The Life Changing Magic of Tidying Up [Resensi]

Sejujurnya saat pertama kali melihat buku ini beberapa tahun lalu saya kurang tertarik. Temanya terlalu remeh temeh, pikir saya. Namun karena makin kesini saya dapet banyak cerita tentang orang-orang yang berubah setelah membacanya, saya jadi ingin tahu. Ditambah lagi sekarang ada status New York Best Seller yang disandangnya, jadi bikin saya makin penasaran.


Qodarulloh beberapa hari yang lalu saya dihadiahi mas Iqbal Akhirudin buku tersebut (semoga Alloh merahmatinya). Jadilah saya pembacanya.

Apakah buku ini memang serevolusioner yang saya duga? Barangkali iya. Meski topiknya sederhana, yakni tentang cara berberes rumah, tapi esensinya ada di level paradigma. Dia membahas bagaimana cara kita memandang barang-barang di sekeliling kita. Dan karena yang dipengaruhi adalah paradigma, dia berpotensi mempengaruhi hal-hal lainnya dalam kehidupan kita.

Intinya, dalam berbenah hanya ada dua aspek: membuang dan menyimpan. Kata yang pertama lebih penting daripada yang kedua. Di buku ini kita diajak agar tega menyingkirkan barang-barang yang hakekatnya tidak mendatangkan kegembiraan (spark joy). Menurut Kondo si penulis, makna kehadiran dari sebuah barang adalah untuk menghadirkan kegembiraan itu. Maka menyimpannya tanpa pernah lagi menggunakannya adalah bentuk pengabaian. Andai barang itu kita anggap makhluk hidup, maka dia sebenarnya menderita. Maka bila ada barang yang tidak spark joy, singkirkan saja. Bebaskan dia dari penderitaan. Dan sampaikan terima kasih atas kehadirannya selama ini.

Setelah membuang barang yang tak mendatangkan kegembiraan, selanjutnya adalah menatanya. Kondo menyarankan agar setiap barang di rumah disimpan berdasarkan kategori. Bukan lokasi. Jadi semua baju hanya ada di satu tempat. Tak ada di tempat lain. Demikian juga tas, sepatu, alat kebersihan, aksesoris elektronik, dan semua barang lainnya. Seluruhnya disimpan di tempatnya masing-masing. Cara seperti ini akan memudahkan kita untuk mengukur kebutuhan. Saat semuanya menjadi satu, kita akan sadar kalau yang kita miliki saat itu sudah berlebihan. Maka kita bisa menyingkirkan yang tidak perlu.

Selain itu dalam menyimpan, upayakan agar semua barang bisa terlihat dengan sekali pandang. Artinya tidak ada yang disimpan tersembunyi. Kalau tersembunyi, dia cenderung dilupakan dan kita akan terdorong untuk menumpuk barang kembali.

Itu kira-kira inti pentingnya. Sebenarnya ada lagi yang lain seperti cara melipat baju yang efisien, urutan yang memudahkan dalam membuang barang, model rak penyimpanan yang lebih oke, posisi penyimpanan barang yang bikin lebih tahan lama, dst. Namun sifatnya tentuk cukup teknis. Rinciannya bisa dibaca langsung di bukunya, atau nonton beberapa metode konmari yang ada di Youtube.

Dari sisi penulisan buku ini cukup ringkas. Versi terjemahan yang saya baca juga cukup sederhana bahasanya sehingga mudah dipahami. Ada beberapa kali pengulangan bahasan memang namun saya kira itu adalah cara si penulis untuk menegaskan pesan.

Kekurangan di buku ini, kalau mau dianggap kekurangan, barangkali ada pada beberapa konsep yang berbau animisme. Misalnya soal pendekatan bahwa barang-barang kita seolah memiliki 'nyawa'. Ini mungkin wajar mengingat si penulis adalah orang Jepang yang kosmologinya dipengaruhi agama Shinto. Namun bagi sebagian pihak bisa jadi akan merasa kurang nyaman. Alih-alih merasa tenang, konsep barang yang bernyawa justru terasa menyeramkan. Hehehe.

Saya sendiri memandang konsep demikian dalam makna kiasan. Bernyawa di sini tidak berarti punya ruh, melainkan sekedar perspektif suatu hal seharusnya diperlakukan. Kalau sesuatu dimubazirkan, sesuatu itu akan 'bersaksi' di akhirat bahwa dia disia-siakan. Begitulah kira-kira.

Akhir kata, saya termasuk yang mendapat manfaat dari membaca buku ini. Meskipun belum secara total, isinya sudah saya coba praktikkan dan rasanya cukup berhasil. At least saya gak lagi perlu nanya isteri di mana dompet dan kacamata setiap mau berangkat kerja.


Recommended.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?