Antara Kafir dan Ateis

Dulu saya pernah punya pemahaman kalau non-muslim yang beragama dan ateis itu keduanya serupa. Sama-sama kafir dalam pandangan Islam. Oleh karena itu Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, Zoroaster, Shinto, sampai Ateis layak diperlakukan sama. Tapi sekarang pemahaman saya agak sedikit berubah. Dalam ranah perlakuan antar sesama manusia, eksistensi mereka harus tetap diakui. Tapi dalam ranah perlakuan ideologis, ateis dan non-muslim yang beragama tak bisa lagi diperlakukan sama.

Ini soal standar perilaku dalam bermuamalah. Kafir yang "beragama" setidaknya masih punya irisan kesamaan dalam hal apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dengan ajaran Islam. Tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh mabuk-mabukan, berjudi, dan seterusnya. Kalau kafirnya tak beragama, standar moral mana yang bisa dijadikan acuan? Semuanya akan serba relatif bagi mereka. Zina bisa dianggap boleh-boleh saja. Maka saat kaum muslimin memperjuangkan agar tindakan zina diberikan sanksi hukum, maka orang-orang kafir yang tak beragama ini bisa saja menolaknya dengan dalih membatasi hak mereka. Bahwa zina sah-sah saja asal dilakukan suka sama suka.

Nihilnya acuan standar moral pada akhirnya membuat konsensus dalam kehidupan bermasyarakat menjadi sulit untuk diraih. Ini tampak jelas dalam kasus Indonesia sebagai negara yang mendudukkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Kalau sekarang kan paling tidak kita bisa mengembalikan standar moral individu pada nilai-nilai agama yang berlaku sesuai agama yang dianut masing-masing. Ketika standar moral itu kita angkat atau kita perluas cakupannya agar berlaku dalam skala publik, kita tinggal mencari irisan di antaranya. Itu semua tidak berlaku kalau yang dihadapi adalah orang-orang ateis. Keingkaran mereka pada agama membuat kita tidak bisa menjadikan agama sebagai justifikasi.

Oleh karena itu menurut saya ateisme adalah musuh semua agama. Sebagai muslim tentu saja kita harus menolak kemusyrikan sebisa mungkin. Namun penolakan kita atas ateisme harus lebih keras lagi.

Wallohua'lam

Comments

  1. Lha ini kok memberikan stigma Atheis? bukankah itu bertolak belakang dengan tulisan ini http://ahadiyoso.blogspot.co.id/2017/10/tentang-stigma.html

    Sepemahaman saya atheis ini lebih pintar dari musyrik.
    kecuali atheis yg abal2 sama seperti islam abal2 alias islam ktp.

    Atheis aseli tidak percaya tuhan karena dia cari-cari tuhan dan ga nemu-nemu, kalau musyrik pernah mencari tuhan atau tidak?

    Saya lihat di video Zakir naik. musyrik yg mencari tuhan nanti bisa jadi ke atheis atau bisa jadi masuk islam.

    tapi kalau atheis mencari tuhan. Kata Zakir Naik hanya butuh 1 tingkat saja untuk meyakinkan.

    atheis sudah yakin "La Ilaha" tinggal yg terakhir diyakinkan "Illallah"

    Mohon maaf jika salah kata.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas urun komentarnya Pak. Stigma bukan sekedar penyebutan. Stigma adalah pengasosiasian yang ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang terhadap hal lain dengan atribut-atribut tertentu. Dan yang namanya stigma, asosiasinya cenderung ke arah yang kurang baik.

    Tulisan saya yang Bapak rujuk tersebut berisi ajakan untuk tidak bermudah-mudah/menghindari pemberian stigma pada orang-orang, bukan ajakan untuk menafikan istilah tertentu. Ateis, munafik, sunni, protestan, radikal, dan sederet istilah lainnya tentu saja tetap sah untuk digunakan, karena memang ia ada untuk menyebut sesuatu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?