Kalimatun Sawaa'

Loyal Companion (sumber: Natgeo)

Dalam sebuah sesi sharing bersama dengan adik-adik pengenyam salah satu program beasiswa pembinaan, saya ditanyai. Kebetulan saat itu tema sharing saya adalah soal penyikapan terhadap ide pendirian negara Islam. Redaksi persis pertanyaannya saya lupa, tapi kira-kira isinya begini, "Bang, gimana cara kita bisa mendirikan negara Islam sementara masyarakat kita begitu heterogen?". 

Iya pulak, saya pikir. Orang Indonesia memang bermacam ragam. Ada yang Islamis, ada yang sekularis, ada yang nasionalis. Yang Islamis pun belum pasti satu suara. Coraknya juga bervariasi. Yang sekularis dan nasionalis apalagi. Belum lagi kalau mau dipikir, nggak sedikit juga orang yang secara kriteria sebenernya nggak masuk ke tiga golongan tadi.

"Ini pertanyaan yang susah dijawab, dan saya gak tau jawabannya", ujar saya. Tapi entah kenapa tetiba muncul begitu saja sekelebat pemikiran di kepala, saat si adik mahasiswa tadi mendesak, "Mau tau pendapat abang saja", katanya.  

Maka meluncurlah lintasan pemikiran tadi lewat lisan. "Intinya adalah kalimatun sawaa". Kira-kira begitulah yang saya ucapkan. Bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Maka untuk menjembatani perbedaan, kita butuh kalimatun sawaa. Kalimat yang sama-sama diterima oleh pihak yang berbeda. Prinsipnya sebenarnya mengambil dari QS Ali Imran: 64, bahwa berelasi dengan pihak yang berbeda bisa kita mulai dari sebuah titik temu.

"Kita bisa mulai dari isu yang menjadi concern bersama. Yang sifatnya universal", lanjut saya. Saya lalu mengaitkannya dengan konteks pilkada Jakarta. Soal Ahok yang nasrani, menjadi pemimpin masyarakat yang mayoritas muslim. "Mungkinkah Ahok kembali menjadi Gubernur di periode berikutnya?", pertanyaan yang kemudian saya jawab sendiri, "Bisa! Karena concern kebanyakan masyarakat Jakarta bisa jadi bukan soal agama pemimpinnya, tapi soal gimana supaya Jakarta bebas macet dan banjir, gimana supaya masyarakat lebih sejahtera, gimana supaya tidak kena gusur". 

Di sini, saya mengajak peserta sharing sedikit berpikir pragmatis. Bahwa semangat untuk mengangkat pemimpin muslim bagi mayoritas publik yang juga muslim tentu sah-sah saja dipelihara. Tapi ketika isunya sudah masuk di ranah publik, cara kita bersaing seharusnya bukan lagi dengan negative campaign melainkan dengan beradu program kerja buat mengatasi persoalan yang jadi concern publik Jakarta itu, dan pastikan bahwa bakal calon yang muslim punya proker yang lebih baik dan make sense. Itulah bahasa fairness, bahasa yang bisa jadi kalimatun sawaa dalam konteks pilkada bagi publik Jakarta.

"Itu pula sebabnya", lanjut saya, "Gerakan dakwah seperti Muhammadiyah seringkali mengangkat isu-isu keumatan semisal pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan, atau peningkatan kualitas kehidupan di sektor pendidikan dan kesehatan". Tak lain tak bukan agar lakon gerakan bisa diterima merata oleh berbagai kalangan. Lalu apakah itu lantas berarti Muhammadiyah meninggalkan Islam sebagai motor gerakannya? Tidak. Sampai detik dimana tulisan ini dibuat, tujuan Muhammadiyah yang dimuat dalam Anggaran Dasarnya masih sama, "Menjunjung tinggi agama Islam sehingga terbentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya".

Karena kita yakin bahwa Islam adalah agama fitrah, agama yang sesuai pas dengan nurani dasar manusia, maka menemukan isu yang menjadi kalimatun sawaa itu seharusnya bukan pekerjaan yang terlalu berat. Kita bisa mulai dari substansi. Bahwa maksud dari eksistensi negara Islam adalah untuk menjamin syariat bisa tegak, dan tegaknya syariat dimaksudkan agar agama, jiwa, akal, harta, dan nasab terjaga. Al Islamu ya'lu wala yu'la álaih. Islam itu unggul dan tak ada yang lebih unggul.

Kalau kita meyakini doktrin itu, dalam konteks negara Islam, tinggal buktikan saja bahwa dengan Islam kita memang bisa hidup lebih baik, lebih berkualitas, lebih bahagia di dunia. Saat publik yang rasional melihat dan merasakan dengan jelas keunggulan itu, maka saya kira mereka tak akan keberatan hidup dengan cara Islam, dalam naungan negara Islam.

Pertanyaannya, sudahkah kita memperlihatkan keunggulan diri da komunitas kita karena sebab Islam?

Wallohua'lam. 

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?