Atomic Habits [Resensi]
Konsep habit itu seperti compound interest di dunia keuangan. Nilai awalnya boleh jadi kecil, tapi seiring waktu dampaknya bisa membesar secara eksponensial seperti bola salju. Maka wajar apabila orang sukses dan orang yang tidak berprogres bisa dibedakan dari habitnya. Dari konsep itu kemudian kita tarik kesimpulan, bahwa habit itu penting. You can change your destiny by changing your habits.
Sampai di sini, mungkin kita sepakat bahwa itu
semua adalah informasi klise yang sudah banyak kita dengar atau kita baca dari
berbagai sumber. Namun yang jadi problem adalah, mengapa banyak orang yang
masih kesulitan keluar dari kebiasaan buruk mereka? Atau sebaliknya, kesulitan
menciptakan habits positif yang baru?
Buku ini mencoba menawarkan sebuah perspektif
mengenai persoalan habits. Tak hanya membahas manfaat atau pentingnya habits,
tapi lebih penting dari itu dia bercerita bagaimana habits itu terbentuk, dan
bagaimana kita bisa merekayasanya berdasarkan tinjauan psikologis. Penulisnya,
si James Clear, adalah seorang praktisi yang sudah malang melintang di dunia
per-habit-an, suka memberi coaching dan training di bidang itu, dan konon
kliennya adalah perusahaan-perusahaan beken yang masuk Fortune 500.
Kembali ke topik, beberapa bahasan penting
dalam buku kalau saya ringkas antara lain sebagai berikut.
Pertama, ada yang namanya siklus Habits. Sebuah
habit pasti melalui empat tahapan: cue (isyarat), craving (hasrat), response (tindakan),
dan reward (perolehan). Isyarat adalah stimulus yang kita terima lewat indera,
kemudian kita proses berdasarkan bekal pengalaman sebelumnya sehingga
memunculkan rasa atau hasrat tertentu. Hasrat itu mendorong tubuh kita untuk
bertindak, dan tindakan tadi memunculkan hasil. Lantas hasil tadi menjadi bekal
berikutnya yang kita pakai ketika isyarat sejenis muncul di masa depan. Begitu
prosesnya berulang-ulang, terus menerus.
Kedua, habits akan mudah terbentuk apabila
cue-nya jelas, craving-nya atraktif, response-nya mudah, dan reward-nya memuaskan.
Sebaliknya habits akan memudar atau bahkan hilang bila cue-nya tidak jelas,
craving-nya tidak menarik, response-nya sulit dan reward-nya tidak memuaskan.
Maka kontrol kita atas habit bisa dilakukan di empat faktor tadi. Untuk
menciptakan habit baru, perjelas cue-nya, lalu buat supaya craving-nya menarik,
usahakan dia bisa dilakukan dengan mudah, dan bikin reward yang memuaskan.
Demikian pula sebaliknya.
Ketiga, ada dua tipe habits: 1) habits yang
digenerate untuk mencapai target tertentu, dan 2) habits yang digenerate sebagai
perwujudan dari identitas. Menurut penulis, habits tipe kedua lebih bisa sustain
karena habits yang basisnya target sifatnya temporer, sedangkan identitas
adalah sesuatu yang melekat. Tipe pertama contohnya adalah orang yang membiasakan
latihan fisik karena motifnya mau nurunin berat badan, sedangkan tipe kedua
contohnya orang yang membiasakan latihan karena dia menganggap dirinya orang
yang bugar dan menerapkan pola hidup sehat.
Keempat, lingkungan fisik dan sosial lebih berpengaruh
pada habits kita ketimbang motivasi dalam diri sendiri. Menurut penulis, manusia
itu sunnatullahnya memilih untuk mengeluarkan effort/energi paling kecil.
Apabila lingkungan sekitar masih mendorong kita untuk melakukan hal yang
berlawanan dengan habits yang kita ingin bangun, maka kita perlu terus-menerus
memompa diri untuk melakukan pilihan sengaja. Namun itu membutuhkan banyak
energi, oleh karenanya dia sulit untuk sustain dalam jangka panjang. Maka,
lebih baik kita memilih atau justru menciptakan sendiri lingkungan yang
kondusif.
Kelima, jangan abaikan pengaruh gen atau sifat
bawaan. Manusia dilahirkan berbeda satu sama lain. Benar bahwa habits sangat
berpengaruh membentuk jati diri, keahlian, dan pencapaian. Namun dalam sebuah
klub voli, orang bertubuh tinggi akan lebih mudah menjadi spiker andal
ketimbang orang bertubuh pendek. Sebaliknya orang bertubuh pendek tadi justru
lebih mudah menjadi libero andal ketimbang orang bertubuh tinggi. Poinnya
adalah, hasil paling optimal bisa kita peroleh apabila habits yang kita bangun sinkron
dengan personaliti atau sifat bawaan yang kita punya.
Keenam, habits positif itu positif. Hal positif
yang sudah menjadi habits adakalanya membuat kita dalam kondisi auto pilot. Pada
kondisi ini, kita kurang peka terhadap error-error kecil dan nyaman pada posisi
steady dan sekedar good. Kita tidak terdorong untuk menjadi great. Oleh karena
itu, habits juga butuh direviu secara berkala. Harus ada fase di mana kita
menyetel ulang habit agar bisa terus improve secara berkelanjutan.
Di dalam buku, keenam hal tadi disebutkan
aktualisasinya sehingga pembaca punya gambaran jelas bagaimana masing-masing
tadi diterapkan. Penulis juga menceritakan bagaimana cara-cara yang ia jelaskan
diterapkan oleh tokoh-tokoh yang riil untuk membuktikan bahwa konsepnya benar-benar
bekerja. Tidak melulu sophisticated, bentuknya malah tekadang sangat sederhana.
Konsep reward misalnya, yang sebelumnya saya duga sebagai “merayakan
kemenangan-kemenangan kecil” seperti yang pernah saya baca di sumber lain, ternyata
cukup dengan sekedar mencatat progres. Mencatat progres adalah bentuk mengonfirmasi
perasaan puas karena mencapai sesuatu, sehingga kepuasan itu bisa kita klaim
sebagai reward.
Bagi pembaca yang akrab dengan buku bergenre pengembangan
diri, beberapa konsep dalam buku ini mungkin bisa diasosiasikan dengan konsep
dalam buku lain. Sifatnya saling mengonfirmasi. Misalnya konsep merekayasa
lingkungan untuk memperjelas cue dan mempermudah response, adalah konsep inti dari
teknik beres-beres yang diceritakan di bukunya Marie Kondo. Menyusun barang
dengan kategori yang sama hanya di satu tempat, membuat supaya tidak ada barang
yang tersembunyi, dan menyingkirkan semua barang dan hanya menyisakan yang
spark joy adalah perwujudan dari konsep tadi. Tapi ada pula beberapa konsep
yang justru diametral dengan konsep lain, misalnya soal seberapa besar peran
free will dan menentukan habits. Penulis seperti Stephen Covey mengangap free
will sebagai modal dasar berperilaku, sedangkan James Clear, si penulis buku
ini, cenderung menganggap dipengaruhi faktor lingkungan dan genetis lebih
berperan.
Hal yang menarik dari buku ini adalah cara
penulis mengelaborasi sebuah kasus dengan pendekatan induktif. Selain itu beberapa
konsep diklaim berasal dari hasil riset terkait perilaku dan aspek kognitif
manusia. Banyak konsep yang sebenarnya tidak bisa disebut baru, namun hasil-hasil
riset tadi membuat pembaca memiliki dasar untuk lebih percaya dengan konsep
tersebut. Selain itu, saya juga suka dengan adanya bagian summary di setiap
akhir chapter. Ini sangat membantu pembaca mengingat poin-poin penting bahasan
dan bisa jadi bahan morojaah di masa depan bila sewaktu-waktu diperlukan.
Adapun kekurangan dari buku ini, secara
personal saya punya rasa skeptis bahwa penulis mungkin overclaim di beberapa
pembahasan. Overclaim yang dimaksud adalah mengambil suatu hasil riset untuk
mendukung argumen penulis yang bisa jadi ada di luar konteks riset tersebut.
Misalnya riset terkait supernormal stimuli yang percobaannya menggunakan salah
satu spesies burung, kemudian hasilnya digeneralisasi bahwa hal yang sama juga
terjadi pada manusia. Perilaku semacam ini membuat saya sedikit menahan diri
untuk langsung percaya pada klaim penulis yang didasarkan pada hasil riset-riset
yang lain.
Akhir kata, ini buku yang cukup bermanfaat. Barangkali
bukan sesuatu yang benar-benar nobel dan genuine, namun dia tetap dapat membantu
pembaca memahami perilaku secara lebih baik dalam menciptakan habits yang
positif.
Wallohua’lam
Comments
Post a Comment