Dakwah yang Tak Laku
Jalan Berbatu (sumber: Natgeo) |
Ada pemandangan yang membuat saya trenyuh sore itu. Kira-kira setengah dekade lalu waktu saya masih kuliah di IPB. Seorang ibu, berusia separuh baya, duduk termenung sendirian di ujung koridor, di tepi jalan. Di depannya ada sekeranjang bunga petik yang masih segar. Saya mengira si Ibu masih berharap akan ada mahasiswa yang akan membeli dagangannya, untuk dijadikan buah tangan bagi para wisudawan sebagaimana tradisi di kampus ini pada umumnya. Tapi menurut saya itu bakal sulit. Saat itu sudah menjelang maghrib, dan acara wisuda sudah selesai sejak siang.
Tak laku. Mungkin jadi salah satu situasi yang paling tak nyaman buat para pedagang. Seperti dialami si Ibu. Dan saya paham bagaimana rasanya. Duduk seharian di kios tanpa seorang pun yang membeli, pernah saya alami. Sementara perut isteri dan anak sudah meminta buat diisi.
Ah, sudah-sudah. Bukan waktunya bermelankolis ria. Namanya usaha, itulah resikonya. Itulah konsekuensi wajar yang harus dihadapi. Namun kita bisa terus belajar dan berimprovisasi supaya resiko itu bisa kita redam seminimal mungkin.
Dari yang saya pelajari, ada dua paradigma soal pemasaran. Paradigma pertama adalah membujuk konsumen untuk mau membeli barang atau jasa yang kita produksi. Sedangkan paradigma kedua adalah mengidentifikasi keinginan/kebutuhan konsumen kemudian memproduksi barang atau jasa berdasarkan keinginan/kebutuhan tersebut. Nah, kalau keduanya dibandingkan maka kecenderungan sekarang mengarah ke paradigma kedua. Alasannya simpel, dengan paradigma itu effort yang perlu kita keluarkan akan jauh lebih ringan.
Dengan memproduksi apa yang konsumen butuhkan/inginkan, maka secara otomatis demand dan supply sudah sinkron. Lantas kita hanya perlu memperjuangkan 2 hal lagi: bagaimana caranya supaya konsumen bisa menjangkau hasil produksi kita dan bagaimana supaya yang kita tawarkan bisa punya value yang lebih baik ketimbang pesaing. Ketika hasil produksi kita sudah bisa diakses, dan secara nyata punya value yang lebih baik ketimbang pesaing, insyaAlloh resiko tak lakunya dagangan kita bisa diminimalisir.
Nah, apa yang saya sampaikan itu sebetulnya bisa juga kita tarik untuk konteks dakwah. Dakwah itu bisa kita ibaratkan perniagaan. Saat berdakwah, kita menawarkan sistem nilai, visi, ide pada masyarakat. Masyarakat disini tentu selaku pembeli, bisa menerima tapi bisa juga tidak. Saat masyarakat tidak menerima, itu artinya dakwah tak laku. Tak lakunya dakwah antara lain mungkin bisa kita tandai lewat gejalanya: sepinya pengajian dan majlis ilmu, maraknya tayangan yang miskin nilai, ataupun tingkah polah masyarakat yang masih jauh dari tuntunan agama.
Lalu apa yang membuat dakwah itu tak laku? in my humble opinion, bisa jadi karena para dai menyiapkan dakwahnya tidak didasarkan atas sikon atau kebutuhan objek dakwahnya. Sehingga pada saat dakwah itu sampai, masyarakat selaku objek dakwah tidak melihat relevansi dakwah itu dengan kehidupannya.
Contohnya banyak kita temui. Masyarakat perkotaan yang hidup dengan tingkat stres yang tinggi, misalnya, bisa jadi amat membutuhkan saluran untuk mendamaikan jiwa dan pikirannya dari kekalutan. Oleh karena itu mereka butuh dakwah yang bercorak tazkiyatunnafs. Maka dakwah yang isinya membahas ide pendirian negara khilafah dan semacamnya tak akan menarik buat mereka.
Contoh lain, masyarakat berpenghasilan minim di pelosok desa yang berjuang keluar dari jerat kemiskinan, rongrongan tengkulak, dan harga-harga barang yang naik, membutuhkan dakwah yang bisa memberdayakan. Maka dakwah soal klasifikasi khowarij, murjiƔh, syiah, dst menjadi tak relevan buat mereka.
Contoh lain lagi, sekelompok anak muda yang tengah menghadapi budaya populer global butuh media untuk mengekspresikan diri mereka secara halal dan thayyib. Mereka butuh dakwah yang menawarkan alternatif. Maka dakwah yang serba melarang tak akan menarik bagi mereka. Malah sebaliknya membuat mereka menjauh. Demikian seterusnya.
Saya tentu tak bermaksud mengarahkan pembaca untuk menganggap jenis dakwah disampaikan dalam contoh itu tak penting. Itu penting, hanya saja para dai harus paham betul menempatkan sesuai konteksnya. Mana tema yang perlu diberikan titik tekan dan mana yang tidak. Salah menetapkan, maka hasilnya pun tak akan sesuai harapan.
Lalu apakah ada jaminan kalau kita menyiapkan dakwah sesuai kebutuhan objek dakwah lantas dakwah kita akan diterima? tentu tidak. Masih ada banyak PR lain yang perlu kita selesaikan. Intensitas, teknik penyajian, timing, adalah sedikit dari sekian banyak faktor lain yang perlu kita perhatikan. Lagipula, hidayah itu bukan kuasa kita. Sebaik-baik dakwah Rosululloh saw saja masih ada yang ingkar bukan? Apalagi kita? Tapi setidaknya dengan memperhatikan kebutuhan objek dakwah, kita sudah memulai kerja dakwah dengan awalan yang baik.
Maka selanjutnya, kita perlu lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat sekitar. Deliver apa yang mereka butuhkan. Lakukan dengan ikhlas. Sisanya pasrahkan semua pada Alloh sambil berharap semoga Alloh membuat mereka menerima dakwah dengan senang hati. Kewajiban kita adalah memaksimalkan ikhtiar.
Wallohua'lam
Setuju kak! :)
ReplyDelete