alasan meletakkan siaran persnya tanpa mempertimbangkan pangsa pasar dari media, durasi, timing, penempatan berita, dsb. Akhirnya siaran pers itu memang tersampaikan di berbagai media akan tetapi menjangkau audience yang salah. Atau dengan kata lain key result seolah tercapai tapi tidak berdampak ke objektif. Oleh karena itu suatu key result yang berpotensi di-bypass seperti ini perlu diiringi dengan key result lain untuk mengontrol kualitasnya.

Selain keenam hal tadi, buku ini juga menjelaskan konsep CFR (conversations, feedback, dan recognition) untuk menunjang implementasi OKR. Intinya OKR ini bukanlah hal yang statis, melainkan hal yang bersifat dinamis dan bisa diperbaharui apabila memang dianggap perlu. Prinsipnya OKR harus terus dikomunikasikan mulai dari top management sampai individu karyawan. Dalam pembuatannya pun OKR ini sebaiknya tidak disusun otoriter, namun mempertimbangkan masukan dari para frontliner dan semua elemen yang ada di organisasi. Selain itu evaluasi OKR sebaiknya tidak hanya dilakukan secara tahunan akan tetapi secara kontinyu di mana semua orang diberi akses untuk memberikan feedback secara bebas. Ketercapaian maupun ketidaktercapaian suatu OKR harus dikomunikasikan secara terbuka, dan itu tidak dijadikan satu-satunya dasar dalam skema kompensasi.

[ Final thought? ]

Sejujurnya bagi saya pribadi buku ini sedikit kurang memenuhi ekspektasi. Bahasannya sebagian besar terlalu umum dan bukan hal yang baru. Selain itu penjelasannya juga kurang mendalam dan isi bukunya belum menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang ada di benak saya. Barangkali kita bisa mendapat penjelasan yang sebanding cukup melalui video maupun artikel di internet baik yang dibuat John Doerr sendiri maupun narasumber lainnya.

Tapi walaupun demikian bukan berarti buku ini jelek. Tetap ada banyak manfaat yang bisa digali, antara lain seperti yang sudah saya kemukakan tadi. Selain itu saya juga suka ketika di bagian akhir si penulis merekomendasikan beberapa literature lain untuk dibaca. Di sana di antaranya ada Good to Great-nya Jim Collins dan How Google Work-nya Eric Schmidt dan Jonathan Rosenberg, yang saya tahu dua buku itu lumayan bagus, di samping buku-buku dari penulis lainnya. Saya kira rekomendasi seperti ini baik karena bacaan-bacaan tadi tentunya bisa saling melengkapi.
 
By the way, buku ini terafiliasi dengan situs whatmatters.com , yang juga dikelola oleh John Doerr. Jadi bagi pembaca yang tertarik untuk memperoleh ulasan lebih lanjut bisa mengunjungi website tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?