Mensufikan Salafi dan Mensalafikan Sufi [Resensi]



Ini salah satu buku yang jadi temen di Ramadhan kemarin. Tulisan Yusuf Qardhawi. Cukup tipis, tebalnya hanya sekitar 217 halaman. Terbitan Penerbit Uswah Tahun 2008. Terjemahan dari yang judul aslinya “Taisir Fiqh as Suluk fi Dhau’ al Qur’an wa as Sunnah (al ‘Ilm wal Hayah ar Robbaniyyah)”.

Dari kata pengantarnya, pembaca akan tahu buku ini merupakan respon penulis atas adanya eksistensi dua kelompok yang sering dipersepsikan bertentangan satu sama lain, yakni sufi dan salafi. Yang satu cenderung saklek pada aspek fikih sehingga terkesan mengabaikan aspek tasawuf, sementara yang satu lagi menitikberatkan perhatiannya pada aspek tasawuf sehingga terkesan mengabaikan aspek fikih.

Dengan buku ini, penulis hendak menjelaskan bahwa sikap ideal adalah kembali kepada prinsip dasar Islam dalam memandang fikih dan tasawuf, yakni dengan berkaca kepada kehidupan Robbani yang dicontohkan Rosululloh saw. Demikian pula kehidupan para sahabat dan pengikutnya. Dari mereka umat bisa melihat bahwa aspek tasawuf sangat lekat dengan kehidupan keseharian dan pada saat yang bersamaan mereka juga sangat konsisten dalam menjaga syariat Alloh. Dengan demikian fikih dan tasawuf sesungguhnya merupakan dua aspek yang padu tidak perlu dipertentangkan.

Hal yang kurang baik adalah ketika pembahasan fikih kering dari esensi dan penghayatan sehingga tidak mampu menjangkau sisi rohani. Di sisi lain, adalah hal yang keliru pula apabila sisi penghayatan ini menjadi begitu dominan sehingga syariat dan aspek-aspek formalistik agama seolah tidak diperlukan.

Meskipun demikian, tendensi kritik dalam buku ini memang terasa lebih ditujukan kepada kaum sufi. Itu mengingat kadar kekeliruan di kelompok tersebut kadang memang cukup fatal. Ada kalangan sufi yang lebih mengutamakan ilham (wangsit) atau pengalaman batin guru-gurunya ketimbang syariat dalam agama. Sehingga apabila ilham tersebut mendorong kepada suatu hal sementara syariat mendorong ke hal lain, maka yang didahulukan adalah ilham tersebut, dengan berbagai argumentasinya.

Sikap semacam itu menurut penulis adalah sikap yang keliru. Oleh Karena itu penulis mengambil porsi yang cukup besar dari buku ini (hampir separuh isi buku) untuk membahas bab Ilmu. Pada intinya penulis hendak menjelaskan bahwa ilmu punya kedudukan yang penting dalam Islam. Ilmu mendahului amal. Ilmu adalah syarat agar ibadah bernas dan makbul. Ilmu adalah perangkat yang diberikan pada para nabi dan rosul dan menjadi kelebihan manusia atas malaikat. Ilmu lebih mampu mengangkat martabat manusia di hadapan Alloh ketimbang ibadah mengangkatnya. Selain itu iman yang dihasilkan dari nalar kritis karena ilmu akan lebih baik ketimbang iman yang berasal dari sekedar taklid. Bagaimanapun perintah, larangan, dan adab syariah yang lahir dari ilmu adalah bingkai tasawuf (kehidupan rohani) yang tidak boleh diterabas. Hal yang sesungguhnya juga diterima oleh tokoh sufi yang hanif generasi awal seperti Abu Zaid, Al Junaid bin Muhammad, atau Abu Sulaiman ad Darini.

Terakhir, demi obyektifitas penulis juga mengajak pembacanya untuk tidak menafikan hal-hal yang menjadi jargon di kalangan sufi seperti kasyaf (intuisi), ilham, dan karomah. Ketiganya merupakan sesuatu yang eksis dan merupakan bagian dari karunia Alloh bagi siapa yang Dia kehendaki. Akan tetapi penerimaan tersebut tetap dibatasi oleh kaidah agama yang sudah diakui dan hukum syariat yang sudah disepakati. Sebagai contoh, apabila seorang hakim yang sholih berdasarkan kasyafnya merasa seseorang itu bersalah dalam sebuah perkara, ia tidak boleh memutuskan bersalah sampai terdapat bukti nyata atas kesalahannya. Kendatipun intuisi tersebut bisa benar, akan tetapi keputusan tanpa bukti adalah hal yang keliru berdasarkan kaidah agama.

Tentu saja bahasan singkat dalam buku tidak akan cukup untuk meng-convert seorang salafi menjadi sufi ataupun sebaliknya seperti yang dimuat di judulnya. Akan tetapi bagi pembaca yang bukan merupakan bagian dari kedua kelompok itu saya kira akan terbantu untuk memandang dialektika sufi dan salafi ini secara lebih obyektif. Bahasannya akan berfungsi menambah, atau sekurang-kurangnya menyegarkan kembali, wawasan tentang hubungan ilmu-amal-syariat. Akhir kata, tak masalah mau menjadi salafi atau sufi. Yang penting adalah ittiba’ pada Rosululloh saw dalam berislam, lair dan batin.

Wallohua’lam.


Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?