Banyak Impor berarti Tidak Berdaulat?
Saya termasuk orang yang berpikir berdaulat atau tidaknya suatu negara, atau suatu organisasi, atau suatu entitas tidak tergantung pada apakah dia mampu subsisten atau tidak. Bila kembali ke definisi berdaulat itu sendiri, yang perlu ditinjau sebenarnya apakah dia punya kuasa untuk mengambil keputusan tanpa intervensi dan ketergantungan dengan pihak lain.
Di era sekarang di mana barang dan jasa yang kita butuhkan sudah sedemikian beragam, akan selalu ada hal yang tidak bisa kita penuhi sendiri. Contoh paling mudahnya adalah rumah tangga. Bisa kita hitung dari semua hal yang kita konsumsi, seberapa banyak yang kita produksi sendiri? Nyaris nihil. Hampir semuanya kita beli. Kadang kita juga lebih suka pakai jasa orang lain ketimbang kita handle sendiri. Yang kita lakukan hanya bekerja, sehingga kita punya income yang menjadi power kita untuk memenuhi kebutuhan.
Kalau konteksnya diperluas, negara sebenarnya tak ubahnya rumah tangga. Maka mendatangkan sesuatu dari luar sistem rumah tangga ini adalah impor. Lalu apakah ketergantungan semacam ini bermakna kita tidak berdaulat? Tentu tidak. Kita tetap berdaulat. Meski kita impor, tapi kita selalu bisa memilih. Kita selalu punya kendali untuk mengambil keputusan, sepanjang kita punya daya beli.
Maka kata kuncinya adalah daya beli. Negeri seperti Singapura yang tidak punya sumber daya alam dan bergantung pada sumber daya alam negara lain tetap kita anggap berdaulat karena mereka daya belinya tinggi. Begitupula negara lain. Saya belum tahu ada negara di dunia ini yang benar-benar subsisten. Mereka tentu bisa memilih untuk subsisten, namun konsekuensinya kualitas hidup akan berkurang. Mirip rumah tangga kita juga. Kalau untuk makan kita harus tanam sendiri, mau daging harus ternak sendiri, mau rumah harus bikin bata sendiri, cari material sendiri, maka alangkah repotnya. Bandingkan dengan bila kita pilih spesialisasi pekerjaan, kemudian kita dibayar cukup, lalu dengan itu kita bisa akses semua kebutuhan dengan baik. Mana yang akan kita pilih?
Oleh karena itu impor bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Dia adalah keniscayaan demi kualitas hidup yang lebih baik. Impor memang ada risikonya, dan itu barangkali bisa kita bahas di kesempatan lain. Namun sepanjang kita bisa tetap menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan orang lain, dan itu membuat daya beli kita tinggi, impor tidak terlalu kita khawatirkan.
Wallohua'lam.
Di era sekarang di mana barang dan jasa yang kita butuhkan sudah sedemikian beragam, akan selalu ada hal yang tidak bisa kita penuhi sendiri. Contoh paling mudahnya adalah rumah tangga. Bisa kita hitung dari semua hal yang kita konsumsi, seberapa banyak yang kita produksi sendiri? Nyaris nihil. Hampir semuanya kita beli. Kadang kita juga lebih suka pakai jasa orang lain ketimbang kita handle sendiri. Yang kita lakukan hanya bekerja, sehingga kita punya income yang menjadi power kita untuk memenuhi kebutuhan.
Kalau konteksnya diperluas, negara sebenarnya tak ubahnya rumah tangga. Maka mendatangkan sesuatu dari luar sistem rumah tangga ini adalah impor. Lalu apakah ketergantungan semacam ini bermakna kita tidak berdaulat? Tentu tidak. Kita tetap berdaulat. Meski kita impor, tapi kita selalu bisa memilih. Kita selalu punya kendali untuk mengambil keputusan, sepanjang kita punya daya beli.
Maka kata kuncinya adalah daya beli. Negeri seperti Singapura yang tidak punya sumber daya alam dan bergantung pada sumber daya alam negara lain tetap kita anggap berdaulat karena mereka daya belinya tinggi. Begitupula negara lain. Saya belum tahu ada negara di dunia ini yang benar-benar subsisten. Mereka tentu bisa memilih untuk subsisten, namun konsekuensinya kualitas hidup akan berkurang. Mirip rumah tangga kita juga. Kalau untuk makan kita harus tanam sendiri, mau daging harus ternak sendiri, mau rumah harus bikin bata sendiri, cari material sendiri, maka alangkah repotnya. Bandingkan dengan bila kita pilih spesialisasi pekerjaan, kemudian kita dibayar cukup, lalu dengan itu kita bisa akses semua kebutuhan dengan baik. Mana yang akan kita pilih?
Oleh karena itu impor bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Dia adalah keniscayaan demi kualitas hidup yang lebih baik. Impor memang ada risikonya, dan itu barangkali bisa kita bahas di kesempatan lain. Namun sepanjang kita bisa tetap menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan orang lain, dan itu membuat daya beli kita tinggi, impor tidak terlalu kita khawatirkan.
Wallohua'lam.
Sejauh tulisan di atas saya setuju mas, ditunggu lanjutan pembahasan di topik selanjutnya.
ReplyDeleteMungkin kita perlu diskusi konsekuensi dari aktivitas impor tersebut.
(Dari mulai masalah "daya beli negara", hutang negara, kedaulatan rakyat, dlsb.)