Resensi Buku: Biografi Politik Mohammad Hatta

 




Penulis: Deliar Noer
Penerbit: Kompas (2018)
Tebal: 180 hal (Buku I), 408 hal (Buku II), 160 hal (Buku III)

Dari segi popularitas barangkali Bung Hatta kalah dibandingkan rekannya, Bung Karno. Tapi dari segi kiprah, mereka sesungguhnya setara. Tidak sama, tapi saling melengkapi. Mereka kadang seiya sekata, kadang juga berseteru, tapi selalu bersahabat. Hubungan antara keduanya menjadi dinamika yang menarik dalam sejarah perjuangan bangsa.

Buku ini adalah terbitan ulang dari karya Deliar Noer yang berjudul sama, yang terbit pertama kali Tahun 1990 oleh LP3ES. Ketika Kompas menerbitkannya kembali di Tahun 2015, wujudnya dipecah menjadi tiga bagian: buku I tentang pemikiran dan kiprahnya di masa muda, buku II tentang perjalannya sejak era Jepang hingga akhir Pemerintahan Sukarno, dan buku III tentang kisahnya di masa order baru hingga wafat. Deliar Noer sendiri, sang penulis, adalah sosok yang cukup otoritatif dalam menyusun biografi Hatta. Selain mengenal secara personal, penulis juga telah mendedikasikan waktunya sejak muda untuk meneliti kehidupan politik beliau.

Berikut ini adalah beberapa intisari yang saya coba rangkum dari keseluruhan isi buku:

1.  Hatta merupakan sosok asal Minangkabau yang dibesarkan dengan tradisi adat dan Islam yang kental. Keluarga besar beliau amat lekat dengan tradisi santri dan keulamaan. Hatta sendiri awalnya didorong keluarga dari pihak ayah untuk mendalami pendidikan Islam, akan tetapi kepindahannya ke Padang kemudian Jakarta akhirnya membuat Hatta memilih sekolah umum. Singkat cerita, Hatta kemudian memperoleh beasiswa dari Yayasan van Deventer untuk kuliah di Belanda dan di sana ia aktif baik dalam Organisasi Perhimpunan Indonesia maupun sebagai penulis yang kerap mengutarakan ide-idenya ke khalayak, termasuk soal kemerdekaan Indonesia. Karena keaktifannya tersebut, saat Belanda Hatta bahkan pernah ditahan karena disangka ikut dalam organisasi terlarang, terlibat dalam pemberontakan di Indonesia dan menghasut orang untuk menentang Kerajaan Belanda, meski akhirnya semua itu tidak terbukti dan Hatta pun dibebaskan.

2.   Sekembalinya ke Indonesia Hatta tetap aktif menulis bahkan semakin memperoleh nama karena sikapnya yang non-kooperatif dengan Pemerintah Hindia Belanda dan vokal atas penjajahan. Bersama dengan Sutan Sjahrir, Hatta kemudian bergabung dengan PNI Baru (yang dibentuk paska Pemerintah Hindia Belanda membubarkan PNI buatan Sukarno). Bergabungnya Hatta ini adalah untuk mengonsolidasikan perjuangan, hingga pada puncaknya Pemerintah Hindia Belanda merasa terancam dan mengasingkan Hatta ke Digul bersama Sukarno, lalu dipindahkan ke Banda Neira dengan dan para Tokoh bangsa lainnya.

3.   Setelah Jepang datang, arah angin berubah. Para tahanan politik dibebaskan bahkan diajak untuk membantu Jepang menggalang dukungan rakyat. Inilah masa-masa krusial di mana Hatta bersama Sukarno mulai bekerja sebagai dwitunggal meski di bawah Pemerintah Jepang. Mereka direkrut untuk menjadi penasihat, dan tampil sebagai interface (antarmuka) ketika Jepang berhadapan dengan rakyat Indonesia. Bagi Hatta, keputusan bersikap koperatif ini sebenarnya politik dua muka karena ia sendiri merasa Jepang akan kalah di Perang Pasifik dan momen-momen di mana mereka bersikap kooperatif itu bisa dieksploitasi untuk lebih menguntungkan perjuangan nasional. Lahirnya Putera dan BPUPKI yang Hatta juga terlibat di dalamnya benar-benar dimanfaatkan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

4.   Singkat cerita, setelah mulai tersiar kabar menyerahnya Jepang tanpa syarat kepada Sekutu para tokoh pemuda bergerak cepat untuk mendesak Sukarno dan Hatta untuk membacakan proklamasi. Awalnya Sukarno dan Hatta menolak karena itu dianggap tindakan sepihak yang berisiko memicu konfrontasi dengan pihak Jepang dan jatuhnya korban yang tak perlu. Akan tetapi akhirnya mereka bisa diyakinkan dengan alasan bahwa apabila proklamasi tidak dibacakan segera, pihak Sekutu akan mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda karena dianggap sebagai milik Jepang. Alasan yang cukup masuk akal. Lantas terjadilah apa yang kita ketahui. Prokalami dibacakan dan secara aklamasi sejak saat itu Sukarno Hatta tampil menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama RI.

5.   Di era-era awal Kemerdekaan RI, barangkali peran Hatta yang cukup monumental adalah terkait penyusunan UUD 1945 dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Hatta merupakan sosok yang cenderung dengan pemikiran sosialis. Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian berasas kekeluargaan dan cabang-cabang produksi yang penting dikuasai Negara sesungguhnya merupakan manifestasi dari Pemikiran Hatta. Itu pula sebab mengapa Hatta sangat mendorong konsep koperasi, bahkan menganggap koperasi sebagai elemen ekonomi ketiga setelah Pemerintah dan badan usaha swasta.

6.   Terkait KMB, Hatta adalah pimpinan delegasi RI. Hatta sangat yakin dengan kekuatan diplomasi dan langkah ini menurutnya harus tampil di muka, sedangkan kekuatan senjata cukup sebagai penggertak. Ia sangat jeli membaca situasi sehingga mampu memanfaatkan animo dunia internasional yang simpati dengan Indonesia paska agresi militer Belanda. Ia pun paham mana hal yang layak dikompromikan dan mana yang prinsip dan tak bisa ditawar. Puncaknya adalah diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda, sebuah prestasi terbesar Hatta, mungkin sepanjang hidupnya, kepada bangsa Indonesia.

7.   Masa-masa setelah pengakuan kedaulatan adalah masa-masa konsolidasi. Di masa itu Hatta dan para tokoh bangsa disibukkan dengan upaya mencari format terbaik bernegara. Meskipun secara pribadi Hatta lebih suka Indonesia menjadi Negara federasi, akan tetapi penerimaan DPR atas mosi integral Mohammad Natsir membuatnya legowo Indonesia menjadi Negara kesatuan (NKRI). Selebihnya ia menjalankan tugas sesuai amanat yang diberikan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Hatta merasakan ketidakpuasan atas Pemerintahan yang dipimpin Sukarno. Ketidakpuasan ini pada akhirnya mendorong Hatta untuk mengundurkan diri di akhir Tahun 1956 sebagai Wakil Presiden, yang juga turut menandai berakhirnya era Dwitunggal.

8.  Setelah berada di luar Pemerintahan posisi Hatta menjadi kian unik. Ia tak lagi memiliki kewenangan eksekutif namun tatusnya tetap disegani sebagai tokoh bangsa. Hatta pun masih kerap memberikan masukan kepada Pemerintah baik secara langsung melalui surat-surat ke para pejabat publik maupun tidak langsung melalui tulisan dan ceramah. Ini terus berlangsung hingga Pemerintahan Sukarno jatuh dan era berganti ke rezim Orde Baru.

9.   Di masa Orde Baru Hatta diangkat sebagai salah satu penasihat di Komisi Empat yang dipilih oleh Presiden. Selain itu Hatta juga didapuk sebagai bagian dari tim perumus Pancasila yang bertugas menyusun tafsir atas Pancasila yang saat itu dijadikan asas tunggal. Meski demikian, Hatta tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya karena menurutnya Indonesia berjalan menyimpang dari apa yang digariskan dalam UUD 1945. Hal yang cukup mencuat baginya adalah persoalan korupsi dan liberalisasi ekonomi yang tidak sesuai dengan konsep sosialis yang dianutnya. Walaupun kritis, hubungannya dengan Presiden Suharto tetap baik meski sempat sedikit merenggang karena keterlibatan Hatta dalam Peristiwa Sawito. Hatta wafat pada 14 Maret 1980, hari di mana saat siangnya ia masih melakukan Sholat Jumat dalam kondisi sakit.

10.  Sebagai Tokoh Bangsa, Hatta adalah sosok yang bisa berdiri di atas semua golongan. Tak jarang ia berbeda pendapat dengan tokoh lainnya namun Hatta selalu bisa menempatkan diri, bahkan mengalah apabila diperlukan. Ia bisa memberikan garis yang tegas mana persoalan yang merupakan urusan politik dan mana yang merupakan urusan personal. Perbedaaan pandangannya yang semakin tajam dengan Sukarno di era Demokrasi Terpimpin misalnya, tidak menghalanginya untuk menjenguk Sukarno ketika sakit keras, bahkan melobi Presiden Suharto agar Sukarno disediakan perawatan yang lebih baik.

Barangkali ada beberapa hal dari Hatta, baik berupa sikap maupun pemikiran, yang menarik disimak dan mungkin dalam hal tertentu layak dijadikan palajaran.

1.    Pertama, Hatta adalah sosok yang disiplin. Di masa pengasingannya di Digoel, semua aktivitasnya ia jadwalkan sendiri: kapan sholat, kapan makan, kapan membaca/menulis, minum teh sore, kapan menerima tamu, berkebun, memasak, dan seterusnya. Hatta juga sangat konsisten dengan aturan dan menjunjung tinggi kode etik. Hatta pernah mengalami kesulitan ekonomi di masa hidupnya karena hanya hidup dengan mengandalkan uang pensiun. Meskipun sesungguhnya banyak tawaran dari perusahaan asing maupun nasional kepadanya untuk terlibat dalam bisnis, tapi itu semua ditolak karena dianggapnya tidak elok.

2.   Kedua, Hatta adalah seorang demokrat tulen. Baginya perbedaan politik bukanlah hal yang perlu ditutup-tutupi apalagi direduksi dengan dalih persatuan. Persatuan tidak dibina dengan mengesampingkan perbedaan tapi justru dengan mengakuinya. Tidak seluruh hal bisa dimufakati dengan suara bulan. Oleh karena itu meskipun suatu keputusan tidak akan bisa menyenangkan semua pihak, akan tetapi sepanjang prosesnya benar Hatta akan konsisten dengan itu. Itu mungkin sebab mengapa Hatta legowo dengan Mosi Integral Natsir kendati ia lebih menyukai model Negara federasi. Itu pula mungkin mengapa Hatta memilih menarik diri dari Pemerintahan Sukarno dan membiarkan sejarah membuktikan apakah eksperiman Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin tepat bagi Indonesia.

3.  Ketiga, Hatta adalah muslim yang taat hingga akhir hayatnya. Pengaruh adat Minang serta latar keluarga yang berasal dari kalangan santri barangkali menjadi bekal yang membentuk pribadi semacam itu. Soal wanita Hatta sangat konservatif, tidak pernah macam-macam dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat. Hatta juga penggagas konsep Sekolah Tinggi Islam yang memadukan pendidikan keislaman dalam aspek filosofis dengan pendidikan kemasyarakatan, yang dalam perjalanannya menjadi UII di Yogyakarta. Selain itu Hatta juga pernah berupaya membentuk Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), meskipun akhirnya terhenti karena tidak disetujui oleh rezim Orde Baru. Meski demikian, Hatta termasuk yang menolak konsepsi Negara Islam, bahkan terlibat dalam lobi agar para tokoh Islam setuju dengan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun dari ceramah-ceramah maupun tulisan yang pernah ia kemukakan, dapat dikira bahwa sikap Hatta tersebut lebih didasari niat antisipasi agar tidak terjadi perpecahan di masa-masa genting, serta pandangan bahwa aspirasi Islam telah tercakup dalam Sila Pertama yang merupakan representasi ajaran tauhid.

4.   Keempaat, di bidang ekonomi pemikiran Hatta sangat kental nuansa sosialismenya. Ia menginginkan peran Negara yang lebih  besar dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Bahwa cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus berada dalam kendali Negara. Swasta dapat berperan akan tetapi sebagai pendukung hal yang belum mampu dilakukan Pemerintah. Cara ekonomi dikelola juga harus didasarkan pada semangat kolektif, artinya tidak ada kelompok masyarakat yang dibiarkan tertinggal. Atau dalam istilah hari ini, apabila dihadapkan pada pilihan pertumbuhan atau pemerataan, maka Hatta most likely akan memilih yang kedua. Itu pula sebab mengapa Hatta sangat mengendorse konsep koperasi, karena menurutnya koperasi adalah wujud kolektivisme tadi di mana masyarakat kecil dapat mengelola kapital agar dapat sejahtera bersama-sama. Hatta kerap menjadikan apa yang terjadi di Negara-negara Skandinavia sebagai bukti bahwa konsep koperasi bisa berhasil.

5.   Kelima, Hatta adalah pejuang yang gigih. Ia sudah vokal sejak muda. Kepalanya penuh dengan gagasan tentang kebangsaan. Ia penulis yang aktif bahkan hingga akhir hayat. Baik saat di dalam, maupun saat di luar Pemerintahan, ia kerap berpendapat, melayangkan kritik, memberikan rekomendasi, meluruskan apa yang dianggapnya salah, menunjukkan alternatif langkah untuk memperbaiki keadaaan, meski sering pula semua itu tidak digubris. Tapi Hatta tidak berhenti. Ia tetap sebagai pribadinya dan melaksanakan apa yang ia anggap sebagai tanggung jawabnya.

Merefleksikan apa yang akan dihadapi Indonesia ke depan barangkali kita butuh lebih banyak sosok negarawan seperti Hatta. Ia peduli, lantas ia bertindak. Saat berkuasa ia bekerja sebaik-baiknya. Saat tak berkuasa ia tetap bersuara, juga dengan sebaik-baiknya. Hatta tentu bukan sosok sempurna, akan tetapi dari banyak sikapnya kita bisa mengingat lagi pelajara kecil namun mendasar: bahwa kualifikasi utama seorang negawaran sebelum apapun adalah kemampuan mendahulukan kepentingan publik ketimbang kepentingan pribadi dan golongan. Sebuah kualifikasi yang saat ini sepertinya sudah banyak orang yang lupa.

Wallohu’alm.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?